Untitled-12JAKARTA, TODAY — Hak dan wewenang Komisi Pemberan­tasan Korupsi (KPK) dipastikan bakal dipreteli. Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla (JK) ber­sama DPR akhirnya sepakat untuk merevisi UU KPK meski menuai banyak penolakan. Persetujuan antara DPR dan pemerintah itu hanya pada 4 poin usulan perubahan, na­mun substansinya berbeda.

Pertama, terkait usulan memasukkan ketentuan pem­bentukan dewan pengawas (Dewas) KPK. Luhut menye­but, anggota Dewas ini ditun­juk oleh Presiden bertugas semacam oversight commite untuk mengawasi atau mengingatkan pimpinan KPK . “Misalnya ada hal-hal yang harusnya dilakukan, tidak dilakukan (pimpinan KPK),” ucap Luhut soal tugas Dewas kepada wartawan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakar­ta Timur, Jumat (19/2/2016). “Enggak ada (dewan penga­was atur penyadapan). Peny­adapan semua prosesnya itu seluruhnya berada di tangan pimpinan KPK, tidak ada intervensi orang lain,” lanjut Luhut, untuk poin kedua terkait penyadapan.

Poin ketiga, menambah kewenangan KPK untuk menerbitkan Surat Perintah Pe­nyidikan (SP3). Pemerintah hanya setuju SP3 untuk 3 kondisi, yaitu kepada orang mening­gal, lumpuh (paralyzed), dan ditemukan alat bukti baru. “Nah, yang menentukan (SP3) kan mereka juga, bukan yang menentukan pemerintah. Tidak. Yang menentukan pimpi­nan KPK tadi,” ujarnya.

Poin usulan revisi keempat atau terakhir adalah terkait pengangkatan penyelidik dan penyidik independen. Permintaan ini menu­rut Luhut justru berasal dari pimpinan KPK, sehingga perlu diatur dalam UU KPK. “Dapat diusulkan atau diambil oleh KPK dari non ke­jaksaan maupun kepolisian,” ucap Luhut.

Dengan begitu, jika keluar dari 4 poin usulan revisi UU KPK di atas, maka pemerin­tah menolak menyetujui revisi UU KPK. Seb­agaimana diketahui revisi UU harus disetujui dua belah pihak DPR dan pemerintah, tidak bisa salah satu. “Sudah dikirim ke DPR (Surat persetujuan Presiden atas revisi UU KPK),” ucap Purnawirawan Jenderal TNI itu.

Revisi UU KPK ini akan segera diparipur­nakan di DPR untuk selanjutnya dibahas di komisi III. “Kami kan Presiden sudah mengir­imkan, jadi sudah ada di sana empat (Revisi UU),” ucap Luhut.

BACA JUGA :  Resep Membuat Cah Kangkung Saus Tiram yang Lebih Sedap Bikin Ketagihan

Mengirimkan dimaksud adalah mengir­im Surat Presiden (Surpres) terkait persetu­juan Presiden atas 4 undang-undang yang akan direvisi. Luhut menyebut UU KPK, UU Tax Amnesty, dan UU Terorisme. Satu lagi Luhut mengaku lupa.

Terkait Revisi UU KPK, Luhut menegas­kan pemerintah setuju revisi hanya untuk penguatan dengan 4 usulan perubahan. Yai­tu pembentukan dewan pengawas, penerbi­tan SP3, pengangkatan penyelidik dan penyi­dik serta terkait penyadapan. “Sebenarnya begini aja lah, kalau lari dari empat yang kami usulkan itu. Presiden tidak akan anu (menerima -red),” ujar Luhut.

Bagaimana dengan penolakan dari pimpinan KPK atas revisi UU KPK ini? “Kalau pimpinan KPK kan tidak bisa menolak, dia melaksanakan,” jawab Luhut.

Sebagaimana diketahui, Revisi UU KPK disepakati menjadi UU inisiatif DPR. Dalam pengambilan keputusan tingkat I di DPR, hanya Fraksi Gerindra yang menolak. Meski setelah rapat itu ada Demokrat dan PKS yang secara informal juga menolak.

Revisi UU KPK itu selanjutnya akan dik­etok di paripurna untuk disetujui dilakukan pembahasan. Namun paripurna ini molor dari jadwal yang ditetapkan. Jika sudah diketok di paripurna, maka akan dibahas di komisi III bersama pemerintah. Namun, pimpinan DPR mengaku belum meneriman­ya. “Belum. Saya belum terima surat itu. Tapi surpres (surat presiden) itu seharusnya datangnya apabila suatu UU itu sudah akan dilaksanakan pengerjaannya. Ini kan baru mau ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR, Ya, kami tunggu lah,” kata Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di Gedung DPR, Senayan, Ja­karta Pusat, Jumat (19/2/2016).

Agus menegaskan bahwa revisi UU KPK masih belum dibahas di rapat paripurna yang sudah tertunda dua kali. Seharusnya, sur­pres baru dikirim setelah suatu RUU disah­kan jadi usul inisiatif DPR. “Surpres keluar apabila sudah resmi jadi usul inisiatif DPR. Nanti dalam pembahasannya, itu pemerin­tah ada mengutus Menkum HAM dan lain lain untuk melaksanakan pekerjaannya itu,” ungkap politikus Partai Demokrat ini.

BACA JUGA :  Dijamin Nambah Napsu Makan, Ini Dia Resep Sambal Cumi Asin dan Petai yang Lezat dan Sedap

Dia pun mengingatkan bahwa pemba­hasan RUU, termasuk revisi UU KPK harus dibahas sesuai prosedur. Apalagi, saat ini masih ada fraksi di DPR yang menolak revisi UU KPK. “Kalau terburu-buru seperti ini, ya akhirnya menjadi lebih tidak karuan lagi,” ucap Agus. “Ini adalah usulan inisiatif DPR RI. Harus DPR godok matang dulu dong di sini, jangan terburu-buru,” sambungnya.

Gelombang penolakan revisi UU KPK ini masih mengalir deras. Kemarin, sejumlah guru besar, antara lain Guru Besar Sosiologi UI Bambang Widodo Umar, Guru Besar Ke­hutanan IPB Hariadi Kartodihardjo, dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Borobudur Faisal Santiago, mendatangi Gedung KPK. Hadir juga, Rektor Universitas Paramadina, Firmansyah.

Pertemuan berlangsung sekitar 2 jam dan berlangsung tertutup. Pimpinan KPK yang menemui para akademisi yaitu Agus Rahardjo dan Basaria Panjaitan. Usai per­temuan mereka berfoto bersama dengan memegang pensil berukuran besar bertu­liskan ‘Tolak Revisi UU KPK’. Simbol pensil dipilih karena erat kaitannya dengan dunia akademis. “Mereka memberikan dukungan kepada KPK, waktunya bukan hari ini kalau mau dilakukan (revisi). Kami bersama-sama teman-teman perguruan tinggi juga meno­lak dilakukannya revisi UU KPK,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo usai pertemuan, di Ge­dung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (19/2/2016). “Kalau enggak salah ke depan juga akan ada dukungan dari dunia seni,” lanjutnya.

Mengenai rencana menemui Presiden Jokowi, KPK masih menunggu jadwal orang nomor satu di Indonesia itu. “Kita akan menunggu jadwal beliau,” ujar Agus.

Bambang Widodo Umar menambahkan, pihak akademisi akan berusaha membantu mempertahankan eksistensi KPK. Terutama dari gangguan pihak-pihak yang ingin mem­perlemah. “Kami dari akademisi bagaimana upaya mempertahankan eksistensi KPK agar lebih kuat lagi. Kami tidak ingin ada kelom­pok atau golongan-golongan yang akan memperlemah KPK, kita masih butuh KPK,” imbuh Bambang.

(Yuska Apitya Aji)

============================================================
============================================================
============================================================