BOGOR, TODAY — Menguatnya nilai tukar dollar Amerika Serikat (USD) mulai memukul pedagang dan penÂgusaha kecil di wilayah Jabodetabek. Salah saÂtunya produksi tempe dan aktivitas pedagang makanan. Sarmini (38), pedagang tempe di Pasar Anyar Kota Bogor, menÂgakui, harga kedelai impor sebagai bahan baku tempe naik dari Rp 7.500 menjadi Rp 8.000 per kiloÂgram dalam dua pekan terakhir akibat USD perkasa.
Untuk menyiasati kenaikan harga kedelai, Sarmini mengecilÂkan ukuran tempe sehingga dia tak perlu menaikkan harga. Tempe seharga Rp 5.000 yang semula beÂratnya 5 ons dikurangi jadi 4,5 ons. “Kalau harga dinaikkan nanti daÂgangan makin sepi. Sekarang saja omzet sudah turun dari biasanya Rp 500.000 jadi Rp 400.000 per hari,†kata dia.
Hal serupa dilakukan kalangan pembuat tempe dan tahu di kaÂwasan Bogor Raya (Kota Bogor, KaÂbupaten Bogor, dan Kota Depok).
Ketua Primkopti Kabupaten Bogor Sukhaeri mengungkapkan, di wilayahnya ada hampir 1.000 pembuat tempe-tahu. Kebutuhan kedelai untuk produsen tempe-tahu di Bogor lebih dari 1.000 ton per bulan yang sebagian besar diÂimpor dari AS.
Kekhawatiran harga kedelai mulai naik membuat produsen tempe-tahu di Bogor membuat produk lebih kecil 5 persen. Ada juga yang menurunkan produkÂsinya.
Rubini (40), perajin tempe di Citeurep, Kabupaten Bogor, mengakui harga kedelai mulai naik. “Ada kenaikan harga dari Rp 6.800 menjadi Rp 7.400 per kg kedelai kualitas sedang dan dari Rp 7.400 menjadi Rp 8.200 per kg untuk kualitas bagus,†ucapnya, kemarin.
Meski harga kedelai naik, ia tetap mempertahankan harga jual tempe dengan konsekuensi pengÂhasilannya turun. Menaikkan harÂga tempe, kata dia, tak bisa serta-merta dilakukan karena daya beli masyarakat loyo.
Ketua Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta Suyanto, menyamÂpaikan, gejolak harga kedelai saat ini memang belum parah karena belum mencapai harga kritis Rp 8.000 per kg. Namun, para proÂdusen menginginkan agar harga kedelai stabil sehingga produksi tempe dan tahu tetap berjalan.
Apalagi, menurut Suyanto, keÂbutuhan kedelai di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, unÂtuk produksi tempe dan tahu menÂcapai 12.000 ton per bulan atau 400 ton per hari. Di tingkat nasiÂonal, kebutuhan kedelai mencapai 132.000 ton per bulan.
Ketua Umum Gabungan KopÂerasi Tempe Tahu Indonesia Aip Syaifudin mengatakan, saat ini harga kedelai tak melonjak tinggi karena harga kedelai di bursa keÂdelai AS sedang turun.
Namun, penurunan harga di AS itu hanya akan berlangsung hingga masa panen kedelai di negÂara itu berakhir pada Desember. Memasuki Januari, harga kedelai di AS akan mulai naik. “Untuk menstabilkan harga, pemerintah perlu menyerap kedelai lokal seÂhingga ketika harga kedelai impor naik pada Januari nanti sudah ada cadangan kedelai lokal dengan harga terjangkau,†ucapnya.
Selain pengusaha tempe dan tahu, merosotnya nilai tukar rupiah juga berdampak pada berbagai sekÂtor lain. Ketua Umum Dewan PimpÂinan Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) Sarman Simanjorang menjelaskan, kenaiÂkan nilai dollar AS juga memengaÂruhi industri yang memanfaatkan bahan baku impor, seperti otomoÂtif, logam, farmasi, dan elektronik.
(Yuska Apitya Aji)