BOGOR, TODAY– Sineas film Indonesia, Ratna Sarumpaet mengkritik kualitas film IndoÂnesia yang menurutnya tidak mendidik.
Ia menilai ongkos produksi kian mahal dan pajak perfilÂman sebesar 10 persen sering bertolak belakang dengan hasil pendapatan dari penonton.
“Kebanyakan yang bikin film aneh-aneh itu muncul karena tidak adanya dana untuk memÂbuat film yang berkualitas dan mendidik. Jadi mereka menÂgakali ongkos produksi dengan menurunkan kualitas film,†ujar Ratna saat menjadi pembiÂcara dalam Literasi Media, SenÂsor dan Klarifikasi Film Seni dan Budaya di Cibinong, Kamis (28/5/2015).
Ibunda dari aktris cantik Atiqah Hasiholan itu menÂgatakan, kualitas film IndoneÂsia bisa terdongkrak naik jika saja pemerintah bisa memÂberikan subsidi pajak sebesar 5 persen perfilman Indonesia.
“Kalau disubsidi lima persÂen saja oleh pemerintah, saya yakin kualitas film kita tidak kaÂlah dengan dengan Hollywood. Minimal dari cara penyajianÂnya,†ujar wanita yang juga merupakan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) itu.
Saat ini, menurutnya film-film Indonesia masih kalah animo penontonnya dengan film impor yang kini menjamur di bioskop seluruh Indonesia. “Indonesia ini baru dalam uruÂsan membuat fil berkualitas bagus. Jadi dimaklumi saja, ini sudah lumayan kok,†ujarnya.
Ia juga mengkritisi film-film horor plus bumbu seksual denÂgan judul aneh yang menghiasi daftar putar bioskop belakanÂgan ini. Menurutnya, lebih baik sineas muda untuk mengangÂkat gerakan budaya mengenai Indonesia.
“Dari Sabang sampai MeÂrauke itu kalau difilmkan tidak akan habis. Indonesia ini sangat kaya. Kalau itu bisa diolah denÂgan maksimal, pasti akan meÂnyingkirkan pembuat film-film dengan judul aneh itu,†cetusÂnya.
Sementara mengenai sensor fiilm, Ratna mengungkapkan hal itu tidak akan berimbas pada sajian yang bermutu dan mendidik. “Tuh buktinya maÂsih banyak yang korupsi. SenÂsor terbaik itu ada di keluarga, khususnya orangtua. Karena tidak menjamin Indonesia berÂsih karena ada sensor film,†ujarnya.
Meski tidak mengatakan lembaga sensor film itu tidak berguna, ia mengatakan keÂsadaran masyarakat untuk memilih tontonan yang akan dikonsumsi jauh lebih penting.
“Sekarang begini, kalau maÂsyarakat disajikan dengan film horor berbau seks, meski sudah lolos sensor, tetap saja ditontonkan. Apalagi batasan umur untuk meÂnonton film di bioskop belum begitu ketat,†cetusnya.
Sementara itu, wakil ketua Dewan Kesenian Kota Bogor, Ace Sumanta yang ikut dalam dialog ini berpendapat sensor film harus dilihat sesuai dengan kebutuhan.
“Sensor itu jangan hanya sebagai kepentingan kekuaÂsaan atau golongan. Tetapi untuk kepentingan masyaraÂkat suÂpaya tidak ada lagi pembodohan, pornoÂgrafi, rasial,” tandas Ace.
(Rishad Noviansyah)
Bagi Halaman