Oleh: HARYONO SUYONO
Ketua Yayasan Damandiri
HKSN sesungguhnya berasal dari kejutan serangan agresi bruÂtal kolonial Belanda, 19 Desember 1948 kepada RI untuk merebut kembali kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Terhadap serangan itu rakyat Indonesia bukan lari ketakutan, tetapi secara berani tampil mengÂgalang persatuan dan kesatuan dengan menjalin kerja sama yang sangat erat bersama TNI dan rakyÂat di pedesaan.
Sehari setelah serangan itu, teÂpatnya tanggal 20 Desember 1948, rakyat dengan gigih mengembangÂkan kemanunggalan TNI dan rakyÂat untuk melawan agresi tersebut. Di daerah-daerah tumbuh semanÂgat yang sangat gigih untuk mengÂgalang persatuan dan kesatuan. Rakyat pun manunggal dengan satuan-satuan TNI di daerahnya.
Rakyat biasa tanpa perhiÂtungan dan rasa takut bersatu membantu prajurit TNI dengan menyediakan logistik berupa tempat bersembunyi dan keperÂluan sehari-hari yang menyisir ke desa-desa untuk menggagas dan merancang perang gerilya yang diÂprediksi akan panjang guna mereÂbut kembali Ibu Kota RI dan seluÂruh daerah yang serempak telah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Kesetiakawanan itu terjadi seÂcara nasional biarpun pada masa itu belum ada alat komunikasi canggih. Berita dari satu daerah menyebar ke daerah lain melalui kurir prajurit dan rakyat yang seÂcara estafet menyampaikan berita itu ke seluruh jajaran simpatisan RI yang juga bersembunyi di desa-desa dengan perlindungan rakyat. Tanpa disadari seluruh Tanah Air bersatu membentuk jaringan yang setiap kali mengejutkan kolonial Belanda yang tidak habis pikir bagaimana komunikasi bisa bersÂambung dari satu daerah ke daeÂrah lainnya.
Di Ibu Kota RI waktu itu, YogÂyakarta, TNI berjuang di desa-desa menyusun kekuatan dan sekali-kali melakukan pencegatan kepada paÂsukan Belanda yang berpatroli. Setelah melakukan gangguan sepanjang 1948 dan awal 1949, tangÂgal 1 Maret 1949 prajurit kita dibantu rakyat melakukan serangan secara terorganisir sejak subuh di YogyaÂkarta dan herhasil merebut kembali ibu kota itu selama enam jam.
Serangan yang gegap gempita itu dipimpin Letkol Soeharto denÂgan dukungan penuh seluruh rakyÂat di Yogyakarta yang memberikan apa saja untuk keperluan perang gerilya. Rakyat dari semua golonÂgan turut bertempur, mereka meÂnolong dan merawat para prajurit yang terbunuh maupun terluka.
Keberhasilan ‘Serangan Umum 1 Maret 1949’ yang dipimpin Pak Harto itu tidak lain adalah karena tumbuhnya kesetiakawanan sosial yang secara moral dibantu tumÂbuhnya solidaritas kesetiakawanan sosial secara nasional. Ini menjadi tonggak sejarah yang penting bagi kelangsungan hidup NKRI dan mempunyai arti politik yang sangat menentukan di mata dunia interÂnasional terhadap eksistensi NKRI.
Kebangkitan rakyat secara serentak tanpa pamrih itu sungÂguh menakjubkan dan dianggap sebagai panggilan sakral yang menakutkan pihak kolonial BeÂlanda. Secara histeris tanpa rasa takut rakyat terpanggil membantu dan bahu membahu melakukan gerilya bersama TNI melawan penjajah. Hal ini dilakukan karena terdorong rasa kebanggaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.
Rasa kesetiakawanan sosial itu yang kemudian ditarik secara naÂsional untuk diperingati bersama seluruh rakyat guna memperkuat solidaritas perjuangan bangsa. Kita diharapkan meniru dan menÂgadopsi rasa kesetiakawanan sosÂial itu secara nasional guna melanÂjutkan perjuangan bangsa. Oleh karena itu, Ibu Nevi Irwan PrayitÂno, Ketua Umum LKKS di Sumbar sebagai salah satu contoh konkrit, mengajak seluruh anggotanya unÂtuk berjuang dari desa atau dari Nagari. Bekerja sama dengan berÂbagai kalangan, utamanya perguÂruan tinggi melalui program KKN, sejak 2-3 tahun lalu dibentuklah forum silaturahmi pos pemberÂdayaan keluarga (posdaya) tingkat Nagari atau Jorong.
Di setiap posdaya yang disÂegarkan pola hidup gotong royÂong, sekaligus mengingatkan perjuangan nenek moyang dalam mempertahankan NKRI. Setiap keÂluarga kaya diharapkan memberi perhatian dan peduli terhadap keÂluarga prasejahtera agar dijadikan keluarga yang lebih sejahtera.
Perbedaan perjuangan masa sekarang, anak-anak tidak diperÂsiapkan untuk perang gerilya, tetapi dipersiapkan untuk hidup sejahtera di masa depan. Para orangtua dalam program Bina KeÂluarga Balita diajari memberikan perhatian kepada anak-anak baliÂtanya agar mampu bertumbuh-kembang dengan baik, diberikan petunjuk makanan bergizi dan hidup dalam tatanan bersih dan sehat. Anak-anak sejak dini diusaÂhakan sekolah agar di kemudian hari bisa jauh lebih baik hidupnya dibanding orangtuanya.
Para orangtua dianjurkan berÂlatih keterampilan dan apabila maÂkin mahir diajak membuka usaha ekonomi kreatif dengan memanÂfaatkan sumber daya yang melimÂpah. Apabila belum berani membuÂka usaha secara mandiri, mereka diajak magang pada keluarga lain yang lebih dulu telah membuka usaha. Para pengurus masjid yang banyak tersebar di Sumbar, diajak membantu membentuk posdaya berbasis masjid. Kegiatannya tidak jauh berbeda yaitu mengajak angÂgota Jamaah Masjid menganut pola hidup bersih dan sehat serta meÂnyekolahkan anak-anaknya.
Gerakan posdaya yang berlangÂsung di Sumbar itu juga merupakÂan gagasan bahwa usaha gotong royong tidak harus terbatas pada masa paceklik atau ada musibah. Gerakan ini bisa menjadi gerakan sehari-hari yang dilandasi rasa solidaritas seperti halnya nenek moyang kita yang berjuang tanpa pamrih. Para remaja usia produkÂtif tidak boleh tinggal diam dan menunggu petunjuk orang tua. Mereka harus rajin mencari ilmu dan keterampilan sehingga dengan mudah bisa memanfaatkan kesemÂpatan yang terbuka. Di mana-mana dalam lingkungan posdaya diadaÂkan berbagai macam pelatihan.
sumber : suarakarya.id