Oleh: MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara FH Universitas Khairun, Ternate
Disebut penegasan disebabkan, tampakÂnya, pemerintah meÂnyadari keberadaan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi PemerÂintahan. Terdapat sepuluh pasal dalam UU ini yang mengatur hal-ihwal keputusan atau tindaÂkan, yang dalam konteks rapat di Istana Bogor itu “kebijakan.†SeÂcara garis besar, kesepuluh pasal itu mengatur tujuan, jangkauan atau ruang lingkup, syarat, proseÂdur, dan akibat hukum dari pemÂbuatan keputusan atau tindakan yang bersifat diskresioner, kebiÂjakan dalam konteks Istana BoÂgor. Sepintas terlihat pengaturan inihebat, dan andal untuk diguÂnakan oleh aparatur pemerinÂtah membentengi dirinya dari pidana. Tetapi bila dianalisis seÂcara mendalam, UU inimemiliki, apa yang diistilahkan oleh Roman Tomasic, ahli sosiologi hukum dari Australia, sebagai unintendÂed expected dan unintended conÂsequences.
Rimba Ketidakpastian
Melancarkan penyelenggaraÂan pemerintahan, mengisi kekoÂsongan hukum, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan meruÂpakan tujuan dari keputusan atau tindakan kebijakan dalam konÂteks rapat di Istana Bogor. Tetapi aparatur pemerintah tidak bisa hanya menunjuk keempat hal itu ketika hendak mengambil kepuÂtusan atau tindakan, kebijakan dalam konteks rapat di Istana BoÂgor. Mengapa?
Kerangka hukum kebijakan yang tersedia dalam UU ini, diÂgantungkan pada serangkaian keadaan hukum. Selain harus sesÂuai dengan tujuannya, kebijakan harus pula sesuai dengan perÂaturan perundangan, asas umum pemerintahan yang baik, adanya alasan yang objektif dan tidak ada konflik kepentingan. Tidak berhenti di situ, kebijakan hanya bisa dilakukan oleh pejabat yang berwenang, dan pada saat diguÂnakan, tidak boleh melampaui kewenangan itu, dan tidak boleh pula mencampuradukkannya.
Keadaan hukum yang bagaimanakah yang dapat diÂkualifikasikan sebagai telah terÂjadi ketidak lancaran dan atau stagnasi pemerintahan? Keadaan hukum yang bagaimanakah yang dapat di kualifikasikan telah terjadi kevakuman hukum atau ketidakpastian hukum? Siapa yang berwenang menetapkan telah terjadi kevakuman hukum atau ketidakpastian hukum itu? Menterikah, dirjenkah, guberÂnurkah, bupatikah atau wali kota, termasuk kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk persoalan-persoalan di daerah? UU Nomor 30 Tahun 2014 tidak mendefinisikannya.
Cukup krusial manakala keÂbijakan itu menimbulkan keruÂgian keuangan negara. Apakah kerugian keuangan negara itu serta-merta berkualifikasi tindak pidana korupsi? Soal ini pun tidak terdefinisikan secara rigid dalam tata hukum saat ini. Temuan BPK misalnya, harus diserahkan Ke DPR dan DPRD, termasuk guberÂnur, bupati dan walikota. Dalam audit general, biasa disebut auÂdit keuangan, subjek yang menÂgakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara tidak disebut secara spesifik dalam laporan haÂsil pemeriksaan BPK itu.
Bagaimana menentukan subÂjek yang bertanggung jawab? Penentunya adalah aparatur penÂgawas internal. Masalahnya kaÂpan penentuan itu? Setelah hasil audit BPK atau sebelum? Bila penÂgawas internal telah menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara itu, maka pejabat yang bersangÂkutan, menurut hukum diharusÂkan mengembalikannya. Untuk mengembalikannya, gubernur atau bupati dan wali kota harus menuntut yang bersangkutan.
Bagaimana bila yang bersangÂkutan tidak mengembalikannya? Jalan Lain Apa hukumnya bila aparatur hukum berdalih bahwa pengembalian kerugian keuanÂgan negara dan perkara atas penetapan ganti rugi ke pengaÂdilan, tidak menghilangkan sifat pidana dari perbuatan tersebut? Kerangka hukum yang tersedia tiÂdak menyediakan solusi spesifik. Surat edaran tak bisa jadi alasan pembenar. Satusatunya cara huÂkum yang dapat digunakan oleh pejabat yang disidik itu adalah melakukan praperadilan. NasibÂnya tergantung pada hakim prapÂeradilan. Surat edaran, bukan tak perlu, tetapi secara hukum tidak memiliki kecukupan kapasitas sebagai hukum yang valid. MenÂgubah, tidak usah seluruh UU NoÂmor 30 Tahun 2014 itu, melainÂkan beberapa pasal saja, terasa masuk akal.
Mengatur bahwa hasil pemerÂiksaan aparatur pengawas inÂternal, dan tuntutan ganti rugi oleh gubernur, bupati dan wali kota atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari implementasi kebijakan menÂjadi dasar hilangnya sifat pidana dalam kerugian keuangan negÂara itu, mungkin andal mengÂhalau ketakutan kepala daerah. Pemeriksaan internal dan tunÂtutan ganti rugi, jelas meneguhÂkan kualifikasi kesalahan pejabat itu semata-mata sebagai kesalaÂhan administratif, dan sanksinya juga sematamata atau hanya itu, sanksi administratif. Bagaimana bila kebijakan yang menimbulkan kerugian negara itu dibuat oleh gubernur? Dalam kasus ini dapat dibuat skema pengaturan berupa menteri sebagai otoritas penunÂtut ganti rugi itu. Bila kebijakan bupati dan atau wali kota yang menimbulkan kerugian keuangan negara, gubernurlah yang menÂjadi otoritas penuntut ganti rugi.
Gairah memperlancar penyÂelenggaraan urusan pemerintahÂan, sehingga kepala daerah diberi keleluasaan menilai keadaan, dan memilih tindakan membuat keputusan atau mengambil keÂbijakan diberi proteksi hukum minimum, harus diakui, beralaÂsan. Agar tak berbuah menjadi malapetaka, maka cara dan alat hukum yang dipilih harus pula beralasan. Membebaskan pejabat dari tanggung jawab dipidana, yang kebijakannya menimbulkan kerugian keuangan negara, dan dirinya memperoleh keuntungan langsung atau tidak langsung, terÂus terang terlalu konyol. (*)