AHMAD Syafii Maarif genap berumur 80 tahun pada 31 Mei lalu. Bersyukur beliau masih dikaruniai kesehatan dan energi kecendekiaan yang prima.
Oleh: FAJAR RIZA UL HAQ
Direktur Eksekutif Maarif Institute
Tidak banyak warga senior bangsa, sepÂerti Buya Syafii, beÂgitu panggilan akrab untuknya, di negeri ini: fisik segar-bugar dan tetap produktif menulis; masih rutin melakukan perjalanan mengÂgunakan pesawat sendirian rute Yogyakarta-Jakarta; tak jarang terbang memenuhi undangan ke kota-kota di luar Jawa, bahkan ke luar negeri, yang sebenarnya sanÂgat melelahkan untuk orang seuÂsianya. Mau tahu makanan favorit putra kelahiran Sumpur Kudus, “Makkah Darat†ini? Tengkleng dan sate kambing!
Beliau nyaris tidak pernah memberikan kesempatan orang lain membawakan tasnya. “MeÂmang Anda pikir saya sudah tidak mampu bawa sendiri?†sergahnÂya saat ada yang coba-coba memÂbantu membawakannya.
Salah satu ungkapan syukur atas karunia usia panjangnya itu adalah sumbangan tulisan belaÂsan intelektual yang bermuara pada penerbitan buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat: BioÂgrafi Intelektual Ahmad Syafii Maarif, (Serambi & Maarif, Juni 2015). Biografi intelektual ini merupakan apresiasi dan dukunÂgan para kontributor terhadap pemikiran-pemikiran Buya Syafii dalam bentuk ulasan, pendalaÂman, kritik, bahkan pengembanÂgan topik-topik yang belum banÂyak disentuhnya.
Buku ini mengurai relevansi gagasan-gagasan solutif maupun kritis mantan Ketua PP MuhamÂmadiyah ini ketika dihadapkan pada problematika kebangsaan dan kenegaraan. Sosok Buya SyÂafii, menurut Noorhaidi Hasan, adalah seorang intelektual MusÂlim Indonesia par exellence yang menekankan semangat moral IsÂlam dalam bernegara.
Mengikuti lika-liku perjalaÂnan hidupnya hingga saat ini, guru besar (emiritus) sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta ini telah mengalami transforÂmasi radikal, utamanya dari sisi spektrum pemikiran dan radius pergaulan. Mulai dari seorang puritan pengagum Al Maududi yang memimpikan negara Islam, pendukung fanatik Partai MaÂsyumi, dan mencurigai proyek “salibisasi†di balik upaya-upaya penghancuran umat Islam; hingÂga akhirnya meyakini tidak ada kewajiban mendirikan negara agama dan menjadi penganjur seÂtia Negara Pancasila yang senapas dengan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin.
“Kalau aku mengatakan bahÂwa Islam merupakan pilihanku yang terbaik dan terakhir, hak sama harus pula diberikan seÂcara penuh kepada siapa saja yang mempunyai keyakinan seÂlain itu,†tulisnya dalam Memoar Seorang Anak Kampung (2013).
Jihad Kebangsaan
Sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, masyarakat Muslim memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan cita-cita keadiÂlan sosial segera terwujud tanpa pilih kasih. Sudah sejak merdeka, sila ke-5 Pancasila itu jadi yatim piatu. Kegelisahan Buya Syafii ini mendeterminasi dirinya sangat keras menentang praktik- praktik korupsi, mafia pengadilan, mafia pangan, dan realitas kesenjangan pendapatan yang kian dalam. Faktanya, kemiskinan terus menÂcengkeram sebagian besar anak bangsa. Ketidakadilan ekonomi makin menggurita.
Namun, Buya Syafii tak lelah melakukan jihad kebangsaan, meski harus berhadapan dengan tembok kepentingan-kepentinÂgan elite politik, oligarki partai, bahkan para pemburu rente. Ia pun tak jenuh mengingatkan masyarakat Muslim agar terus berbenah meningkatkan kualitasÂnya ketimbang terobsesi dengan penambahan kuantitas karena bisa seperti buih di lautan.
Pembelaannya terhadap agenda pemberantasan korupsi sangat terang-benderang. KoÂrupsi hulu dari kemiskinan. Saat mencuat pro-kontra pelantikan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri, Buya Syafii salah satu tokoh yang paling vokal menolak. BanÂyak pihak mempertanyakan bahÂkan mencibir sikapnya yang cenÂderung membela Presiden Joko Widodo ketika bersikukuh bahwa Budi Gunawan tidak akan dilantik sesuai pembicaraannya dengan Jokowi via telepon. Suara-suara yang tidak setuju menyayangkan posisi Buya Syafii yang seolah-olah bertindak sebagai “bemper†pemerintah.
Kekecewaan sebagian beÂsar warga Muhammadiyah terÂhadap Jokowi-JK yang tidak mengakomodasi kader MuhamÂmadiyah dalam Kabinet Kerja tidak memengaruhi kejernihan seorang Buya Syafii di tengah geÂjolak polemik Polri-KPK. Dalam satu kesempatan, penulis menanÂyakan persoalan ini kepada Buya. “Ini semata-mata demi KPK, satu-satunya lembaga yang masih diÂpercaya publik untuk memberanÂtas korupsiâ€, ujarnya.
Figur Buya Syafii sudah tak terpisahkan lagi dari arus gerakan masyarakat sipil yang memperÂjuangkan keadaban publik dan pelembagaan prinsip-prinsip keÂadilan dalam tata pemerintahan. Mungkin agak berlebihan, beraÂgam kalangan mendaulatnya seÂbagai simbol dari jangkar moraliÂtas publik. Oleh karena itu, guru besar etika Universitas Katolik AtÂmajaya Jakarta, Alois A Nugroho, menyebut sosok Buya Syafii sebÂagai seorang “muazin moralitas bangsa†( Juni, 2015). Mengapa? Itu karena Buya Syafii tak lelah berseru-seru kepada politisi dan birokrat negara agar menjauhi mentalitas “thugocracyâ€(maling/ pancilok dalam bahasa Minang).
Secara harfiah, muazin adalah sang pengingat. Ia berseru-seru tiada lelah mengingatkan orang-orang untuk menunaikan shalat dan menggapai kebahagiaan. Jika diterapkan dalam konteks kehiduÂpan berbangsa, muazin dapat diÂmaknai sebagai seseorang yang konsisten menyuarakan nilai-nilai moralitas dan keadaban publik serta mengingatkan penguasa dan segenap warga negara untuk terhindar dari perilaku-perilaku mungkar (buruk) yang destruktif, yang jauh dari rasa keadilan.
Menurut hemat penulis, ada titik temu-bahkan saling berÂsenyawa-antara spirit seorang muazin dan pesan historis dari “Makkah Daratâ€, julukan kamÂpung kelahiran Buya Syafii di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Frasa “Makkah Darat†sendiri beÂrasal dari sejarah Minangkabau era Islam yang sudah tertimbun debu sejarah selama ratusan taÂhun. Makkah Darat, ungkap Buya dalam otobiografinya, merepreÂsentasikan simbol pusat Islam di pedalaman Minang yang memiÂliki sejarah panjang dalam proses pergumulan Islam dengan kultur Hindu-Buddhis.
Istilah ini melambangkan gerÂak perlawanan terhadap budaya hitam yang dikuasai para parewa (preman), yang masih berlangÂsung hingga era Islam, bahkan sampai sekarang. Spirit Makkah Darat adalah budaya perlawanan terhadap pelbagai budaya yang mendegradasikan martabat manuÂsia dan mengorupsi rasa keadilan.
Saat bertemu Gubernur DKI Jokowi pada 1 Agustus 2013 di Maarif Institute, secara khusus Buya menanyakan pandangan sang tamu terkait budaya mafia di kalangan birokrasi yang berkroni dengan politisi busuk dan penÂgusaha-pengusaha hitam. Seingat penulis, jawaban Jokowi cukup standar. Praktik kotor semacam itu harus diberantas. Dan kini kita semua tahu, Presiden Jokowi berulang-ulang mendeklarasikan komitmennya perang melawan mafia bisnis, tetapi masih belum terlihat kebijakan-kebijakan radiÂkal yang terukur.
Lazimnya seorang muazin yang tak peduli siapa pun imamÂnya, Buya Syafii akan selalu tetap menyuarakan hal-hal yang diyaÂkininya benar. Tidak akan pernah berkompromi terhadap kemungÂkaran politik dan praktik-praktik kumuh bernegara yang sudah terbukti memunggungi nilai-nilai luhur Pancasila. Menyaksikan TaÂnah Air-nya disinari keadilan dan dinaungi kesejahteraan akan menÂjadi kado terindah Buya Syafii di usia magribnya. Semoga.