Oleh: ASEP SALAHUDIN
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya;
Dosen di FISS Unpas Bandung
Kalau ada sebuah negara yang wujudnya masih tegak padahal “hanya†ditenun semboyan silam Bhinneka Tunggal Ika yang dianggit dari kitab Sutasoma Empu Tantular abad ke-14, maka ia NKRI. Kalau ada sebuah naÂtion yang seluruh warganya bisa dipersatukan falsafah Pancasila, maka ia negara Indonesia.
Namun, juga harus dikatakan bahwa kalau ada sebuah negÂeri dengan kekayaan sumber daya alam melimpah tapi rakyÂatnya berada dalam indeks garis kemiskinan yang parah, maka lagi-lagi ia Indonesia. Bangsa dengan kesuburan tanah yang bisa menanam apa pun jenis tumbuh-tumbuhan, tapi beras, kedelai, dan aneka buah ternyaÂta harus impor dari negara lain. Kalau ada sebuah negara denÂgan Ketuhanan Yang Maha Esa bertengger sebagai sila pertama dasar negaranya, tapi setiap hari berita yang menerpa adalah ihÂwal korupsi yang tidak pernah berhenti, anggaran negara yang selalu dikemplang, dan tingkah kerumunan politikus yang lebih mengerikan dari monster sekaliÂpun, maka harus dengan jujur diÂtulis bahwa kawasan itu adalah negeri kepulauan yang saat ini merayakan ulang tahun ke-70 keÂmerdekaannya.
Gambaran Paradoks
Sungguh Indonesia mengÂgambarkan tentang situasi yang serba ambigu dan nyaris kita seÂlalu kesulitan dari mana sesungÂguhnya benang kusut itu harus diurai. Kita senantiasa tersekap dalam kegamangan yang tak berÂkesudahan, dalam sikap diri yang seolah-olah tak punya kemamÂpuan menurunkan norma-norma yang baik menjadi bagian akhlak keseharian.
Sekian undang-undang dan aturan yang kita bikin sekaligus agama yang menjadi pegangan seperti menguap tanpa bekas. Berhenti sebatas penataran dan khotbah. Pancasila pun alih-alih menjadi jalan kebudayaan, malah hanya menyisakan sekadar monÂumen yang dikunjungi setiap 1 Juni lengkap dengan gemuruh upacara, retorika murahan, dan pekik pidato yang diulang-ulang.
Ketika manusia pergerakan mencanangkan “Indonesia merdekaâ€, maka sesungguhnya lengÂkap di dalamnya upaya mewuÂjudkan cita-cita luhur tergelarnya kemanusiaan yang adil dan beÂradab, persatuan, musyawarah mufakat, hikmah kebijaksanaan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia yang seharusnya dibentangkan denÂgan rute yang jelas, tegas, dan terukur. Kita sangat tak habis pikir membaca artikulasi poliÂtik kaum pejuang ketika meruÂmuskan keindonesiaan. Dengan fasilitas ala kadarnya tapi mampu bikin trayektori politik imajinatif, bisa meretas jalan keindonesiaan yang bukan saja tepat, melainkan sangat kontekstual, revolusioner, dan visioner.
Di bawah ancaman Hindia Belanda dengan kekuatan senÂjata yang masih kukuh tidak kemudian membuat nyali merÂeka ciut, tapi kian menyala-nyala. Bagaimana Bung Karno lewat Klub Studi Bandung dan pamÂflet yang terus dibikin dengan bahasa radikal untuk menyulut kesadaran massa pada akhirnya harus dihadapkan ke pengadilan pada Agustus 1930.
Dengan lantang diungkapÂkannya, “…Kami punya pidato-pidato bukanlah pidato paderi di dalam gereja atau pidato juru khotbah di dalam masjid. Kami adalah nasionalis revolusioner, nasionalis yang radikal, nasionaÂlis kepala banteng! Kami punya bahasa adalah bahasa yang keÂluar dari kalbu yang berkobar-kobar dengan semangat nasional, berkobar-kobar dengan rasa keÂcewa atas celaka dan sengsara rakyat.â€
Tak kalah garang Bung Hatta pada 9 Maret 1928 melalui pemÂbelaannya di Mahkamah Den Haag bukan saja jiwanya disulut keberaniannya yang tanpa batas, tapi juga iman kebangsaannya yang tak pernah lekang, “Bahwa kekuasaan Belanda akan beraÂkhir, bagi saya hal itu sudah pasti. Soalnya bukan iya atau tidak, tapi cepat atau lambat. Janganlah Nederland memukau diri bahwa kekuasaan kolonialnya akan kuÂkuh kuat sampai akhir zaman.â€
Demikian juga Sutan SjahÂrir, Tan Malaka, Amir SjarifudÂdin, Natsir, Muhammad Yamin, Wahid Hasyim, Soedriman, Otto Iskandar Dinata dengan cara masing-masing memburu mimpi keindonesiaan dalam tenun keÂbersamaan. Bahkan, dalam kasus Tan Malaka, sosok yang pertama kali menulis “Indonesia Merdeka†dalam Naar de Republiek IndoneÂsia (1924) dan disebut-sebut Bung Karno sebagai “seorang yang maÂhir dalam revolusi†bukan saja tak mencicipi masa kemerdekaan yang diperjuangkannya selama 30 tahun tanpa lelah untuk bangÂsanya, tetapi juga dengan sangat tragis harus mati di tangan bangÂsanya sendiri dalam sebuah keÂmelut yang gelap.
“Kemerdekaan†bukan seÂbagai hadiah dari kolonial, tapi diperjuangkan dengan raga dan roh. Chairil Anwar dengan baÂgus memotret pergulatan kaum pejuang itu dalam “Akuâ€: …biar peluru menembus kulitku/aku tetap meradang menerjang/luka dan bisa kubawa berlari/berlari/ hingga hilang pedih peri/dan aku akan lebih tidak peduli/aku mau hidup seribu tahun lagi. KeÂmerdekaan dan proklamasi yang digelorakan dari Gang PegangÂsaan oleh Soekarno dan Hatta atas nama seluruh rakyat IndoÂnesia bukan kata tanpa rajah, meÂlainkan di belakangnya terhamÂpar keniscayaan para pewarisnya mengelola keindonesiaan dengan politik lurus.
Politik tentu tidak harus seÂlalu diidentikkan dengan perebÂutan kekuasaan lewat sirkulasi kekuasaan demokrasi pemilu lima tahunan atau melalui pilkaÂda, tapi tak kalah pentingnya bagaimana menjadikan politik itu sebagai tindakan (dan kebijakan) harian untuk mempercepat massa menemukan peluang ekoÂnomi, budaya, dan harkat sosial. Politik adalah siasat etik, bukan konspirasi licik. Cara menggapai keutamaan.
Termasuk politik adalah sikap bagaimana kita sebagai warga memperlakukan “liyan†secara lapang dan penuh tanggung jawÂab. Bahwa liyan secara ontologis bukanlah orang lain (mereka) yang diperlakukan secara berÂbeda apalagi diskriminatif, tapi liÂyan sejatinya adalah bagian eksisÂtensial dari tubuh kita, dari cara kita “mengadaâ€. Lewat tubuh liyan, kita satu sama lain saling menemukan keunikan diri, saling belajar dan berempati, menuju sukma keindonesiaan yang majeÂmuk. Liyan menjadi ruang keberÂsamaan melakukan transendensi.
Sebuah Pertanyaan
Tujuh puluh tahun usia yang tidak lagi bisa dianggap muda. Usia yang telah menghabiskan enam presiden dan Joko Widodo yang ketujuh. Tidaklah keliru kaÂlau rezim sekarang mengenang masa depan dengan cara menatÂing ingatan silam generasi perÂtama dalam mengusung pemerÂintahannya, revolusi mental dan Nawacita, sekaligus mengingatÂkan pentingnya kembali ke laut selaras dengan karakter negeri bahari, memastikan kehadiran negara dalam penegakan hukum, tidak ada lagi politik diskriminasi. Sejauh mana program ini berhasil diimplementasikan? Jawabannya harus didiskusikan dengan keÂpala jernih agar setiap kekuasaan tak terkena kutukan: mendaur ulang kesalahan yang sama. SuÂpaya kemerdekaan terhindar dari utopia. (*)