Oleh: PRAMUDITO
Pemerhati sosial-politik, mantan diplomat

Bagaimana sikap kita menghadapi bencana alam yang sewaktu-waktu dapat menimpa? Bencana adalah fenom­ena alam. Sebagai manusia, kita ti­dak dapat memprediksinya secara tepat. Satu-satunya jalan terbaik adalah menghadapi bencana itu dengan berbagai sikap dan lang­kah untuk meminimalisasi dam­paknya. Paling tidak, jangan sam­pai ada korban jiwa.

Ada pula bencana alam yang disebabkan tingkah laku manusia yang dengan nafsu serakah meru­sak tatanan alam yang harmonis, demi mengejar keuntungan se­mata. Sebagai fenomena alam, bencana dapat berupa letusan gunung berapi, gempa bumi dan tanah longsor, termasuk gesekan atau keretakan pada kulit bumi.

Sedangkan bencana yang merupakan hasil ulah manusia, seperti sering dilansir ahli-ahli lingkungan, karena manusia ban­yak membabat hutan dan men­gubahnya menjadi permukiman, misalnya, vila-vila yang megah di daerah pegunungan. Akibatnya, pohon-pohon besar yang semes­tinya menjadi penahan air bila hujan turun lantas tak berfungsi lagi. Air hujan yang dicurahkan dari langit tidak tertahan dan ti­dak masuk ke dalam bumi, tapi terus mengalir baik melalui sun­gai maupun daerah-daerah gun­dul dan langsung mencari sasa­ran yakni permukiman manusia. Contoh konkrit, pegunungan di daerah Bogor yang berubah fungsi akhirnya membawa ma­lapetaka bagi masyarakat yang tinggal di daerah hilir sungai. Na­mun, manusia tampak tak jera-jeranya merusak hutan, meski­pun yang menjadi korban adalah penduduk daerah lain yang tidak ikut serta dalam perusakan dan perambahan hutan itu.

Bencana alam juga terkait erat dengan cuaca buruk pada masa-masa (bulan-bulan) ter­tentu. Periode Oktober-April merupakan musim penghujan di belahan bumi kita ini, dengan puncak curah hujan biasanya ter­jadi bulan Januari dan Februari. Belakangan ini memang diten­garai bahwa sifat iklim atau cuaca dunia kacau balau, bahkan cend­erung ekstrim. Ketika Indonesia dan negara-negara tetangga di ka­wasan selatan diguyur hujan ber­intensitas tinggi, di belahan dunia utara mengalami musim dingin, cuaca juga ekstrim dengan tem­peratur anjlok ke belasan derajat Celcius di bawah nol.

Badai salju melanda negara-negara yang sudah puluhan ta­hun tidak pernah diselimuti ser­buk putih dari langit. Sementara di belahan bumi selatan yang se­harusnya nyaman dengan cuaca musim panas, yang terjadi adalah panas yang ekstrim sehingga membakar semak-semak dan hutan-hutan kering. Bahkan tidak jarang kebakaran alami itu juga melanda sebagian permukiman penduduk. Dengan demikian seolah lengkaplah sudah dunia dilanda bencana ekstrem dingin dan panas, sedangkan di bagian tengah (daerah khatulistiwa), air­lah yang melanda dan berkuasa.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Dari data Kementerian Per­tanian, dari 450 daerah aliran sungai (DAS), sekitar 282 DAS atau kira-kira separuhnya sudah dalam kondisi kritis. Dengan fak­ta-fakta itu maka rehabilitasi, pe­nataan dan pengelolaan kawasan hulu adalah mutlak dilakukan, sejajar dengan penataan di ka­wasan hilir. Tanpa rehabilitasi di kawasan hulu maka penataan apa pun yang dilakukan di kawasan hilir akan sia-sia belaka karena air akan tetap mengalir dengan deras dari hulu dan banjir akan selalu mendatangi kawasan hilir.

Beruntunglah penduduk yang selama ini tinggal jauh dari kemungkinan tertimpa bencana alam. Namun, kita apalagi pihak pemerintah tentu saja tidak bo­leh lepas tangan untuk menang­gulangi dan menolong saudara-saudara kita sebangsa yang setiap tahun menjadi pelanggan ben­cana alam.

Secara ideal, kita sebagai pen­duduk dapat melakukan langkah-langkah pribadi untuk meng­hindari bencana alam. Misalnya, dalam memilih permukiman atau tempat tinggal sedapat mungkin jangan di daerah yang kemungki­nan akan tertimpa bencana. San­gat dianjurkan jangan memilih tempat tinggal yang dekat den­gan sungai, apalagi sungai besar untuk menghindari banjir.

Jangan pula memilih dan membangun rumah di lereng bukit atau lereng gunung, yang mudah sekali tertimpa tanah longsor. Apalagi, bila ada gunung meletus dan juga bila hujan de­ras airnya secara deras pula akan melanda permukiman kita. Kita harus pandai-pandai atau jeli memilih tempat permukiman apakah tempat itu rawan longsor atau tidak. Jika kita hendak mem­beli atau menyewa rumah, sebai­knya pada musim hujan karena dapat segera kita ketahui apakah daerah permukiman itu sering di­landa banjir atau tidak.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Yang tak kalah pentingnya, bila bencana alam tidak dapat kita hindari, sehingga kita ter­paksa harus pindah sementara ke tempat yang lebih aman menjadi pengungsi. Sungguh, tidak enak menjadi pengungsi. Kita terpaksa sangat mengandalkan bantuan baik dari pemerintah, para der­mawan atau kelompok-kelompok relawan. Tidak ada aktivitas se­hari-hari yang dapat kita lakukan secara normal dengan status seb­agai pengungsi.

Maka, secara ideal pula, un­tuk mengurangi penderitaan kita sebagai pengungsi, kita per­lu melakukan persiapan sedini mungkin. Kita harus menyela­matkan harta benda yang paling penting. Misalnya, kendaraan dan barang-barang berharga lain seperti perhiasan dan uang yang mudah kita bawa. Namun, yang tak kurang pentingnya adalah do­kumen-dokumen berupa surat-surat berharga, sertifikat tanah dan rumah, ijazah-ijazah, buku rekening bank, dan kartu kredit/ debet.

Sebaiknya barang-barang penting tersebut jauh sebelum­nya sudah kita masukkan ke dalam tas atau koper khusus yang dengan mudah dapat kita jinjing bila tiba-tiba harus segera mengungsi ke daerah yang aman. Siapkan pula pakaian-pakaian seperlunya. Tas atau kopor yang kita bawa jangan sampai ke­masukan air. Dengan demikian langkah-langkah itu akan merin­gankan beban penderitaan kita bila tiba-tiba terpaksa harus men­gungsi di hotel atau penginapan yang murah. Ini bila kita enggan ditampung di tempat pengung­sian berupa penampungan mas­sal, tempat para pengungsi isti­rahat sambil menunggu jatah makanan.

Memang kita dapat men­gungsi ke rumah sanak famili atau handai taulan. Tapi, bila terlalu lama, bukankah hal itu mengganggu kehidupan privasi mereka Itulah yang saya maksud­kan sebagai pengungsi mandiri. Pengungsi yang sedapat mungkin tetap mandiri dan tidak banyak mengganggu atau merepotkan orang atau pihak lain. Syukur bila dalam kemandirian itu kita juga masih sempat membantu orang lain sesama pengungsi dengan memberikan pertolongan ala kadarnya. Memang, sebaiknya kita harus selalu siap siaga untuk menjadi pengungsi mandiri dan sekaligus mengatasi kesulitan yang dihadapi pengungsi. ***

sumber: suarakarya.id

============================================================
============================================================
============================================================