MENURUT Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK), ratusan bahasa etnis di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia Timur, terancam punah (satuharapan.com, 02 Desember 2015). Pakar linguistik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Multamia Lauder, mencatat ada 25 bahasa di Indonesia yang berstatus hampir punah. Tercatat bahwa, Indonesia memiliki 706 bahasa dan 266 di antaranya berstatus bermasalah. (antaranews.com, 31 Oktober 2015).

Oleh: Denni H.R. Pinontoan
Dosen UKIT, pegiat di Mawale Cultural Center

Kondisi ini tentu san­gat memprihatinkan. Apresiasi patut kita berikan kepada sia­papun, baik individu maupun institusi yang berusaha melakukan langkah-langkah pe­nyelamatan bahasa etnis terse­but. Namun, hal yang perlu disoal adalah cara pandang terhadap bahasa etnis itu sendiri.

Bahasa Etnis dalam Dominasi Bahasa Negara

UUD 1945 pasal 32 ayat 2 menyebutkan: “Negara meng­hormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Kalimat ini terkesan ‘hanya sekadar’ saja. Sebab, dalam kenyataannya, bagi negara melalui pemerintah Bahasa Indo­nesia ‘haruslah di atas’ dari baha­sa etnis. Pasal 36 UUD 1945 den­gan tegas menyebutkan: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.

Benar, bahwa setiap negara harus memiliki satu bahasa nasi­onal yang lebih banyak bersifat politis untuk urusan birokrasi dan hukum. Namun, hal inilah yang justru paradoks dalam kita mem­bincangkan keberadaan bahasa etnis. Sebab, secara langsung atau tidak, disengaja atau tidak, bahasa negara tersebut akan terus beru­saha mendominasi bahasa etnis.

Persoalan posisi bahasa etnis dalam dominasi bahasa negara (Bahasa Indonesia) sebenarnya merefleksikan pula persoalan posisi etnis-etnis dalam negara itu sendiri. Jika kita kembali lagi mengutip UUD 1945 terutama pasal 28i pada ayat 3 di situ dise­butkan: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di­hormati selaras dengan perkem­bangan zaman dan peradaban.” Tampak di sini seolah-olah neg­ara menerima dan menghargai budaya etnis, namun pada pihak lain sebenarnya tersingkap pula dominasi negara terhadap etnis-etnis melalui pendefinisian baha­sa etnis itu. Negara adalah subjek dan etnis adalah objek.

Jadi, relasi antara etnis-etnis dan negara yang kemudian ter­ungkap dalam relasi antara ba­hasa etnis dengan bahasa negara adalah relasi ‘subjek-objek’. Se­hingga kita kemudian menden­gar pengakuan yang romantik terhadap kebudayaan daerah (-daerah), antara lain muncul dalam definisi Ki Hajar Dewant­ara, bahwa kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebuday­aan daerah. Ini jelas mengambar­kan paham ‘kesatuan’ di atas ke­beragaman. Mari kita juga lihat bagaimana kepala LIPI, Prof Dr Iskandar Zulkarnain dalam per­nyataan yang dikutip lipi.go.id mendefinisikan bahasa etnis itu: “Banyak fungsi yang diemban bahasa etnis, misalnya lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, wahana komu­nikasi di dalam keluarga dan ma­syarakat daerah, serta wahana mentransmisikan tradisi lisan nusantara, yang sarat dengan ke­arifan lokal.”

Ungkapan-ungkapan ‘pen­gakuan’ itu memang sedap didengar. Namun saya merasakan sebuah cara pandang yang me­mahami bahasa etnis itu sebagai sesuatu yang eksotis sehingga penting diperhatikan. Ini cara pandang khas orang-orang mod­ern terhadap budaya tradisional. Dalam logika pariwisata, apa saja yang ‘eksotis’ di etnis-etnis adalah ‘bahan mentah’ untuk dijual.

Diselamatkan untuk Siapa?

Apakah keprihatinan kita terhadap ancaman kepunahan bahasa-bahasa etnis benar-benar untuk para penutur atau orang-orang di etnis itu? Di UUD 1945 yang kita lihat tadi jelas, bahwa segala hal dalam kebudayaan daerah/etnis, termasuk bahasan­ya adalah untuk ‘kebudayaan nasional’. Dengan kata lain, ba­hasa etnis, baik dalam studi-studi akademik dan segala kebijakan negara maksud utamanya adalah untuk diremas dan disari menjadi ‘identitas nasional’ dan ‘nasional­isme’. Atau dengan bahasa lain, ‘segala upaya penyelamatan dan pelestarian bahasa etnis tidaklah terutama sebagaimana adanya bahasa itu untuk orang-orang di etnis-etnis itu, tapi untuk nega­ra.’ Lalu, apa manfaatnya bagi masyarakat etnis?

Pada dirinya, bahasa etnis adalah untuk etnis itu sendiri. Tidak hanya sebagai alat komuni­kasi, tapi juga ia menyangkut jejak-jejak perjalanan kehidupan komu­nitas etnis. Kadang-kadang ia juga dipahami sebagai sesuatu yang sakral. Bahasa etnis menyangkut segala pengetahuan komunitas. Spiritualitas komunitas ada dalam bahasa etnis itu. Sehingga, bagi setiap etnis bahasa itu tidak teruta­ma untuk ‘identitas atau nasional­isme negara’, tetapi untuk kehidu­pan eksklusif komunitas.

Jadinya, jika bahasa etnis didiskusikan dalam logika nasion­alisme negara, maka sadar atau tidak sadar, posisinya adalah ob­jek, seperti ketika para peneliti dari universitas-universitas yang mengajarkan pengetahuan mod­ern yang rasionalistik-positivistik memandang artefak-artefak dari masa lalu yang eksotis. Memang, dapat dimaklumi bahwa Indo­nesia sebagai nation state tidak berdiri dalam kesadaran dan spir­itualitas etnis-etnis itu. Sebab, se­lain sudah kodratnya bahwa neg­ara harus mengkonstruksi satu identitas tunggal, namun kenyata­annya nation state ini, sebagai produk modernitas ia pula harus terus berusaha memodernisasi diri, yang sama dengan ‘mera­sionalisasi’ dan ‘mempositifkan’ semua yang berbau tradisional.

Usaha-usaha mulia dari siapa­pun terkait dengan keberadaan bahasa-bahasa etnis di Indonesia tidak boleh tidak harus berada dalam kesadaran arti dan makna bahasa etnis bagi komunitas etnis itu sendiri. Ini tentu bukan peker­jaan gampang mengingat sangat beragamnya etnis di Indonesia. Berikut, perspektif yang perlu dirubah adalah cara kita mem­perlakukan bahasa etnis sebagai objek belaka.

Perubahan cara pandang itu sangat terkait dengan perubahan cara kita memahami Indonesia itu sendiri. Ungkapan bahwa Indone­sia adalah negara yang pluralistis mestinya tidak hanya sekadar slo­gan atau bahasa politis saja. Itu ha­rus beriringan dengan pengakuan terhadap hak, misalnya bagi ko­munitas etnis dalam memaknai dan mempraktekkan bahasanya sebagaimana ia ada dalam kos­mologi kebudayaan mereka.

Salah satu contoh, kebanyakan bahasa etnis itu dalam bentuk lisan, dan ia hidup dalam bentuk itu. Maka, mengkonstruksi bahasa etnis menjadi bahasa tulisan, pun itu dipahami sebagai cara penyela­matan, sama dengan ‘membunuh’ roh bahasa etnis itu sendiri. Ya, bahasa etnis bagi komunitasnya adalah juga mistis karena ia men­ghubungkan tidak hanya secara geneologis dan historis-sosiologis orang-orang di dalam komunitas itu, tapi juga secara supranatural. Mitos-mitos yang berisi pengeta­huan luhur disampaikan dalam bahasa etnis. Ini tentu tidak dapat kita rasakan dalam bahasa Indo­nesia, bahasa negara itu. (*)

============================================================
============================================================
============================================================