Oleh: Sudarto
Ketua Divisi Riset dan Substansi Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI)

Kegagalan pengelo­laan keberagaman yang terus menerus diulangi oleh negara ditengarai karena kaburnya batas hubungan agama dan negara. Dengan kata lain, meskipun Indonesia telah men­galami tujuh kali pertukaran rezim, namun pengelolaan ke­beragaman agama dan keyaki­nan tidak mengalami kemajuan yang signifikan bahkan sering­kali berjalan mundur. Bahkan pemerintahan Jokowi yang men­jadi tumpuan harapan mampu mengelola keberagaman dengan nawacitanya, tidak cukup mem­berikan harapan. Dimana letak persoalannya?

Hubungan agama–negara tidak sehat.

Rumusan bentuk negara yang bukan teokratis (agama) dan bu­kan pula sekuler ditengarai men­jadi pokok persoalan kaburnya batas hubungan antara agama dan negara. Dalam perspektif sejarah hubungan antara agama dan negara di Indonesia sering­kali terjadi perselingkuhan intim dan saling mengintervensi. Dalam kerangka ini, negara memandang agama hanya sebatas persoalan administratif untuk kepentingan kelompok agama terbesar sebagai konstituen terbesarnya. Lebih jauh pembangunan kebijakan ke­hidupan beragama lebih dimak­sudkan untuk pendisiplinan demi melanggengkan kekuasaan.

Situasi saling memanafaatkan tersebut, menggiring hubungan agama dan negara menjadi tidak sehat. Diskusi soal agama dan nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran bukanlah mengacu pada krititeria kebenaran itu send­iri, melainkan berdasarkan nalar, yang oleh Daniel Dhakidae disebut sebagai “religious discourse”, atau felloship of discourse. Kebenaran hanya boleh dimiliki oleh suatu kelompok tertutup dan tidak bo­leh dibagi kepada orang lain.

Lebih tragis, bicara kebena­ran lebih untuk tujuan mendo­minasi dan menguasai orang lain, utamanya melalui rebutan “menjadi” agama dan/atau keya­kinan yang diakui oleh negara. Termasuk menindas agama dan keyakinan lain supaya tidak diakui. Tegasnya, dalam nalar agamaisasi (politik agama) ini, diskusi kebenaran bukan men­gacu pada pengertian kebenaran secara filosofis dan teologis, me­lainkan kebenaran yang diingini oleh kelompok dominan.

Nalar “felloship of discourse” dapat dijumpai dalam kebijakan pemerintah yang terus men­gawetkan Badan Koordinasi Pen­garawas Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Melalui lembaga watchdog atau anjing pengintai. Mulder menyebut “In hands of the Ministry of Religion, Pak­em became the watchdog against utterly anti-Islamic spiritual move­ments” (2005:23). Melalui nalar ini, negara memberedel kelom­pok-kelompok keyakinan agama lokal atau penghayat kepercayaan, maupun kelompok-kelompok sempalan dalam agama. Sebut diantaranya,kelompok Lia Eden, Al-Qiyadah Islamiyah (Ahmad Mosadek), kelompok Gafatar ter­masuk juga pengusiran terhadap keyakinan dalam agama non-main­streams seperti seperti Jama’ah Ah­madiyah dan Jama’ah Syi’ah.

Dengan kebijakan politik agama ini, yang paling terkena dampak paling mendalam adalah kelompok penghayat kepercay­aan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atau yang sering disebut juga sebagai agama lokal atau agama asli. Agama lokal men­galami proses diskriminasi secara sistemik, massif dan terstruktur. Agama lokal tidak hanya menjadi obyek rebutan gerakan dakwah dan misi, tetapi selalu mengalami pemaksaan untuk menjadi agama dalam nalar dominan atau den­gan pilihan musnah.

Namun demikian, meskipun upaya politik ”pemusnahan” dan gempuran bertubi-tubi dengan menggunakan tangan negara ter­hadap kelompok penghayat, ti­dak serta merta membuat agama lokal musnah atau punah. Agama lokal dengan segala keterbatasan sistem doktrinnya tetap bertahan dari gempuran agama pendatang.

Pada saat bersamaan, meski­pun agama-agama pendatang ke­mudian memegang posisi politik sentral khususnya Islam dengan segala kekuasaannya, agama-aga­ma lokal tidak serta-merta tun­duk atau patuh terhadap Islam. Dengan kata lain, agama domi­nan utamanya Islam tetap saja tidak sepenuhnya dapat memilik rohani rakyat.

Formula menyehatkan hubungan agama negara

Kebijakan ”entry barrier (Dhakidae, 2003:559), negara terhadap agama paling tidak di­maksudkan untuk tiga tujuan per­tama, negara secara legal menge­luarkan peraturan-peraturan, dektrit, surat keputusan bersama, baik oleh lembaga tinggi negara maupun melalui kementrian-kementerian secara kolaboratif untuk melarang suatu kelompok agama dan/atau keyakinan.

Kedua, negara melakukan pengawalan atau pagar peng­halang yang dijaga secara ketat dan seksama oleh kementerian agama (Departemen Agama), se­bagai lembaga yang memegagang “sertifikat” monopolis menen­tukan benar atau salahnya satu keyakinan atau diakui dan tidak diakuinya satu keyakinan dan agama. Sekaligus boleh atau tida­knya suatu agama dan kepercay­aan dilaksanakan oleh warga yang memiliki keyakinan tersebut.

Ketiga, dikerjakan secara teliti oleh PAKEM yang dalam banyak kasus melampaui Departemen Agama untuk mengontrol, men­gawasi dan menindak agama dan/ atau keyakinan yang diang­gap menyimpang dalam masyara­kat. Dan atas desakan kelompok dominan, suatu agama atau keya­kinan dianggap menyimpang bo­leh diberhangus.

Keempat, alat negara terma­suk Angkatan Perang Republik Indonesia, Kepolisian Negara ter­libat atau dikerahkan sebagai pen­indak atas dugaan penyimpangan dan atau aliran sesat. Kasus tera­khir yang menimpa kelompok Gafatar di Mempawah dan kelom­pok Ahmadiyah di Bangka.

Dalam negara demokrasi yang majemuk, kebijakan tersebut jelas tidak sehat, dalam konteks inilah, kita perlu membangun modus politik demokrasi yang mejemuk dimana setiap komuni­tas dengan segala keberagaman­nya dapat diakui sekaligus dapat diperlakukan berbeda karena perbedaan identitasnya. Oleh karena itu diperlukan ruang yang lebih luas merenegosiasi penge­lolaan keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia. Beber­apa tawaran yang patut menjadi bahan pertimbangan antara lain:

Pertama, negara tidak boleh menjadi religious. Negara harus tegas antara wilayah teologis dan wilayah kewarganegaraan, se­hingga tidak terjebak dalam pen­gokatakan identitas. Perdebatan soal agama dan nilai-nilainya yang dianggap baik dan benar untuk masuk di ruang publik untuk pemecahan masalah ber­sama harus diletakkan pada nalar kewargaan ”civic reason” yakni konstitusionalisme, hak asasi ma­nusia (HAM) dan kewarganega­raan yang setara.

Kedua, negara harus benar-benar netral dan menjadi wasit yang adil. Negara tidak boleh menganak-emaskan satu kelom­pok identitas apapun, termasuk agama dominan, meskipun se­cara politik kelompok dominan tersebut merupakan konstituen utamanya. Dengan demikian neg­ara via aparaturnya akan sadar untuk tidak masuk dalam forum internum agama.

Ketiga,negara harus memfasil­itasi setiap warga negara untuk berbagi ruang publik secara adil. Masyarakat sipil dalam demokrasi tidak hanya membutuhkan keber­agaman masyarakat tetapi juga komitmen secara penuh untuk menggumuli (engagement) dalam bingkai pluralisme kewargaan, dimana setiap anggotanya segala niat untuk menekan dan mengu­rangi keberagaman, dan menjaw­ab segala tantangan dengan cara yang lebih damai. (*)

============================================================
============================================================
============================================================