Untuk memperinÂgati Hari KebangÂkitan Nasional dan menjelang hari laÂhirnya Pancasila, kita layak mengulas kembali pertanyaan itu. Sebab, reformasi dan terbukanya keran demokrasi serta kebebasan berpendapat telah menyeruak sebagian kelomÂpok yang antinasionalisme untuk tampil ke permukaan. Karena itu, debat ihwal kompatibilitas Islam dengan nasionalisme masih relÂevan untuk diajukan kembali.
Mereka yang menolak ide naÂsionalisme, secara ringkas, dapat disimpulkan alasannya dalam tiga argumen. Pertama, arguÂmen paling mendasar adalah, dalam kredo Islam, persatuan diwujudkan atas dasar kesamaan iman atau akidah. Biasanya yang dijadikan dalil adalah QS 49:10, innamal-mu’minun ikhwah (kaum beriman itu bersaudara). Islam diyakini bersifat universal, melintasi batas kebangsaan, dan wilayah geografis. Karena itu, IsÂlam diyakini bertentangan denÂgan nasionalisme.
Kedua, kelompok antinasiÂonalisme berpandangan bahwa ide nasionalismelah yang menyeÂbabkan runtuhnya Khalifah Islam (Uthmaniyah). Akibat nasionalÂisme, Khalifah Islam terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil yang satu sama lain saling bersengketa. Nasionalisme juga membuat umat Islam di negara yang satu tidak peduli dengan naÂsib umat Islam di negara lain. MisÂalnya, persoalan Palestina diangÂgap bukan persoalan umat Islam di Indonesia. Umat Islam, menuÂrut mereka, jadi egoistis dan lebih mementingkan negaranya sendiri karena paham nasionalÂisme. Ketiga, alasan yang klise, tapi terus diulang-ulang: nasionÂalisme adalah ideologi bikinan dan impor dari Ba rat. Argumen ini kurang lebih serupa dengan mereka yang antinasionalisme serta menolak demokrasi. AlaÂsan penguatnya kemudian adalah ideologi nasionalismedemokrasi impor ini menjadi alat Barat unÂtuk memecah-belah umat Islam.
Argumen Sanggahan
Pertama, dalil yang dipakai untuk menjusti fikasi antinÂasionalisme di atas tidak teÂpat. Ayat `kamu mukminin itu bersaudara’ bersifat deklaratif (khabariyyah) dan sama sekali tidak mengandung larangan, baik eksplisit maupun implisit terhadap nasionalisme. Yang diÂlarang adalah bercerai-berai (la tafarraqu). Namun, justru sebaÂliknya, beberapa ayat sebelum ayat itu, masih dalam surat yang sama, Alquran mengonfirmasi fakta bahwa manusia diciptakan berbangsa bangsa dan bersuku-suku (syu’uban wa qaba’ila). SeÂjauh yang saya tahu, kebanyakan dalil nash yang dipakai untuk membenarkan anti nasionalÂisme ditafsirkan dengan agak memaksakan pendapat. Soalnya, memang tiada larangan eksplisit dan tegas dalam nash. Kalaupun ada, itu adalah larangan fanaÂtisme sempit (`ashabiyyah).
Pun demikian, sesungguh nya nasionalisme sebagai ko munitas terbayang (imagined community) sebagaimana diterapkan di IndoÂnesia sudah melampaui itu kareÂna meleburkan berbagai suku bangsa dalam wadah NKRI. SebaÂliknya, sejarah kekhalifahan dulu banyak yang masih berparadigÂma kesukuan-dinasti (Umayyah, Abbasiyah, Seljuk, Fathimiyah, Buwaih, dst) dan tidak egaliter. Soalnya, masih kental dengan perbedaan strata sosial antaruÂmat Islam dan kafir zimi serta hak orang merdeka dan budak.
Kedua, menjadi nasionalis tidaklah otomatis berarti tidak peduli pada umat Islam di beÂlahan dunia lain. Lagi pula, ide menyatukan seluruh umat Islam yang menyebar di berbagai negaÂra itu susah–untuk tak dikatakan utopis. Lha wong untuk merukuÂnkan Indonesia dengan Malaysia saja susah, seperti merukunkan antara Sunni dan Syiah bukanÂlah perkara mudah, apalagi mau menyatukan umat Islam di belaÂhan dunia yang jauh dengan tanÂtangan yang begitu banyak. JusÂtru, jika kembali melihat sejarah, khalifah Islam masa Abbasiyah dulu sudah terpecah-pecah seÂbelum umat Islam mengenal ide nasionalisme. Abbasiyah terceÂrai-berai menjadi dinasti-dinasti kecil karena fanatisme ke suÂkuan. Sekali lagi, dalam konteks ini In donesia masih lebih baik. Bukankah slogan `Bhinneka Tunggal Ika’ itu adalah upaya me nyatukan berbagai suku bangsa dalam bingkai kesamaan sejarah, ba hasa, dan budaya?
Ketiga, suatu ide tak bisa disÂalahkan hanya karena ide itu beÂrasal dari si ini atau si itu. Yang penting tetaplah substansinya dan dalam tataran ini Islam tidaÂklah bertentangan dengan nasiÂonalisme dan demokrasi. Sejarah kekhalifahan klasik terbukti juga menyerap pola pemerintahan dari sistem peradaban tetangganÂya. Sistem kementerian (wizarah) misalnya, menyerap dari Persia. Sejarah itu berlaku progresif. MisÂalnya, kita tidak bisa mengadopsi kembali konsep budak hanya karena konsep perbudakan itu ada dan diakui Islam baik di masa nabi maupun kekhalifahan. TenÂtunya, kita tidak ingin menolak penghapusan perbudakan hanya karena upaya menghapus perbuÂdakan itu datang dari deklarasi internasional HAM 1948.
Fakta Sejarah
Fakta sejarah perlu menjadi rujukan syariat. Sebab, menolak fakta sejarah, sebagaimana arguÂmen yang kerap dipakai kelomÂpok antinasionalisme, berarti berangkat dari ruang hampa unÂtuk menerapkan bunyi teks kitab suci dalam realitas. Kalaupun kita tak boleh melihat fakta kebobroÂkan yang terjadi dalam sebagian sejarah kekhalifahan klasik, kita masih bisa melihat pengalaman umat Islam di Madinah saat maÂsih dipimpin Nabi Muhammad.
Di Madinah, masyarakat yang dihadapi Nabi sangat plural: musÂlim Muhajirin, muslim Anshar (Aus & Khazraj), 3 suku Yahudi (Nadhir, Quraizhah, & Qainuqa’), dan sebagian kecil Nasrani serta penyembah berhala. Bahkan, di masa awal, umat Islam masih miÂnoritas jika dibandingkan dengan ahli kitab yang mayoritas. PluraliÂtas etnik dan agama disikapi Nabi dengan membuat traktat politik bernama Piagam Madinah (mitÂsaq al-Madinah).
Teks Piagam Madinah bisa kita dapatkan dari kitab sirah Nabi tertua yang pernah ditemuÂkan, yakni as-Sirah an-NabawiÂyyah, karya Ibnu Hisyam, pada Bab ar-Rasul Yuwadi’u al-Yahud (Rasulullah Mengikat Perjanjian dengan Yahudi). Poin pertama piagam itu menyebutkan begini: `Surat perjanjian ini dari MuÂhammad; antara orang beriman dan muslimin dari Quraisy dan Yatsrib, serta yang mengikuti mereka, menyusul mereka, dan berjuang bersama mereka; bahÂwa mereka adalah satu umat’. (*)
Poin yang bisa kita ambil: Nabi Muhammad menyatukan setiap elemen masyarakat dalam ummah yang bahumembahu mempertahankan Madinah bila ada musuh menyerang. Madinah adalah gambaran tentang negara atau lebih tepatnya chiefdom, yang secara substantif sama denÂgan nasionalisme yang dibatasi wilayah geografis.
Pada tatarannya, Piagam MaÂdinah itu adalah kontrak sosial yang kurang lebih sama dengan Pancasila. Dengan demikian, jelas bahwa Islam tidak bertenÂtangan dengan nasionalisme.
Oleh: AZIS ANWAR FACHRUDIN
Koordinator Forum Studi Arab dan Islam (*)