Hutan hujan tropis di Indonesia sangatlah luas. Tapi dengan pertumbuhan penduduk yang besar, membuat tingkat kebutuhan akan pangan menjadi besar. Rata-rata orang Indonesia bergantung kepada beras (nasi) sebagai makanan pokok, hal ini dapat menjadi masalah serius bagi Indonesia. Banyak hutan yang dikorbankan untuk dijadikan lahan pertanian, dan sekarang hutan hujan tropis yang berfungsi
Oleh : Muhammad Rizal Oktavian
[email protected]
Fakta seperti itulah yang membuat Saptarining WuÂlan menekuni usaha sagu unÂtuk diolah menjadi berbagai keperluan konsumsi. “MenÂgubah hutan menjadi lahan tani secara terus menerus adalah hal yang salah, nanti ekosistem kita menjadi tidak staÂbil,†tutur Nining, panggilan akrab SapÂtarining, ketika dihubungi Bogor Today, Jumat (25/12/2015).
Nining mengolah sagu menjadi berÂbagai macam olahan makanan, seperti beras sagu, mie instan, makaroni, sampai kue kembang goyang yang semuanya berÂbahan dasar sagu. “Semuanya berbahan dasar sagu, kandungan di dalam sagu juga bagus. Terlebih lagi sagu ini gluten free (kadar gulanya rendah, red) jadi bagus untuk anak-anak berkebutuhan khusus seperti autis. Dan juga tidak menggunakÂan zat pewarna,†jelas wanita asal Sragen, Jawa Tengah ini.
Berawal pada tahun 2011, ketika itu Nining masih dalam tahap penelitian lingÂkungan. Kemudian pada tahun 2015 NinÂing melakukan penelitian tentang sagu ini. “Mulai-nya sekitar tahun 2011, lalu baru April 2015 saya merambah pasar unÂtuk sagu ini,†jelasnya.
Menurut Nining, sagu memiliki potenÂsi yang besar. “Sagu kan bisa tahan terhaÂdap musim kemarau, tidak perlu mengguÂnakan pupuk juga. Karena ketika diteliti, antara yang menggunakan pupuk dengan yang tidak, hasilnya tidak berbeda. BahÂkan ampas sagu memiliki berbagai keguÂnaan, seperti misalnya untuk kebutuhan ternak,†kata Nining.
Selain dapat dijadikan produk panÂgan, Nining menjelaskan bahwa sagu juga dapat digunakan untuk keperluan energi alternatif sampai bahan campuran untuk kosmetik. Nining juga berharap bahwa sagu dapat membantu mengurangi krisis pangan yang ada di Indonesia.
Pada tahun 2015 ini, Nining baru dapat mengolah sagu sebanyak 500 Kg, tapi Nining akan meningkatkan produksinya sampai 1 ton pada tahun 2016 mendatang. Kesulitan yang dihadapinya adalah penÂgadaan mesin yang susah. “Sekarang belum cukup bila harus membeli mesin sendiri, karena itu saya masih meminjam mesin milik BPPT yang lokasinya di SerÂpong, Tanggerang,†jelas wanita yang laÂhir pada 31 Juli 1969 ini.
Selain itu juga mindset rata-rata orang Indonesia merasa “belum makan kalau belum makan nasi†juga menjadi kendala tersendiri, Nining menjadi sulit untuk memperkenalkan produk beras sagu sebÂagai alternatif bahan panÂgan. “Diperlukan peranan pemerintah dalaml melakukan sosialisasi tentang manfaat sagu ini,†jelas Nining.
Dalam menjalani usahanya, NinÂing dibantu oleh 4 orang yang bertugas membuat olahan sagu sesuai dengan kemampuannya, “Jadi saya juga memÂberdayakan ibu-ibu yang memiliki keÂahlian. Ada yang ahli membuat cookies, macaroni, kembang goyang, dan lain-lain.†katanya.
Nining juga sering mengadakan pelatiÂhan-pelatihan tentang manfaat dan potensi sagu ini. “Saya sering mengadakan pelaÂtihan dan seminar mengenai sagu ini, biasanya ke ibu-ibu PKK.†jelas Nining.
Bila ada yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang sagu atau ingin memesan produk olahan sagu, bisa melalui kontak perÂsonal Nining di noÂmor 081514265377.