bambangGRATIFIKASI telah diatur dalam UU No.31/1999 jo UU No.20/2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada penjelasan Pasal 12 B ayat (1), gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Bagaimana dengan pemberian pelayanan seks/ sex service atau gratifikasi seks ?

BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM

Sekalipun harus diakui bahwa fenomena gratifikasi seks skalanya jauh lebih fantastis daripada gratifikasi uang. Namun, bila kita telaah dari ketentuan di atas, pemberian hadiah berupa pelayanan seks tidak secara tegas diatur. Meskipun demikian tidak perlu pesimis, kita masih dapat menafsirkan secara lebih fleksibel kata istilah pemberian “fasilitas lainnya” pada pengertian gratifi­kasi di atas.

Bila dicermati, istilah “fasili­tas lainnya” bisa dimaknai salah satunya berupa pemberian pelay­anan seks kepada pejabat yang berhubungan dengan jabatan serta berlawanan dengan tugas dan ke­wajibannya, yang pada akhirnya merugikan keuangan negara se­cara signifikan. Pemberian fasilitas pelayanan seks bisa berupa pelay­anan seks dari perempuan kepada pejabat pria, atau pelayanan seks dari pria kepada pejabat wanita. Juga pemberian pelayanan seks yang mengindikasikan menyim­pang, misalnya homoseks atau les­bian. Gratifikasi jenis ini biasanya diberikan kepada pejabat negara yang kebal terhadap gratifikasi uang atau barang.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

UU juga mengatur, bahwa pejabat negara yang menerima gratifikasi tidak secara otomatis melakukan tindak pidana (suap). Hal ini bisa dilihat dari ketentuan yang terdapat pada Pasal 12C ayat (1) yang prinsipnya menegaskan bahwa gratifikasi kepada pejabat negara bukan tindak pidana jika penerima gratifikasi melaporkan­nya kepada KPK. Namun, mung­kinkah pejabat negara melapor kepada KPK, mengingat pelayanan seks yang dinikmatinya masuk ke ranah esek-esek yang sangat tabu ? Karena itu penyidik akan sangat sulit untuk menemukan barang bukti. Dengan demikian gratifi­kasi seks sebaiknya dipandang sebagai bentuk tindak pidana ko­rupsi tambahan tanpa ada barang bukti yang mengacu pada materiil. Untuk memudahkan pemeriksaan di pengadilan jaksa tipikor dapat saja menghadirkan si pelayan seks sebagai saksi mahkota (kroon getu­ide). Yakni saksi yang berasal dan/ atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terda­kwa lainnya yang bersama-sama melakukan tindak pidana.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Sanksi bagi pemberi dan pener­ima gratifikasi diatur pada Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan b UU No. 20/2001. Pasal 5 memberi sanksi berupa pidana penjara paling sing­kat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Sedangkan Pasal 12 berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 ta­hun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. (*)

============================================================
============================================================
============================================================