Oleh: MUHAMMAD KHAMBALI
Istilah berkebutuhan khuÂsus berusaha menjelaskan kalau mereka sama seperti anak-anak pada umumnya, hanya saja memiliki kebuÂtuhan belajar yang berbeda dan khusus. Mereka sama dan mamÂpu untuk belajar, hanya saja cara belajarnya yang khusus dan unik.
Semua anak memiliki hak untuk belajar. Pendidikan adalah untuk semua, termasuk bagi anak-anak yang memiliki kebutuÂhan khusus. Karenanya, kita tidak berhak untuk melarang atau meÂnolak anak berkebutuhan khusus yang ingin sekolah.
Mereka berhak untuk mendapatkan dan memilih temÂpat belajar yang sesuai dengan kemampuan, karakteristik, minat dan bakatnya.
Saat ini pendidikan inklusif masih sebatas wacana besar, minÂim kemauan politik pendidikan yang sungguh-sungguh. Dalam buku Potret Pendidikan Kita (2015) menunjukkan bagaimana sulitnya anak-anak dengan kebutuhan khuÂsus seperti autis, down syndrome, dan tunanetra mendapatkan sekoÂlah inklusif. Faktanya, masih banÂyak sekolah reguler yang menolak mereka untuk belajar.
Cara pandang pendidikan kita masih mengabaikan keberÂagaman. Membeda-bedakan keÂmampuan setiap anak secara disÂkriminatif. Pendidikan kita belum bersandarkan pada asas keuniÂkan, keberagaman, keadilan, dan adanya akses yang sama untuk semua anak.
Kalau boleh diumpamakan sebuah akuarium, sebuah kelas lebih kerap diperlakukan sebagai akuarium yang berisi ikan-ikan sama dan sejenis. Maksudnya, cara pandang kita mengenai ruang kelas cenderung mengaÂsumsikan kelas berisikan murid-murid dengan kemampuan dan potensi yang sama.
Karenanya, setiap anak diberiÂkan materi, tujuan, metode, dan evaluasi yang sama pula. Tentu saja cara pandang demikian sangat keliru dan tertinggal. PersoÂalannya, penyeragaman semacam itu yang masih menjadi arus utaÂma dalam kurikulum persekolahÂan kita. Dan, masih banyak dianut oleh para guru kita.
Kita mendapati ruang kelas bermuatan standarisasi dan komÂpetisi. Seperti sistem evaluasi ujian nasional (UN), ketentutan ketuntasan nilai, dan pemeringÂkatan prestasi akademik.
Setiap anak diberikan maÂteri, metode, dan penilaian yang sama. Ruang kelas menampikkan adanya perbedaan. Menyalahkan setiap kegagalan yang diperoleh anak sebagai kebodohan, dan menuduhnya sebagai kemalasan.
Mengakui Perbedaan
Pendidikan berurusan denÂgan keadilan, politik, dan ekonoÂmi. Kita kerap lupa, setiap anak berangkat dengan latar belakang kelas sosial dan ekonomi yang beragam. Lupa kalau setiap anak memiliki akses dan kesempatan belajar yang berbeda pula.
Kerap sekali kita menemuÂkan seorang guru menyebut kata ‘bodoh’ kepada murid-muridnya. Padahal, apa sebenarnya ‘bodoh’ itu? Jika kebodohan itu ketidakÂtahuan, bukankah memang itu inti dari belajar? Mengapa perlu adanya sekolah, dan mengapa ada seorang guru? Hal itu tak lain untuk membantu ketidaktahuan muridnya itu.
Artinya, sebenarnya apa yang disebut ‘bodoh’ itu adalah bentuk label. Stereotip yang diskriminatif dan penting untuk dihapus dalam kamus mengajar seorang guru. Ketidaktahuan adalah keniscayÂaan dalam belajar, kita belajar karena kita merasa tidak tahu.
Bagi seorang guru, istilah muÂrid bodoh dan pintar itu akan lebÂih tepat jika dihapus dan diganti dengan istilah, ‘cepat dan kurang cepat menangkap pengetahuan baru’. Begitu juga seperti tidak meÂnyebut ‘salah’, melainkan ‘keliru’.
Penyeragaman dalam penÂdidikan hanya akan melahirkan kekeliruan semacam itu. SeÂlayaknya kita menyadari kalau setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Mereka memiÂliki karakteristik berupa kemamÂpuan, kelebihan, hambatan, poÂtensi, dan minat yang khas dan berbeda.
Menjadi tanggung jawab bagi setiap guru dan sekolah untuk memberikan suasana belajar yang sesuai dengan fitrah keunikan pada setiap diri anak. ki Hadjar DewantÂara berujar, â€Seorang guru mesti berhamba kepada anak.†Artinya, pendidikan mesti berpusat pada anak. Menyediakan kurikulum, tuÂjuan, materi, metode, dan evaluasi yang individual.
Artinya, dapat mengakomoÂdasi keunikan setiap anak terseÂbut. Pendidikan yang menyadari keberagaman dan bukan penyerÂagaman akan melahirkan sebuah kelas inklusif.
Inklusif tidak sesederhana diartikan sebagai penerimaan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler atau umum.
Lebih dari itu, sekolah inklusif menyangkut cara pandang yang melihat pendidikan sebagai jalan untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan egaliter. Sebuah kelas inklusif adalah ruang belaÂjar yang di dalamnya mengakui dan merayakan adanya perbeÂdaan pada setiap individu. ***
Penulis adalah: esais, pegiat di Pustaka Kaji dan guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) RawiÂnala, Jakarta, alumnus UniverÂsitas Negeri Jakarta (UNJ).
sumber: suarakarya.id