PERKAWINAN campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak yang berkewarganegaraan Indonesia ( pasal 57 Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawina).
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Ada beberapa konseÂÂkwensi yuridis yang harus diterima bila melangsungkan perkawinan camÂÂpuran. Salah satu diantaranya ialah, anak hasil perkawinan akan mengikuti status kewarganegaraÂÂan ayahnya.
Jika perkawinan campuran tersebut dilangsungkan di IndoÂÂnesia, maka segala sesuatunya tunduk pada UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia. TermaÂÂsuk dalam hal pembagian harta benda bila terjadi perceraian. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan telah ditentukan bahÂÂwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bersama ini dapat berupa benda berwujud atau benÂÂda tak berwujud, baik yang telah ada maupun yang akan ada pada saat kemudian. Misalnya, rumah, mobil, perlengkapan rumah tangÂÂga, surat – surat berharga maupun piutang yang dapat ditagihkan keÂÂmudian.
Jadi, walupun segala harta benda tersebut diatasnamakan salah satu pasangan (suami/istri), namun bila itu semua diperoleh setelah perkawinan berlangsung, maka menjadi harta bersama. Dengan demikian bila terjadi perÂÂceraian, secara otomatis harta benda tersebut harus dibagi berÂÂsama.
Bila ada anak dari pernikaÂÂhan dengan suami pertama tidak berhak atas harta benda bersama dengan suami yang kedua dan seterusnya. Ia hanya berhak atas harta ibu kandungnya sendiri dan harta yang berasal dari garis ketuÂÂrunan lurus ke atas keluarga ibu kandungnya, bila harta tersebut telah menjadi harta warisan. Lain halnya dengan anak dari suami yang kedua, ia berhak mendapat bagian dari harta bersama yang telah dibagi di antara ibu kandungÂÂnya dan suami. (*)