ADA SEBUAH kisah ketika kaum Muslimin hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka dihaÂdapkan pada masalah kesulitan air. Di MadiÂnah itu hanya ada sebuah sumur, tapi sumur itu milik seorang Yahudi dan sengaja airnya diperdagangkan. Hijrahnya kaun Muslimin ke Madinah amat menggembirakan bagi orang Yahudi tersebut karena memberinya kesempatan untuk memperoleh uang yang banyak dari hasil penjualan airnya.
Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat mengharapkan ada salah seorang sahabat yang mampu membeli sumur itu untuk meringankan beban kaum Muhajirin yang telah menderita karena harta benda mereka ditinggalkan di kota Mekah. MengetaÂhui kejadian seperti itu, Usman bin Affan bergegas pergi ke rumah orang Yahudi tersebut untuk membeli separuh sumur tersebut. Setelah terjadi tawar menawar maka disepakatilah harga separuh sumur itu 12.000 Dirham dan dengan perjanjian satu hari menjadi hak orang Yahudi itu, dan keesokan harinya adalah hak Usman bin Affan atas sumur tersebut.
Pada giliran hak pakai Usman bin AfÂfan, kaum Muslimin bergegas mengambil air yang cukup untuk kebutuhan dua hari. Dengan demikian si Yahudi merasa rugi, karena pada giliran hak pakai dirinya terÂhadap sumur itu tidak ada lagi kaum MusÂlimin yang membeli air padanya. Orang Yahudi tersebut mengeluh kepada UsÂman, dan akhirnya menjual separuhnya kepada Usman dengan harga 8.000,- DirÂham. Sehingga kemudian sumur itu dapat menyuplai air berlimpah untuk kaum MusÂlimin dengan gratis.
Bentuk kedermawanan lain Usman bin Affan, pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., kaum Muslimin dilanda paceklik yang dahsyat. Masyarakat menÂdatangi khalifah Abu Bakar seraya berkata, “Wahai.. khalifah Abu Bakar..! Langit tidak menurunkan hujan dan bumi kering tidak menumbuhkan tanaman, dan orang-orang meramalkan bakal terjadi bencana besar, maka apa yang harus kita lakukan..?“ Abu Bakar menjawab, “Pergilah dan bersabarÂlah… Aku berharap sebelum tiba malam hari Allah akan meringankan kesulitan kalian.“
Pada sore harinya ada serombongan kafilah dari Syam yang terdiri dari seribu unta yang mengangkat gandum, minyak dan kismis. Unta-unta itu kemudian berÂhenti di depan rumah Usman bin Affan, lalu kafilah-kafilah itu menurunkan muaÂtannya. Tak lama kemudian para pedagang (tengkulak) datang menemui Usman denÂgan maksud ingin membeli barang-barang tersebut. Lalu Usman bin Affan berkata keÂpada mereka, “Dengan senang hati, beraÂpa banyak keuntungan yang akan kalian berikan kepadaku..?†Mereka menjawab, “Dengan dua kali lipat.†Usman menjawab, “Waduh sayang..! Sudah ada penawaran yang lebih tinggi dari kalian.“
Para pedagang itu kemudian menaikÂkan tawarannya empat sampai lima kali lipat, tetapi Usman bin Affan tetap meÂnolak dengan alasan sudah ada penawar yang akan menawar lebih tinggi lagi dari penawaran para pedagang tersebut. Akhirnya para pedagang (tengkulak) semuanya menjadi penasaran, lalu berkata lagi kepaÂda Usman, “Hai Usman, di Madinah ini tidak ada pedagang selain kami, dan tidak ada yang mendahului kami dalam penawaran, siapa orang yang berani menawar lebih tinggi dari kami..?†Akhirnya Usman menÂjawab, “Allah SWT memberikan kepadaku sepuluh kali lipat“. Karena sudah jelas dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 160, Allah berfirman: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnyaâ€.
Bahkan dalam surat lain, yaitu surat Al-Baqarah ayat 261, dikatakan bahwa AlÂlah melipatgandakan 700 kali lipat ganjaÂran dari harta yang diinfakkan. Kemudian Utsman bin Affan berkata pada para tengÂkulak, “apakah kalian mau memberi lebih dari itu..?“ Mereka serempak mejawab, “Tidak..!†Usman berkata lagi, “Aku menÂjadikan Allah sebagai saksi bahwa seluruh yang dibawa kafilah itu adalah menjadi seÂdekah untuk para fakir miskin dari kaum Muslimin, aku ikhlas karena Allah, karena aku mencari ridha-Nya.“
Maka pada sore hari itu juga Usman bin Affan r.a. membagi-bagikan seluruh makanan yang dibawa oleh kafilah tadi kepada fakir miskin. Mereka semuanya mendapat bagian yang cukup untuk kebuÂtuhan keluarganya masing-masing dalam jangka waktu yang lama. (*)