SATU bulan terakhir, isu beras plastik sangat menghebohkan masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, plastik merupakan senyawa polimer etilen, propilen, atau polivinyl yang secara fisiologis tidak dapat dicerna tubuh manusia bahkan dapat membahayakan kesehatan. Konsumsi beras plastik tidak menghasilkan energi bahkan berdampak buruk bagi kesehatan.
Oleh: M. IRFAN FEBRIANSYAH
Mahasiswa Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor
Terlepas dari benar atau tidak keberadaan beras plastik dipasaran, beÂras plastik merupakan teknologi yang sangat maju dalam perkembangan ilmu polimer dan hidrokoloid karena produsen beras plastik telah mamÂpu memproduksi beras sintetis berbahan baku campuran sumber pati seperti kentang dengan bahan plastik yang memiliki karakteristik fisik mirip dengan beras asli.

Beras plastik berasal dari baÂhan baku berupa bijih plastik yang secara ekonomi relatif mahal,serta membutuhkan biaya produksi yang tinggi pula untuk dapat dioÂlah menjadi beras, sehingga secara logika, biaya produksi beras plasÂtik akan lebih mahal dibanding beras alami oleh karena itu tentuÂnya isu keberadaan beras plastik masih diragukan dan masih belum bisa dipastikan keberadaannya.
Keberadaan beras sintetis berÂbahan plastik tentu sangat mereÂsahkan. Namun, apakah seluruh beras sintetis berbahaya?, tentu saja tidak. Beberapa tahun terakhir, peneliti indonesia mengemÂbangkan teknologi beras sintetis yang berbahan baku pati dari berbagai sumber pati lokal IndoÂnesia untuk merealisasikan program pemerintah yang berkenaan tentang ketahanan pangan. SebÂagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Republik IndoneÂsia Nomor 18 tahun 2012 yang meÂnyatakan bahwa: “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai denÂgan perseorangan, yang tercerÂmin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun muÂtunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tiÂdak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyaraÂkat, untuk dapat hidup sehat, akÂtif, dan produktif secara berkelanÂjutanâ€. Beras sintetis yang telah dikembangkan umumnya disebut dengan beras analog.
Mengapa Beras Analog Perlu Dikembangkan?
Konsumsi nasi merupakan “hal wajib†bagi sebagian besar masyaraÂkat di Indonesia karena sebagian masyarakat merasa belum makan kalau bukan makan nasi yang notaÂbenenya berasal dari beras. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beras analog diproduksi dengan menggunakan bahan baku sumber pati lokal seperti umbi-umbian dan sebagainya, sehingga perkembangan teknologi beras analog sangat penting di Indonesia karena keÂberadaan beras analog akan memÂbantu ketersediaan pangan pokok dan mengurangi impor beras.
Pembuatan beras analog melalui serangkaian proses, antara lain: formulasi, prekondisi, ekstruÂsi dan pengeringan. Formulasi beÂras analog memiliki peran penting dalam karakter fisik beras analog yang dihasilkan. Formulasi yang tepat dapat menghasilkan beÂras yang menyerupai beras alami. Umumnya bahan baku beras anaÂlog tidak hanya berasal dari sumÂber pati, tetapi juga ditambahkan bahan lain seperti lipid, serat dan bahan penstabil atau pengatur karakter fisik. Penambahan bahan aditif, seperti flavoran, pewarna, fortifikan dan antioksidan bersifat opsional sesuai permintaan dan kebutuhan. Proses prekondisi meÂmiliki peranan yang tidak kalah penting dalam proses pembuaÂtan beras analog terutama dalam keseluruhan proses ekstrusi.
Penggunaan proses prekondisi dalam proses ekstrusi memiliki beberapa keuntungan, antara lain: meningkatkan keseragaman hidrasi partikel, mengurangi waktu tingga adonan didalam ekÂstruder dan meningkatkan waktu tinggal secara keseluruhan. Dalam proses prekondisi dikenal istilah plastisasi tetapi bukan berarti seÂlama proses produksi beras anaÂlog ditambahkan material plastik kedalam adonan. Proses plastisasi pada proses prekondisi merupakan proses pengkondisian adonan beras analog secara sedemikian rupa agar proses pengaliran ke ekÂstruder lebih mudah dan tekstur dari beras analog yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan.
Proses ekstrusi mempengaruhi sifat-sifat fisik dan kimia beras analog. Selama proses ekstrusi, adonan beras analog mengalami pemanasan yang seÂdikit lebih tinggi dari proses sebeÂlumnya, serta homogenasi lebih lanjut. Proses ekstrusi memiliki variabel-variabel kritis selama proses agar pati yang di ekstrusi tidak terdegradasi lebih lanjut, serta diperoleh tekstur dan karakÂter penanakan beras analog yang menyerupai beras alami. Variabel kritis tersebut, antara lain: komÂposisi bahan (pati, protein, seÂrat, dan lemak), kadar air, ukuran partikel dan aditif, serta variabel proses ekstrusi. Proses terakhir adalah proses pengeringan beras analog. Proses pengeringan bertuÂjuan untuk mengurangi kadar air didalam beras analog agar dapat memiliki daya simpan yang cukup lama serta distribusi beras analog pun menjadi lebih mudah.
Pengembangan teknologi dalam produksi beras analog sejaÂlan dengan program pemerintah tentang diversifikasi beras dengan sumber pati lain. Namun hingga saat ini, beras analog masih belum diproduksi secara masal karena masih memiliki kelemahan. SeÂcara fisik, warna beras analog masih terlihat kusam sedangkan preferensi yang disukai oleh maÂsyarakat adalah beras yang berÂwarna putih bersih. Disamping warna yang masih kusam, beras analog juga relatif mahal karena umumnya produksi beras analog masih menggunakan teknologi produksi dalam skala kecil. Hal-hal tersebut menyebabkan beras analog masih sulit diterima maÂsyarakat. Produksi beras analog dalam skala besar diharapkan dapat mengurangi biaya produksi yang berdampak pada harga beras analog yang lebih murah.
Perkembangan isu beras plasÂtik juga memberi pengaruh terhaÂdap terhambatnya perkembangan dan penyebarluasan beras analog. Bagaimana tidak, Saat ini sudah tertanam di pikiran masyarakat bahwa beras sintetis berbahaya bagi tubuh. Tidak hanya beras analog, beras fortifikasi juga diduga akan terhambat penyebarannya akibat isu beras plastik ini. PadaÂhal pemerintah mengembangkan fortifikasi beras agar masyarakat yang kekurangan zat gizi tertentu seperti vitamin dan mineral dapat diperoleh dari konsumsi beras. Menyikapi dampak dari isu beras plastik, masyarakat hendaknya tiÂdak terlalu panik dan cerdas dalam menerima informasi karena tidak semua rekayasa teknologi terhaÂdap pangan berdampak negatif, seperti halnya beras analog.
Muhammad Irfan Febriansyah.
Lahir di Palembang, 4Â Februari 1992.
Penulis adalah alumni Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sriwijaya.
Saat ini penulis sedang menempuh studi S2 di Program Studi Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor