PERATURAN perundang-undangan tentang benda cagar budaya memang tidak begitu populer bila dibandingkan peraturan UU lainnya, seperti UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), UU Pornografi, UU Lalu Lintas dsb.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Nampaknya, kalanÂÂgan awam kurang begitu memperhatiÂÂkan dan memahami keberadaan aturan hukum positip (ius constitutum) tentang cagar budaya. AkibatÂÂnya, bisa jadi warga masyarakat kurang mempedulikan atau bahkan terkesan mengabaikan tentang benda cagar budaya, sebÂÂagai kekayaan budaya bangsa dan sekaligus amanat UU, yang wajib dilindungi dan dilestarikan.
Benda cagar budaya telah diatur dalam UU No. 11 /2010 tentang Cagar Budaya (LembaÂÂran Negara RI Tahun 2010 No. 130). Setelah diberlakukannya UU ini, 24 November 2010, maka peraturan terkait sebelumnya tentang Benda Cagar Budaya, yang tertuang dalam UU No. 5 / 1992, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Berdasarkan UU tersebut yang dimaksud cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan yang dapat berupa benda, bangunan, strukÂÂtur, situs, serta kawasan cagar buÂÂdaya baik yang ada di darat dan/ atau di air yang perlu dilestariÂÂkan keberadaannya karena meÂÂmiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan meÂÂlalui proses penetapan.
Setiap orang dapat memiÂÂliki dan/atau menguasai benda, bangunan, struktur, dan/atau situs cagar budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-UnÂÂdang. Kepemilikan di atas dapat diperoleh melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan, kecuÂÂali yang dikuasai oleh negara. UU ini juga merumuskan bahwa seÂÂtiap orang yang melindungi cagar budaya berhak memperoleh kompensasi insentif berupa penÂÂgurangan pajak bumi dan banguÂÂnan dan/atau pajak penghasilan yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Benda atau bangunan dapat diusulkan sebagai benda cagar budaya apaÂÂbila memiliki kriteria berusia 50 tahun atau lebih; mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, penÂÂdidikan, agama, dan/atau kebuÂÂdayaan; serta memiliki nilai buÂÂdaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Orang yang menemukan cagar budaya, wajib melaporkÂÂannya kepada instansi yang berÂÂwenang di bidang kebudayaan, Polri, dan/atau instansi terkait paling lama 30 hari sejak ditemuÂÂkannya (Pasal 23). Demikian pula bagi mereka yang memiliki dan/ atau menguasai cagar budaya wajib mendaftarkannya kepada pemerintah kabupaten/kota tanÂÂpa dipungut biaya.
Adapun ancaman pidana bagi orang yang melanggar ketentuan UU Cagar Budaya ini bervariasi, baik berupa pidana penjara palÂÂing singkat 3 bulan, paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10 miliar. Ketentuan pidana yang dimaksud diberlakuÂÂkan kepada mereka yang melakuÂÂkan perbuatan, diantaraya tanpa izin mengalihkan kepemilikan cagar budaya, tidak melaporkan temuan cagar budaya, tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian cagar budaya, sengaja menceÂÂgah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya pelestarian cagar budaya, merusak, mencuri cagar budaya, menadah hasil pencurian cagar budaya, serta tanpa izin memindahkan cagar budaya. Jika perbuatan pidana terkait pelestarian cagar budaya tersebut dilakukan oleh pejabat, maka pidananya dapat ditambah 1/3. (vide Pasal 101 – 115). (*)