PUNCAK kontestasi untuk memperebutkan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 sejatinya telah dimulai sejak hari ini, hari terakhir pendaftaran Pilkada DKI 2017 ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI. Dua atau tiga pasangan calon beserta partai politik pengusung sudah bersiap melangkah lebih maju menyiapkan strategi pemenangan.

Penyiapan strategi yang harus menunggu pendaftaran calon sebetulnya merupakan langkah terlambat. Keterlambatan itu karena sehari menjelang pendaftaran, baru satu pasangan calon yang mendaftar, yakni Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, yang diusung PDIP, Partai NasDem, Golkar, dan Hanura.

Partai-partai politik lain hingga tadi malam masih bergulat menentukan cagub dan cawagub yang bakal mereka usung. Boro-boro memikirkan strategi untuk memenangi pertarungan, untuk menentukan calon saja mereka mesti menunggu injury time.

Drama prapencalonan nyata-nyata telah menyebabkan si calon ataupun partai politik pengusung kehilangan waktu berharga untuk membuat pilkada kali ini menjadi sebuah kontestasi yang strategis dan berkualitas. Kini, waktu tinggal lima bulan sebelum hari-H pilkada serentak pada 15 Februari 2017 mendatang.

Itu jelas waktu yang singkat, tetapi mau tidak mau harus bisa dimanfaatkan optimal oleh pasangan calon dan partai-partai politik di belakang mereka untuk betul-betul mampu menawarkan solusi konkret permasalahan Ibu Kota.
Publik tentu tak mau berkompromi soal waktu persiapan itu dengan menurunkan harapan mereka yang tinggi terhadap pemimpin DKI yang bakal terpilih nanti.

Waktu yang pendek itu sudah semestinya digunakan untuk jualan program dan beradu gagasan. Tidak sepatutnya ‘duel’ dua atau tiga pasangan calon itu malah diisi dengan pertarungan isu-isu yang tak penting dan tak produktif, apalagi yang mengarah ke isu SARA. Strategi pemenangan pertarungan harus dibangun berdasarkan ideologi, visi, misi, dan program yang kuat.

Tidaklah elok bila Pilkada DKI 2017 terus diseret-seret masuk ke kubangan isu yang sangat sensitif dan mudah memancing pertengkaran di masyarakat. Seluruh pihak yang terlibat, terutama negara sebagai penyelenggara pilkada, harus memastikan bahwa tidak ada lagi tempat untuk segala bentuk kampanye hitam.

Dalam politik Indonesia yang beranjak dewasa, partai politik dan pemilih diharapkan juga semakin dewasa dalam berdemokrasi. Kontestasi pilkada bukanlah alat untuk sekadar menuntaskan nafsu mengalahkan lawan politik, melainkan untuk memilih pemimpin yang paling mumpuni demi mengangkat kualitas daerah tersebut.

Pilkada DKI 2017 seharusnya dapat menjadi contoh dari kedewasaan berdemokrasi bangsa ini. Hasil dari pemilihan pemimpin Ibu Kota itu mestinya dapat mempresentasikan bahwa pemilih Jakarta makin cerdas, rasional, dan bebas dari kungkungan pola pikir yang sempit.

Kita amat berharap pertarungan menuju DKI 1 dan DKI 2 tahun depan dapat membuktikan bahwa kekuatan gagasan, kematangan ide, dan keakuratan program sangat ampuh untuk menjungkalkan kampanye-kampanye model usang yang hanya mengandalkan isu primordial dan iming-iming uang. Pertarungan gagasan dan program akan menjadikan pilkada DKI lebih beradab.(*)

============================================================
============================================================
============================================================