Oleh: DONNY GAHRIAL ADIAN
Dosen Filsafat Universitas Indonesia
Saat batas politik negara-bangsa sudah diretas, nasionalisme hanya pengganggu yang meÂnyebalkan. Tidak pentÂing melindungi kekuatan agraris bangsa sendiri. Lebih penting mencukupi kebutuhan pangan domestik melalui impor. PadaÂhal, nasionalisme justru sedang menyala-nyala di seantero planet ini. Batas memang retas. Namun, kepentingan nasional sebuah negara-bangsa tetap menjadi pertaruhan utama dalam setiap relasi diplomatik. Setiap perteÂmuan global atau regional sejatinÂya adalah promosi kepentingan nasional tiap-tiap negara-bangsa yang berbalut jargon-jargon kosÂmopolitanisme.
Substansi
Kita tidak bisa menghindar dari nasionalisme. Sejak gagasan itu lahir dan mengerucut di abad ke-18, semua entitas kultural berÂtransformasi secara politik menÂjadi sebuah nasion. Batas pemisah antarnasion sekarang didefinisiÂkan secara politik. Karena politik, batas menjadi sangat penting. Kedaulatan tak dapat dinegosiaÂsikan. Persoalannya, kedaulatan sebagai kepanjangan tangan naÂsionalisme sering didefinisikan secara ragawi-teritorial. Seolah kedaulatan hanyalah patok perÂbatasan yang dijaga tentara. PaÂdahal, sering kali kedaulatan diÂgerus tanpa satu pun kapal ikan asing masuk ke perairan suatu negara. Kedaulatan sebuah nasiÂon harus dimengerti secara lebih substansial. Kedaulatan sejatinya adalah daya tawar negara-bangsa dalam percaturan global.
Kita berdaulat jika seluruh kontrak karya dengan perusaÂhaan tambang asing dibuat berimÂbang dan saling menguntungkan. Kita berdaulat jika memproduksi obat penyakit tropis dari keanekÂaragaman hayati pertiwi sendiri. Sebaliknya, kita tak berdaulat jika kontrak karya menuntut inÂterest return rate dipatok pada persentase tertentu dan jika tak tercapai negara berutang. Kita tak berdaulat jika kekayaan hayaÂti kita dilarikan ke laboratorium negara lain dan kita dipaksa beli obat dengan harga mahal.
Sebagian kosmopolitanis mencemooh nasionalisme seÂbagai bentuk kekeraskepalaan. Mereka berpendapat, tidak ada satu pun negara-bangsa yang bisa berdiri sendiri di era globalisme dan regionalisme dewasa ini. NaÂsionalisme, bagi mereka, adalah rumah yang pagarnya selalu terÂkunci. Padahal, nasionalisme tidak sepicik itu. Semua negara-bangsa perlu satu sama lain. Namun, pergaulan antarnegara-bangsa selalu disandarkan pada prinsip saling menghormati dan menguntungkan. Tidak ada negaÂra-bangsa yang ingin kedaulatanÂnya diinjak-injak negara lain. Pintu rumah memang terbuka, tetapi kamar utama tetap tak bisa dimasuki.
Nasionalisme yang tidak picik dan substansial adalah sebuah pilihan politik yang tak dapat ditaÂwar lagi. Kita tidak ingin menyanÂdarkan nasionalisme kita pada ras atau etnis tertentu. PengalaÂman hitam nasionalisme Jerman pada awal abad ke-0 merupakan pelajaran yang cukup berharga. Nasionalisme mesti bersandar pada kultur kewarganegaraan yang rasional dan wajar. Kultur kewarganegaraan menuntut negÂara melindungi segenap wargÂanya tanpa kecuali. Tak peduli ras, etnis, atau bahasa, semua haÂrus terlindungi. Ketika sebagian saudara kita di Papua masih tak sanggup menikmati pendidikan layak, nasionalisme kita masih jaÂlan di tempat.
Konstruksi
Sebagai sebuah nasion, kita memang sedang dalam proses menjadi. Namun, kita sering khawatir jika nasionalisme yang terbentuk lantas menggilas keÂbebasan individu. Kita selalu mempertentangkan kepentingan individu dan kepentingan nasiÂonal. Kita sudah terbiasa dengan jargon â€menempatkan kepentÂingan bangsa di atas kepentinÂgan pribadiâ€. Lantas, kita pun segera waswas dengan kebijakan komponen cadangan yang diiniÂsiasi militer. Seolah semua warga negara yang memenuhi syarat haÂrus meletakan kepentingan pribÂadinya demi kepentingan bangsa dan negaranya. Tidak ada ruang negosiasi sama sekali.
Kekhawatiran ini bukan baÂrang baru. Filsuf John Stuart Mill mengkhawatirkan sejenis nasionÂalisme yang menuntut individu mengorbankan kepentingannya demi bangsa dan negara. Dia khawatir jika nasionalisme menÂjadi kedok bagi otoritarianisme. Kepentingan nasional sering diÂjadikan alasan untuk memasung kebebasan warga negara. PadaÂhal, kepentingan nasional berÂbeda dengan kepentingan rezim. Sebuah rezim bisa saja bertindak mengatasnamakan nasionalisme tetapi sesungguhnya sedang mengangkangi nasionalisme itu sendiri. Rezim yang menculik warganya atas nama kepentingan nasional, misalnya, jelas meruÂpakan pengkhianat nasionalisme nomor satu. Kepentingan nasionÂal yang terutama adalah hak asasi warga. Apabila masih ada warga yang terampas haknya, pemerinÂtahannya bisa dipastikan â€tunaÂnasionalismeâ€.
Mengikuti jalan pikiran Mill, nasionalisme adalah sesuatu yang konstruktif tidak destruktif. Hakikat nasionalisme adalah perÂlindungan bukan pemasungan. Lebih dari itu, bagi saya, proses menjadi nasion sejatinya sama dengan proses kreatif yang menÂdahului puisi. Dalam menyusun puisi, kita tidak bisa menghanÂcurkan kata melainkan membiÂarkan setiap potensi semantik sebuah kata menyeruak keluar. Membangun nasionalisme pun tidak bisa dengan cara-cara dokÂtriner yang memasung. Setiap potensi kultural sebuah nasion harus dibiarkan menjelma dan menciptakan mozaiknya sendiri. Namun, aksentuasi setiap potensi kultural tetap membutuhkan perÂlindungan politik. Dengan kata lain, proses menjadi nasion tidak lepas dari campur tangan politik.
Politik dan nasionalisme sungguh tidak dapat dipisahkan. Buktinya, dalam filsafat Mill, deÂmokrasi dengan nasionalisme tiÂdak selalu bersimpang jalan. Mill berargumen bahwa warga negara yang berbagi budaya nasional yang sama adalah syarat mungÂkin demokrasi. Baginya, instituÂsi-institusi yang bebas tidaklah dimungkinkan dalam sebuah negÂara tanpa budaya nasional. Tanpa bahasa yang sama, misalnya, opiÂni publik yang terintegrasi adalah kemustahilan. Budaya nasional, tambah Mill, juga berkontribusi pada nilai- nilai politik, seperti keadilan dan kesejahteraan. BuÂdaya nasional berkontribusi pada rasa persaudaraan yang memÂbuat keadilan bisa bergulir denÂgan mulusnya.
Tak Berseberangan
Sekali lagi, kepentingan nasiÂonal tidak mesti berseberangan dengan kebebasan. Salah satu kepentingan nasional kita adalah kebebasan warga. Tak heran, negara sebesar Amerika dapat saja melancarkan operasi miliÂter berbiaya tinggi hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang warga negara. Sebaliknya, nyawa seorang TKI di Malaysia, sepÂerti Wilfrida, tidak dianggap seÂbagai kepentingan nasional yang mendesak. Alhasil, nasib Wilfrida pun digantung pada kepentingan politik jangka pendek belaka, buÂkan nasional.
Apa pun, saat ini kita tengah menunggu pergantian rezim. BeÂsar harapan jika rezim berikut nanti benar-benar mengantongi nasionalisme dalam setiap keÂbijakan politiknya. Rezim yang membuka pintu rumah tetapi tetap melindungi kamar utama. Sebuah rezim baru yang â€melek nasionalismeâ€.