MENINGKATNYA permintaan produk pangan selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri dapat membuka peluang hadirnya produk makanan ilegal yang berbahaya bagi kesehatan. Produk makanan ini bisa yang sudah kedaluwarsa dan rusak sehingga konsumen harus teliti melihat kemasan, izin edar, dan tanggal masa berlaku produk yang dibeli.
Oleh: POSMAN SIBUEA
Dalam upaya menceÂÂgah beredarnya produk pangan tidak aman itu, Badan PenÂÂgawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengawaÂÂsi 452 sarana distribusi pangan di Indonesia. Dari pengawasan yang dilakukan selama 25 Mei hingga 9 Juni 2015 itu, BPOM menemukan ada 11.370 kemasan dari 483 jenis produk pangan senilai Rp453,8 juta tidak memenuhi syarat (TMS) untuk dijual dan dikonsumsi. Dari makanan TMS itu ditemukan 124 item (817 kemasan) sudah ruÂÂsak (penyok, berkarat), 206 item (4.510 kemasan) yang kedaluwarÂÂsa, dan 153 item (6.043 kemasan) tanpa izin edar.
Selain itu, dalam pemerikÂÂsaan sejumlah sampel makanan di Pasar Cibubur, Jakarta Timur, yang dilakukan Balai Besar PenÂÂgawas Obat dan Makanan DKI Jakarta ditemukan bahan berÂÂbahaya pada makanan. Bahan berbahaya seperti pewarna dan pengawet non-food grade masih ditemukan. Makanan yang menÂÂgandung bahan berbahaya antara lain tahu, asinan, dan kerupuk. Hal yang sama juga ditemukan pada pemeriksaan produk panÂÂgan olahan di wilayah lain di seÂÂjumlah daerah di Tanah Air.
Tidak Layak Konsumsi
Pada awal April 2015, sebelum BPOM mengumumkan hasil penÂÂgawasannya, media massa telah gencar memberitakan sejumlah makanan dan minuman yang tiÂÂdak layak konsumsi. Pembuatan nata de coco menggunakan puÂÂpuk urea, kikil yang diawetkan dengan formalin, es batu menÂÂgandung bakteri patogen karena bahan bakunya berasal dari air sungai dan makanan ringan berÂÂbahan baku pakan ternak.
Kejahatan di balik bisnis makanan semakin kerap munÂÂcul ke permukaan. Seandainya kita lebih rajin lagi mengelilingi sejumlah pasar tradisional, nisÂÂcaya tidak sulit menemukan makanan yang menggunakan pengawet formalin, boraks, dan bahan pewarna tekstil. Bakso, mi basah, tahu, ikan, daging ayam, buah, dan sayuran adalah makanan sangat populer yang telah dicemari zat racun tersebut. Penggunaan bahan berbahaya seÂÂbenarnya sudah muncul sejak taÂÂhun 1980-an. Ia telah masuk dan bersemayam di dalam perut maÂÂsyarakat konsumen sekitar tiga dekade. Namun, ironisnya belum ada tindakan tegas yang dilakuÂÂkan pemerintah untuk mencegah kejahatan itu.
Mungkin karena konsumen tidak tampak berteriak kesakitan dan langsung tewas seperti korban serpihan bom teroris, sehingga pemerintah membiarkan anak bangsa ini tetap mengonsumsi makanan beracun untuk kemudiÂÂan mati secara perlahan. Penyakit yang timbul akibat makanan yang terkontaminasi (foodborne disÂÂease) penyebab utamanya adalah mikroba patogen, mencapai sekiÂÂtar 80-90%. Disusul bahan kimia dari pestisida atau bahan beraÂÂcun yang secara alami ada dalam makanan. Bila dikelompokkan berÂÂdasarkan sumber bahan makanan, ternyata industri jasa boga (katerÂÂing dan restoran) menempati perÂÂingkat atas sebagai sumber foodÂÂborne disease, yakni 77%.
Disusul makanan yang dimaÂÂsak di rumah sebesar 20%, dan sisanya 3% disebabkan makanan yang diproduksi industri panÂÂgan. Meskipun kontribusi indusÂÂtri pangan relatif rendah, tak bisa dianggap enteng sebab jangkauan konsumennya lebih luas. Apabila produknya menimbulkan keracuÂÂnan maka jumlah penderita per kaÂÂsus akan lebih besar, seperti halnya kasus biskuit beracun tahun 1989.
Tragedi kejahatan di balik bisnis makanan sebagai potret buram keamanan pangan dapat terjadi mulai dari hulu hingga di hilir industri pangan (Sibuea, 2015). Korban yang timbul bercoÂÂrak massal dan meminta korban nyawa manusia. Kenyataan itu makin memprihatinkan ketika peristiwa ini kerap terjadi karena kelalaian manusia yang kurang memedulikan keselamatan konÂÂsumen. Apalagi dengan kondisi masyarakat saat ini sedang menÂÂgalami krisis kepercayaan, pemÂÂbohongan publik dapat dengan mudah dilakukan. Untuk alasan meningkatkan sifat fungsional produk, pemakaian bahan tamÂÂbahan makanan( BTM) yang tidak aman semakin tak terkendali.
Penambahan zat berbahaya seperti formalin, pewarna rhodaÂÂmin B, kuning metanil, pemanis buatan siklamat atau sakarin adaÂÂlahserpihan contoh yang kerap dipakai untuk makanan. FenomÂÂena ini ibarat bom waktu. Bahaya yang ditimbulkan amat dahsyat, yakni menyebabkan kanker yang merampas nyawa orang. Di sisi lain, proses pemanasan yang tidak sesuai, penanganan unÂÂder processing, khususnya pada produk makanan kaleng berÂÂasam rendah dapat terjadi karena kurangnya pemahaman tentang thermobakteriologi yang dikemÂÂbangkan Dr Stumbo, seorang ilmuwan di bidang teknologi pangan terkemuka dunia. Hal ini dapat menstimulasi terbenÂÂtuknya toksin botulin dari bakÂÂteri Clostridium botulinum yang amat berbahaya. Sebaliknya, proses pemanasan berlebihan pada penggunaan minyak goreng dan berulang-ulang akan mengÂÂhasilkan kerusakan produk yang memicu munculnya senyawa karsinogenik yang tidak baik bagi konsumen.
Mengasah Hati Nurani
Pertanyaan saat ini adalah mengapa sulit memberi jaminan keamanan pangan di tengah maÂÂsyarakat? Pemerintah belum bisa melakukan pengawasan melekat yang tercermin dari berbagai upaÂÂya yang dilakukan di setiap mata rantai yang diduga bisa menimbulÂÂkan masalah keamanan pangan.
Dari wilayah produksi, penÂÂgolahan, distribusi, hingga saat penyajian untuk konsumsi. MaÂÂsyarakat berharap berbagai inÂÂstansi terkait harus terlibat dalam memeriksa keamanan pangan dan memberdayakan petugas untuk melakukan penyuluhan keamanan pangan kepada penÂÂjual makanan. Selama ini pemerÂÂintah telah abai tentang satu hal. Undang-undang yang baru tenÂÂtang pangan sudah dibuat, reguÂÂlasi tata niaga bahan tambahan makanan diperketat, dan sertiÂÂfikasi mutu produk diharuskan. Namun, semuanya bisaditerabas pelaku ekonomi demi tujuan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Makanan berÂÂformalin yang tetap eksis dari waktu ke waktu adalah bukti nyata pemerintah gagal dalam menjalankan fungsi pengawasan. Tindak kejahatan di balik bisnis makanan yang kerap berulang ini jika hendak digali secara lebih kontemplatif, persoalannya meÂÂnyangkut moralitas anak bangsa. Perdagangan produk makanan ilegal saat masyarakat merayakan Idul Fitri dan hari-hari besar keÂÂagamaan lainnya adalah serpihan representasi dari bangsa yang mengalami degradasi moral.
Negeri yang warganya santun karena taat beragama kini mulai kurang beradab dan tak peduli keselamatan orang lain karena melakukan pembunuhan secara perlahan- lahan lewat teror forÂÂmalin. Ketika persoalan kejahatÂÂan di balik bisnis makanan mereÂÂbak menjadi tragedi kemanusiaan yang menelan korban jiwa, pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan kerap merÂÂeduksi persoalan dengan berdalih bahwa penyebabnya adalah keraÂÂcunan makanan yang dipicu cara memasak yang tidak benar. AlaÂÂsan lain disebutkan bahwa temÂÂpat memasaknya kurang higienis atau airnya sudah terkontamiÂÂnasi limbah beracun. Pada masa datang agar kejahatan di balik bisnis makanan bisa berkurang secara bermakna, maka sebagai umat beragama yang religius seÂÂmestinya masyarakat pedagang makanan dan korporasi patut lebih mempertimbangkan aspek moralitas ketimbang nilai keunÂÂtungan semata.
Para pemuka agama diharapÂÂkan dapat berperan aktif memÂÂperbaiki moral anak bangsa ini. Mereka tidak sekedar hadir unÂÂtuk mengusung ceramah agama tetapi juga memberi teladan moÂÂralitas tentang perilaku manusia. Sebagai sesama anak bangsa, kita hendaknya dapat mengasah hati nurani untuk berperilaku jujur dalam berbisnis di bidang panÂÂgan, bukan sekadar makhluk ekoÂÂnomi yang menakar segala aktiviÂÂtas dari aspek untung dan rugi.
# Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pangan
di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan