PILKADA serentak Desember 2015 ini sejatinya belum menyentuh seluruh hal-hal yang substansial. Aturan atau Undang-undang Pilkada pun masih terlihat banyak retakan. Ada beberapa catatan yang patut kita pikirkan agar hajat demokrasi daerah itu tak sekadar luapan ekspresi demokrasi.
Oleh: DJASEPUDIN
Koordinator Jaringan Sahabat Publik (JSP) Bogor;
tinggal di Nanggewer, Cibinong.
Peraturan penyelengÂgaran Pilkada yang teranyar termaktub dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015. Kita tahu, undang-undang itu lahir di tenÂgah gejolak kontestasi dan keeÂgoisan KIH dan KMP serta ketiÂdakcekatan pihak Istana dalam menghadapi gerak akrobatik elite Senayan. Maka sempat terjadi unÂdang-undang yang sudah diputusÂkan, hanya dalam tempo 24 jam bisa diganti. Hal ini mengindikaÂsikan kepentingan elite politik “mengkadali†kepentingan rakyat keseluruhan.
Oleh karena itu sungguh tiÂdak aneh UU 8 2015 dan Pilkada serentak ini mengandung banÂyak kelemahan dan retakan di pelbagai sisi. Kelemahan perÂtama yang paling kentara adalah dalam perencanaaan anggaran, program, dan penetapan jadwal Pilkada berjalan napsi-napsi alias sendiri-sendiri. Tegasnya, jadwal dan penetapan Pilkada GuberÂnur-Wagub menjadi kewenanÂgan KPU Propinsi, sedangkan jadwal dan penetapan Bupati/WaÂlikota-Wabup-Wawalkot adalah tugas KPUD Kabupaten/Kota. Di sisi lain, seperti tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) Penyelenggaraan Pemilihan menjadi tanggung jawÂab bersama KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Dengan aturan seperti itu, peraturan pilkada di setiap daerah akan berbeda. Hal ini menyebabÂkan potensi kecurangan semakin besar. Sebab, calon petahana bisa memengaruhi struktural KPUD. Baik penjadwalan, pemasangan iklan, maupun penganggaran. Apalagi anggaran penyelenggaÂraan Pilkada dibebankan kepada daerah. Celakanya, di beberapa daerah komisioner KPUD seperti tunduk pada bupati/walikota/guÂbernur. Sensitivitas Pilkada terÂkait petahana dan calon lain amat rawan. Kita mesti ingat, ihwal maskot Pilkada atau terkait warna kepemiluan pun bisa menjadi potensi kekisruhan dan dibesar-besarkan.
Kedua, kelemahan terletak dalam proses pendaftran calon. Syarat calon dalam politik dinasti atau kekerabatan tidak disebutÂkan dengan jelas. Bahkan, keÂkerabatan “keponakan†pun oleh komisioner KPU RI dibolehkan ikut Pilakda. Seperti ditampilkan di sejumlah media elektrnonik komisioner KPU, Hadar Nafis GuÂmay, berkata, “Mengenai posisi keponakan, itu sudah kami puÂtuskan melalui rapat pleno. Kami mengembalikannya ke Peraturan KPU bahwa keponakan bisa menÂcalonkan diri di Pilkadaâ€.
Lontaran Hadar itu makin sahih setelah Mahkamah KonstiÂtusi memutuskan bahwa, dalam Pilkada saudara dekat atau keraÂbat dari petahana diperbolehÂkan mengikuti Pilkada. Dengan demikian, tak dapat diingkari, politik dinasti akan makin menÂjadi. maka, bukanlah hal yang aneh kekuasaan kelak dinasti di daerah-daerah adalah dominasi dari keluarga tertentu.
Ketiga, dalam Pilkada serenÂtak ini di tingkat PPS tidak ada penghitungan suara. PPS hanya mengumpulkan kotak suara dari TPS lalu dikirim ke PPK. Hal terseÂbut termaktub dalam Pasal 20 ayat (r) “meneruskan kotak suara dari setiap TPS kepada PPK pada hari yang sama setelah terkumÂpulnya kotak suara dari setiap TPS dan tidak memiliki kewenanÂgan membuka kotak suara yang sudah disegel oleh KPPSâ€.
Dengan demikian tugas PPK semakin berat dan menumpuk. Untuk di daerah-daerah yang seÂdikit penduduk, mungkin, tidak menjadi soal. Akan tetapi akan menjadi masalah besar jika itu terjadi di kota-kota besar seperti Depok atau Bogor. Di kedua daeÂrah tersebut ada beberapa desa/ kelurahan yang memilki lebih dari 150 TPS dengan pemilih 400 orang per-TPS. Bisa dibayangkan beban kerja PPK akan menguras fisik dan mental. Hal itu terjadi karena beban yang selama ini dialirkan di PPS sekarang semua menumpuk di PPK.
Dari Pasal 20 ayat (r) ini pula potensi pelanggaran bisa terjadi. Tepatnya pada poin “menerusÂkan kotak suara dari setiap TPS kepada PPK pada hari yang sama setelah terkumpulnya kotak suÂara dari setiap TPSâ€. Untuk di wilayah perkotaan dengan akÂses jalan yang cukup bagus pun sering terjadi keterlambatan. LanÂtas, adakah toleransi dengan TPS-PPS-PPK yang berjauhan jarak seperti di Maluku atau Papua? Di wilayah yang berjauhan dan akses jalan yang rusak mengejar waktu yang pada hari yang sama adalah kemustahilan. Pertanyaannya, adakah undang-undang Pilkada penuh toleransi? Jika toleransi jadi pijakan, alamat Pilkada bisa berantakan.
Keempat, aturan pidan politik uang tidak jelas. Seperti yang disÂampaikan Koordinator Perludem, Titi Anggraini, telah tertulis salah rujuk dalam PAsal 187 ayat 6. Menurut Titi, dalam pasal 187 ayat 6 ada rujukan yang salah tulis, yang mestinya rujukan tentang politik uang adalah ayat 2 tetapi malah tertulis rujukan pidan poliÂtik uang adalah ayat 1. Nah, hal ini pula yang bisa menyebabkan pelaku politik uang bisa bebas dari jeratan pasal pidana politik uang.
Kelima, Pilkada serentak membuat dana makin membengÂkak. Penyelenggaraan Pilkada serentak mesti biaya yang dikeluÂarkan bisa berkurang. Tetapi pada praktik di lapangan malah memÂbengkak. Prakiraan awal dana yang hendak digunakan adalah RP 5 triliun akan tetapi setelah dihitung-hitung bisa lebih dari Rp 7 triliun. Hal ini karena hamÂpir semua hajat pilkada serentak menjadi beban negara. Dari mulai debat publik, kampanye media cetak dan elektronik, pemasanÂgan alat peraga kampanye, dan penyebaran bahan kampanye pada pilkada serentak menjadi tanggung jawab negara.
Keenam, Pilkada serentak masih bersifat parsial. Sebab, di sejumlah daerah pilkada serentak hanya dilakukan beberapa daerah saja. Idealnya Pilkada serentak itu parade memilih bupati-walikota-gubernur secara keseluruhan dan berbarengan dalam hari dan tangÂgal yang sama. Di Jawa Barat saja pada 9 Desember 2015 ini hanya memilih delapan kepala daerah. Dengan begitu pada dasarnya Pilkada serentak kali ini baru meÂmasuki tahap awal guna menuju Pilkada serentak yang sesungguhÂnya.
Ketujuh, mentalitas calon pemimpin dan tim sukses. Saya meyakini, aturan buatan maÂnusia di negara manapun tidak ada yang sempurna. Akan tetaÂpi kelemahan undang-undang tersbut jangan dijadikan alasan pembenar untuk berbuat curang demi memenuhi nafsu kuasa. Sebagai contoh, sudah jelas-jelas alat peraga kampanye itu menjadi tanggung jawab negara, tetapi di berbagai daerah bakal calon pemimpin itu sudah memasang poto diri lengkap dengan barisan janji-janji manis. Tak hanya meÂnyalahi aturan Pilkada, mereka pun denagn sengaja mengotori keindahan kota. Ketika hal itu diÂtanyakan kepada individu terkait lazim terjadi mereka mengelak. Mereka menganggap itu adalah inisiatif simpatisan rakyat yang mencintai bakal calon tersebut. Ah, hari gini adakah rakyat ikhlas mengeluarkan gelontoran dana? Mungkin ada, tetapi, mungkin juga, diembel-embeli dengan balÂas budi di kemudian hari jika sang jagoan menjadi walikota atau buÂpati.
Akhir alinea, undang-undang Pilkada memang penuh retakan, tetapi jika tuan dan puan meÂmang masih mendengar hati nurani dan hendak mengabdi pada negeri ini, tolong, jangan “kadali†undang-undang itu denÂgan aneka pelanggaran yang terÂstruktur, sistematis, dan masif. (*)