Larut dalam dunia bisnis yang dapat menghasilkan keuntungan banyak, kerap membuat para pebisnis melupakan keberkahan. Bahkan tidak menutup mata, banyak juga pelaku bisnis yang membuat kecurangan atau meraup laba yang tinggi dalam berbisnis. Untuk mengantisipasinya, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) BPC Kota Bogor beserta Sekolah Muamalah Indonesia, menggelar workshop yang bertema ‘Solusi Permodalan Bisnis Tanpa Riba’.
Oleh : Winda Herviana
[email protected]
Kegiatan yang diprakarsai HipÂmi Kota Bogor dengan Sekolah Muamalah Indonesia itu berÂlangsung di Hotel Pangrango 2, tepatnya di Jalan Pajajaran nomor 23, Kota Bogor. Acara dihadiri oleh KetÂua HIPMI Kota Bogor, Muzakkir serta Founder Sekolah Muamalah Indonesia, Dian Ranggajaya yang digagas sebagai narasumber acara, Selasa (12/4/2016).
Menurut Dian Ranggajaya, tidak dapat dipungkiri memperoleh keunÂtungan adalah salah satu tujuan utama dalam menekuni dunia bisnis. Namun sayangnya, para pembisnis seringkali lalai dalam memperhatikan keberkahan dari bisnis yang digelutinya itu.
“Bisnis bukan hanya tentang untung dan rugi, namun kita harus mencari keÂberkahan di dalam bisnis tersebut. BanÂyak sekali orang yang hancur karena adanya riba dalam kehidupan sehari-hari,†ungkap Dian Ranggajaya.
Berdasarkan data yang diperÂolehnya, lanjut pria yang hangat disapa Rangga, 100 persen pengusaha musÂlim pernah melakukan riba. Seperti melakukan transaksi bank konvensionÂal, cicil emas, gadai dengan bunga, karÂtu kredit dan investasi dengan jaminan laba disertai dengan modal kembali.
Saat ini sebanyak 18,18 persen penÂgusaha muslim telah meninggalkan riba, dan 81,82 persen diantaranya masih dalam proses untuk meninggalkan riba.
Rangga memaparkan, ada banyak cara lain jika ingin melakukan bisnis tanpa harus bersinggungan dengan riba, seperti tidak meminjam modal kepada bank atau kepada orang yang masih memasukan unsur riba di dalamÂnya. Sama halnya dengan sistem penÂgadaan barang yang berlaku saat ini.
Rangga menilai, banyak orang yang keliru dengan menyepakati barang dan harganya sekarang, namun pengiriman barang serta pembayarannya dilakukan beberapa bulan ke depan.
“Itu namanya dayn be dayn (hutang menjadi hutang), dan itu menÂjadi haram jika b a Ârangnya ada dipasaran. Yang seperti itu sebaiknya dihindari,†ungkapnya.
Ia menegaskan, seorang pengusaha tidak boleh melakukan dayn be dayn karena tidak ada yang tahu harga baÂrang kedepannya nanti akan naik atau turun. Jadi sebaiknya barang dimiliki dahulu baru dijual kembali.
“Seorang pengusaha muslim tidak boleh pengecut, dia harus berani menÂgambil resiko. Beli dulu baru jual, kalau belum ada barangnya sudah dijual, itu haram hukumnya,†tegasnya.
Sementara itu, Muzakkir berharap dengan dibuatnya talkshow seperti ini dapat membuka wawasan para pelaku bisnis muda terutama bagi mayoriÂtas beragama Islam, agar mengetahui sistem bisnis dengan penerapan sistem syariah.
“Banyak yang tertarik dengan pembahasan ini. Kami tidak meminta teman-teman langsung berubah untuk menghindari riba. Mungkin banyak juga yang butuh waktu untuk berubah. Setidaknya kita jadi memiliki ilmu dan pemahaman bahwa tuntunan yang benar secara Islam adalah seperti itu, dan kedepannya kita dapat mengÂhindari hal-hal yang dilarang oleh huÂkum Allah sesuai apa yang ditetapÂkan,†terang Muzakkir.