Oleh: RUSTAMAJI KURNIAWAN
Social entrepreneur, analis masalah ekonomi dan sosial.
Jika dilihat dari angka permintaan presiden, keÂnaikannya sangat mengeÂjutkan. Mau tidak mau, seluruh sumber daya maÂnusia institusi pajak harus berlari mengejar target yang cukup memÂberatkan tersebut. Sampai pada pembahasan APBN-P 2015 teraÂkhir, targetny diubah menjadi Rp 1.484,6 triliun. Angka yang tetap memberi beban bagi institusi paÂjak agar lebih giat lagi. Potensi yang hilang memang besar, tetapi memenuhi angka yang diinginkan perlu terobosan dan keberanian.
Bercermin kepada target paÂjak tahun 2014 yang tak tercapai, pemerintah harus berpikir optiÂmistik, netral, dan bijak. Tidak semua target pajak yang gagal dicapai karena kinerja buruk inÂstitusinya. Kondisi eksternal juga mempengarui antara target dan realisasinya. Namun institusi paÂjak sudah mulai memperjuangkan pengumpulan potensi pajak yang hilang meski situasi sosial dan poliÂtik yang memanas ikut berimbas pada kinerja ekonomi sektor riil, keuangan, maupun ekonomi makÂro. Situasi tersebut pada gilirannya juga mengganggu realisasi peneriÂmaan pajak, yang dikerjakan oleh institusi pajak itu sendiri.
Gijzeling merupakan salah satu terobosan yang dilakukan institusi perpajakan saat ini unÂtuk menggali potensi pajak yang hilang tersebut. Sayangnya, kebiÂjakan ini seperti terlihat terlambat meskipun aturan yang ada sudah terbentuk sejak lama. Dalam UnÂdang Undang Nomor 19 Tahun 1997 yang telah direvisi menjadi Undang Undang Nomor 19 tahun 2000 disebutkan bahwa pemerinÂtah, dalam hal ini institusi perpaÂjakan, memiliki wewenang untuk melakukan penyanderaan kepaÂda wajib pajak yang melakukan penundaan pembayaran pajak. Namun demikian, penyanderaan terhadap wajib pajak juga harus melihat sisi perilaku dan itikad si wajib pajak tersebut. Apabila wajib pajak bersedia membayarÂkan tunggakan pajak yang belum dibayarkan, maka institusi perpaÂjakan wajib untuk membebaskan wajib pajak tersebut.
Ke depannya, kebijakan gijzelÂing ini sepertinya akan berhadaÂpan dengan hambatan yang cukup memberatkan mengingat tidak semua wajib pajak memiliki itikad untuk melunasi pajak yang sehaÂrusnya mereka bayarkan. TerutaÂma untuk perusahaan perusahaan tambang yang banyak di dominasi oleh perusahaan multinasional maupun perusahaan joint venture, yaitu gabungan perusahaan akibat kerja sama antara perusahaan loÂkal dengan perusahaan multinaÂsional. Namun tidak sedikit juga perusahaan lokal juga melakukan penunggakan pembayaran pajak. Sebuah tantangan yang amat berat jika kita melihat kasus kasus krimiÂnalisasi terhadap institusi pemerÂintahan yang banyak diberitakan media, akhir akhir ini.
Sebelumnya kita mengetahui bahwa institusi perpajakan telah melakukan koordinasi dan kerÂjasama dengan institusi Polri. MerÂeka berkolaborasi untuk menganÂtisipasi kemungkinan pencegahan tindakan kriminalisasi terhadap institusi pemerintahan, khususÂnya institusi perpajakan. MeskiÂpun kerjasama ini terbentuk, kita semua berharap adanya itikad yang baik yang diperlihatkan semua pihak untuk mengamankÂan penerimaan pajak. Semua piÂhak tidak hanya dituntut untuk memahami esensi dari fungsi dan manfaat penerimaan pajak, tetap juga menyadari dan melakÂsanakan kewajibannya terkait perÂannya dalam proses penerimaan pajak sebagai pendapatan negara. Setiap pihak memiliki perannya masing-masing dan setiap peran dijalankan dengan memprioritasÂkan kepada manfaat yang akan diterima bagi semua kepentingan, baik kepentingan publik maupun kepentingan pihak pihak yang terlibat dalam proses kelancaran pengumpulan penerimaan pajak tersebut.
Namun, untuk memberikan stimulasi kepada pihak pihak, terÂutama pihak perusahaan, untuk menyadari kelalaian mereka akiÂbat pembayaran pajak yang tidak mereka selesaikan bukanlah suatu perkara yang mudah, karena hal ini menyangkut dengan komplekÂsitas bauran masalah antara keÂpentingan individu dan kepentinÂgan golongan. Kebijakan gizjeling sebenarnya tidak perlu terjadi jika perusahaan perusahaan mau membayarkan pajaknya. TampakÂnya sebagian perusahaan masih belum percaya dengan pengeloÂlaan pajak yang dilakukan oleh pemerintah.
Bahkan ketika pemerintah berkehendak untuk mengintip jumlah kekayaan yang dimiliki oleh para nasabah perbankan, banyak pihak yang merasa keÂberatan apabila data perbankan tersebut akan digunakan oleh instiÂtusi perpajakan untuk melakukan ektensifikasi penerimaan pajak. Mereka tampaknya belum percaya dengan kinerja pemerintah dalam mengelola pungutan pajak.
Kepercayaan sepertinya menÂjadi kunci penting untuk menguÂkur tingkat keberhasilan dalam pengumpulan target penerimaan pajak. Jika pemerintah, pengusaÂha, masyarakat, dan aparat penÂegak hukum saling mengawasi jalannya penerimaan negara ini, maka penerimaan pajak bisa dicaÂpai dengan mudah. Kepercayaan tumbuh karena masing masing piÂhak merasakan manfaatnya, teruÂtama dalam hal yang dapat memuÂdahkan pihak pihak tersebut untuk melakukan kegiatan usahanya.
Agar target penerimaan pajak dapat tercapai secara optimal, inÂstitusi perpajakan harus melakuÂkan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat dalam mengolah data yang berhubungan dengan wajib pajak. Selain itu, hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah institusi perpajakan memberikan diseminasi kepada wajib pajak terÂhadap manfaat dan sangsi yang terÂkandung dalam pembayaran pajak.
Diseminasi pada dasarnya telah dilakukan oleh pemerintah, namun masih banyak wajib pajak yang mengabaikannya hingga akhÂirnya pemerintah memberlakukan kebijakan gizjeling ini. Itikad tidak baik dari wajib pajak dapat di minÂimalisir jika manfaat pajak secara langsung dapat terlihat dan diraÂsakan oleh mereka sehingga usaha yang mereka jalankan dapat lebih mudah tercapai, seperti perbaiÂkan fasilitas, infrastruktur, mauÂpun segala sistem yang mengelola roda kehidupan, baik ekonomi, sosial, pemerintahan, maupun politik. ***