HARGA daging telah mencapai lebih dari Rp 100 ribu per kilogram. Harga setinggi ini ternyata membuat kaget pelanggan steak. Bisa dibayangkan, betapa resahnya keluarga sederhana yang selama ini hanya mampu mengonsumsi daging dalam campuran bakso. Jutaan pedagang bakso sangat khawatir dengan keberlanjutan usahanya yang membutuhkan daging setiap hari.
Oleh: OLEH: HENDRI SAPARINI
Ekonom Econit
Kini, masalah makin pelik karena pedagang daging mulai mogok akibat tingginya harÂÂga. Haruskah demo berulang seperti pedagang tahu dan tempe beberapa waktu lalu? Haruskah kebijakan ad hoc selalu menjadi solusi? Pemerintah sehaÂÂrusnya jangan mudah didikte pasÂÂar. Namun, tentu ada syaratnya.
Harga daging ditentukan oleh jumlah pasokan dan permintaan lewat mekanisme pasar. Oleh karena itu, intervensi pemerintah harus dilakukan lewat keduanya. Saat ini lonjakan harga yang terÂÂjadi bukan akibat permintaan karena tidak ada hal yang mendoÂÂrong naiknya konsumsi masyaraÂÂkat maupun industri signifikan. Penyebab utamanya, lebih pada sisi pasokan yang selama ini cuÂÂkup tinggi dipenuhi dari impor.
Untuk menyelesaikan lonÂÂjakan harga daging dan pangan lainnya, yang utama adalah ketÂÂersediaan data tentang kemamÂÂpuan pasok dalam negeri dan volume konsumsi. Sayangnya, di Indonesia data selalu menjadi kelemahan utama. Untuk data konsumsi, misalnya, terdapat perbedaan sangat mencolok. Data pedagang menunjukkan konÂÂsumsi daging masyarakat sekitar 4,5 kg/kapita/ tahun, sedangkan menurut data dari pemerintah kurang dari 2 kg/kapita/tahun.
Akurasi data itu akan sangat menentukan kualitas kebijakan. Apabila pemerintah menggunakÂÂan data resmi pedagang, terjadi kekurangan pasok dan kenaikan harga. Sebaliknya, apabila diguÂÂnakan data pemerintah, karena dianggap lebih tepat, akan terÂÂjadi banjir impor yang tentu akan sangat menghambat swasembada sapi. Harga daging yang rendah dan pasar makin sempit, akibat gempuran impor, pada akhirnya menjadi disinsentif bagi peternak dalam negeri.
Informasi lain yang sangat diperlukan adalah peta jumlah, wilayah produksi, dan konsumsi sapi untuk seluruh Indonesia. Data ini penting tidak hanya unÂÂtuk merencanakan pemenuhan pasok dan pengendalian harga, tetapi juga sebagai salah satu upaya pencapaian target swaseÂÂmbada. Sayangnya, target swaseÂÂmbada itu terus bergeser dari semula 2010 hingga seterusnya. Bahkan, dikhawatikan mundur lagi karena sangat kuatnya deÂÂsakan para pebisnis lewat organÂÂisasi internasional seperti OECD dan APEC, yang meminta pemerÂÂintah, lewat Wapres Boediono, agar tidak menerapkan swasemÂÂbada pangan.
APEC pernah membuat keÂÂsepakatan di antara para angÂÂgotanya untuk meninggalkan swasembada pangan. Sayangnya, Indonesia selalu mudah menerÂÂima kesepakatan itu. Ini harus diakui tidak terhindarkan karena tidak ada cetak biru yang diduÂÂkung kebijakan komprehensif serta political will untuk mewuÂÂjudkan kedaulatan pangan.
Kebijakan pangan Indonesia dengan 240 juta penduduk tidak boleh berhenti hanya sebatas menjaga pasokan tanpa peduli sumber pangan. Semua negara berpenduduk besar selalu menÂÂdukung kebijakan swasembada pangan nasional. Itu memerluÂÂkan komitmen tinggi dan kebiÂÂjakan yang komprehensif di sisi produksi maupun konsumsi. Menekan biaya produksi dan menciptakan pasar yang pasti akan menekan harga jual. Solusi mengatasi gejolak harga daging, kedelai, minyak tanah maupun bahan pangan lainnya memang tidak bisa hanya dengan kebiÂÂjakan kulit di sisi hilir, tetapi haÂÂrus pada akar masalahnya. (*)