BAGI guru, menulis artikel ilmiah harus menjadi suatu hobi, kebiasaan, yang akhirnya menjadi kebutuhan. Menulis menjadi bagian dari pengembangan profesi guru. Guru PNS Golongan IV/A ke atas, jika ingin naik pangkat disyaratkan membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK), buku, modul, artikel ilmiah, dan sebagainya.
Oleh: HERU BUDI SETYAWAN, S.Pd.PKn
Guru PKn SMA/SMK Informatika Pesat Bogor
Sungguh menyedihkan banyak guru Golongan IV/A yang terhambat naik pangkat karena terkendaÂla pembuatan KTI. PadaÂhal seorang guru, harusnya selalu berhubungan dengan kegiatan membaca dan menulis. Memang kemampuan menulis berbeda dengan kemampuan mendengar, membaca, menyimak dan berbiÂcara. Kemampuan menulis lebih berat dan sulit dari kemampuan mendengar, membaca, menyiÂmak dan berbicara, karena keÂmampuan menulis meliputi keÂmampuan mendengar, membaca, menyimak dan berbicara. Orang yang suka dan banyak membaca, belum tentu bias menulis artikel dengan baik. Tapi jika seorang penulis, pastilah dia suka membaÂca, karena membaca adalah salah sumber inspirasi bagi penulis unÂtuk menuangkan idenya.
Menarik pendapat Romli, “Banyak orang pandai berpidato tetapi sulit mengemukakan peÂmikirannya dalam bahasa tuÂlisan. Banyak pula orang mengÂgunakan ‘bahasa tutur’ (lisan) ketika menulis, tulisannya dinilai tidak layak oleh redaktur†(Romli, 2005:42). Sedang menurut penuÂlis inilah penyebab guru sulit menÂulis, yaitu:
Pertama, guru tidak suka membaca. Memang ironis, guru sebagai salah satu sumber belaÂjar dan sumber ilmu, tapi tidak suka membaca. Padahal untuk mendapat ilmu salah satu caranya dengan membaca selain meliÂhat, mendengar, mengucapkan, merasakan dan praktik langsung. Fenomena guru dan sebagian beÂsar masyarakat Indonesia yang tidak suka membaca ini, seperti digambarkan oleh UNESCO tahun 2012 tentang minat baca orang InÂdonesia bahwa minat baca orang Indonesia hanya 0.001, artinya hanya 1 dari 1.000 orang IndoneÂsia punya minat baca serius. Ini sungguh memprihatinkan.
Hal ini terbukti, jika artikel saya terbit di koran dan teman guru saya tawari untuk membaca, paling hanya 1 atau 2 guru yang serius membaca artikel tersebut, sambil mengucapkan terimakasih Pak Heru, artikelnya bagus dan bermanfaat untuk saya. SemenÂtara guru yang lain hanya terseÂnyum, atau guru yang lain koÂrannya dipegang lalu diletakkan kembal di meja.
Untuk mengatasi masalah ini, tumbuhkan budaya membaca di kalangan guru dan masyarakat Indonesia, missal kita budayakan kalau member hadiah ulangtaÂhun pada anak kita atau siapa saja dengan buku, atau kalau membeli oleh-oleh selain makanan atau souvenir, kita juga membeli buku untuk oleh-oleh anak kita atau teÂman dan tetangga kita, sehingga terbentuk budaya senang memÂbaca yang nanti pada akhirnya tercipta budaya suka menulis, memang butuh waktu yang lama untuk menciptakan budaya ini, tapi tidak terlambat untuk kita lakÂsanakan sekarang, dari pada tidak sama sekali.
Kedua, guru sibuk dengan urusan administrasi. Menurut Undang-Undang Republik IndoneÂsia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen yang dimaksud dengan guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbÂing, mengarahkan, melatih, meÂnilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidiÂkan menengah. Jadi tugas guru memang banyak dan berat serta tidak hanya mengajar saja, tapi juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Belum lagi harus menyiapkan perÂangkat administrasi yang berupa RPP (Rencana Pelaksanaan PemÂbelajaran). Itulah konsekuensi dari sebuah profesi guru.
Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan dasar, pendiÂdikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidiÂkan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apakah pengertian dari professional itu? Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keÂahlian, kemahiran, atau kecakaÂpan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerÂlukan pendidikan profesi.
Kalau guru sudahprofesional, ditunjukkan guru ini sudah berÂsertifikasi harusnya tidak kesuliÂtan untuk membuat artikel ilmiah, tapi kenyataannya meski sudah bersertifikasi masih banyak guru yang kesulitan menulis karya tulis ilmiah. Maka PR besar bagi MenÂdikbud Anies Baswedan untuk mengatasi masalah ini. Beliau pernah berjanji untuk memajuÂkan pendidikan Indonesia yang diutamakan dulu adalah guru dan kepala sekolah, karena guru dan kepala sekolah adalah ujung tomÂbak dari pendidikan. Jika kurikulÂumnya baik, tapi guru dan kepala sekolahnya tidak professional, percuma saja. Maka pemerintah harus banyak memberikan workÂshop untuk guru dan kepala sekolah, agar guru semakin proÂfesional, serta tetap memperbaiki pelaksanaan PLPG (Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru). MesÂki menurut penelitian, guru sertiÂfikasi lewat PLPG lebih baik dari guru sertifikasi lewat portofolio.
Terlepas dari itu semua, sesiÂbuk apapun guru harusnya guru tetap meluangkan waktu untuk bias menulis, minimal satu bulan sekali membuat artikel ilmiah, kaÂlau tidak bisa minimal satu semesÂter sekali menulis artikel ilmiah, waktu liburan semester bias diguÂnakan untuk kegiatan menulis dan kalau tidak bias juga, minimal seÂtahun sekali untuk menulis artikel ilmiah, jika tidak bias juga itu naÂmanya terlalu, menurut bang haji Oma Irama.
Ketiga, guru tidak mau menuÂlis. Kenapa guru tidak mau menuÂlis, penyebabnya adalah malas bin ogah, solusinya gampang, yaitu mulai sekarang guru harus menuÂlis tentang apa saja dan jangan ditunda. Menulis itu gampang, menulis itu menyenangkan, menÂulis itu berbicara di atas kertas, gampangkan? Karenanya, mulaiÂlah anda menulis dari sekarang tentang apa saja, bias menulis dimulai dari hobi dan kesenanÂganmu, agar waktu menulis anda jadi menyenangkan. Memang seÂgala sesuatu tidak instan, butuh latihan, demikian juga dengan menulis. Latihan yang gampang untuk penulis pemula adalah denÂgan menulis buku harian. Dengan menulis buku harian otomatis anda sudah mulai latihan menulis tiap hari tanpa kita sadari. Setelah istiqomah menulis buku harian, coba anda untuk menulis di maÂjalah dinding sekolah. Anda juga bias menulis surat pembaca di koÂran. Ini merupakan upaya untuk melatih keberanian anda menulis dan dibaca oleh banyak orang. Kemudian anda terus membaca dan mempelajari tulisan penulis yang sudah masuk koran, sambil membandingkan dengan penulis lainnya.
Kalau perlu anda ikut workÂshop tentang cara menulis dari penulis yang sudah terkenal, hal ini untuk memotivasi anda untuk terus giat menulis. Baru setelah itu bersiap-siaplah untuk menulis artikel di koran lokal dulu, jangan patah semangat pasti artikel anda ditolak, itu biasa. Penulis pun mengalami pengalaman seperti itu. Artikel saya dua kali ditolak sewaktu pertama kali kirim arÂtikel ilmiah di koran nasional, tapi justru saya malah semangat. Dan sekarang menulis sudah menjadi kebutuhan saya, bahkan saya pusÂing jika sehari tidak menulis. BanÂyak manfaat dari menulis, karena menulis itu adalah kegiatan yang menyenangkan, bias memotivasi orang, bias menginspirasi orang, member manfaat orang, member solusi orang dan bias membahaÂgiakan kita karena tulisan kita banyak dibaca orang serta jika suÂdah menjadi penulis terkenal akan bias mendatangkan uang. Jayalah Indonesiaku! (*)