Pelaku usaha ritel mengaku kebingungan dengan penerapan meÂkanisme tariff adjustÂment (penyesuaian tarif ) yang diÂlakukan PT PLN (Persero). Karena tarif listrik dapat naik-turun setiap bulannya.
“Pelaku usaha memang akan berusaha untuk mengikuti. Tetapi naik turun begitu nggak cepat juga eksekusinya,†kata Roy NicoÂlas Mandey, Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) diteÂmui di Kementerian Perdagangan, Rabu (6/1/2015).
Roy mengatakan, harapan dari pelaku usaha, kalau bisa perubaÂhan tarif bagi usaha seperti retail diberlakukan kuarta-lan sesuai proses produksi manufaktur, tiÂdak bulanan seperti saat ini.
“Kalau bisa nggak sebulan sekali, karena cukup membinÂgungkan. Setelah diumumkan harga naik atau turun pun tidak langsung berlaku kan. PengumuÂman sudah dari 10 hari dan nggak bisa langsung dieksekusi,†kata Roy.
Listrik bagi para pelaku usaha ritel menjadi biaya energi yang paling dominan, yang mempengaÂruhi biaya operasional dibanding bensin (BBM) maupun gas.
“Listrik kan untuk AC, lampu dan operasional lainnya. Kalau bensin berkaitan dengan biaya transportasi. Kalau gas di ritel meÂmang sangat kecil. Listrik bisa samÂpai 10-15%. Ketika harga listrik bisa turun, buat kami bisa sangat memÂbantu,†jelas Roy.
Dalam paket kebijakan stimulus ekonomi, pemerintah melakukan relaksasi tarif listrik bagi industri. Menurut Roy, kebijakan seperti juga diperlukan oleh pelaku ritel. Relaksasi tarif listrik dalam paket ekonomi lalu tidak dirasakan oleh pelaku usaha ritel sebab pemakaian listriknya justru maksimal pada puÂkul 10.00-22.00 WIB.
“Relaksasi (penurunan) tarif listrik seperti kemarin sebetulnya adalah obat cespleng, yang kami haÂrapkan untuk kompensasi daya beli masyarakat yang sempat lesu. Daya beli masyarakat atau konsumsi kaÂlau naik, kan bisa meningkatkan PDB juga. Konsumsi masyarakat itu mencapai 54% dari PDB loh,†pungÂkasnya.