Akibat aktivitas penambang liar, Kabupaten Bogor merugi hingga Rp 100 miliar per tahunnya akibat kehilangan potensi pemasukan ke kas daerah dari berbagai jenis pertambangan mulai dari logam, pasir hingga air tanah.
Oleh : RISHAD NOVIANSYAH
[email protected]
Terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah cukup membawa perubahan besar terutama kewenangan daerah di bidang pengelolaan energi dan sumber daya mineral atau pertamÂbangan.
“Jadi sejak keluarnya UU itu, perizinan tambang mulai dari izin wilayah usaha izin tambang, izin eksplorasi dan eksploitasi sudah beralih ke provinsi. Demikian juga dengan izin pengambilan air bawah tanah (ABT),” jelas Kepala Dinas ESDM Kabupaten Bogor, Ridwan SyÂamsudin, Selasa (1/9/2015).
Ridwan melanjutkan, akibat hal itu, pertumbuhan galian-galian liar terutama tambang batuan gunung, pasir dan sebagainya atau dengan kata lain Galian C. “Ya karena pengaÂwasannya menjadi lemah. Kan merÂeka ada di Bandung sementara, yang mengetahui di lapangan seperti apa itu ya pemda,†lanjutnya.
Kerugian Rp 100 miliar yang dialaÂmi Pemkab Bogor, lanjut Ridwan, itu terjadi setidaknya dalam tiga tahun kebelakang. Dan besar kemungkinan kerugian akan melejit pada tahun-tahun mendatang. Karena jika tidak segera ada solusi, kata Ridwan, sumÂber daya yang ada bisa keburu habis.
“Makanya saya berharap, unÂtuk sumber daya mineral yang vital seperti batu bara dan uranium itu kewenangannya dimiliki pemerinÂtah pusat. Untuk batuan logam itu provinsi, nah kalau pemda kabupatÂen/kota, cukup batuan gunung terÂmasuk air tanah,†sambungnya.
Menurutnya, dengan batuan guÂnung, kapur dan atau pasir itu tidak membutuhkan teknologi yang tinggi. SeÂlain itu, pengawasannya pun akan lebih mudah jika segala urusannya adalah miÂlik pemerintah kabupaten/kota.
Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat sendiri memiliki UPT di Cianjur yang membawahi Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, Cianjur dan Sukabumi. Namun hanya ada satu insinyur perÂtambangan disana. “Datang kesini untuk turun kelapangan langsung saja tidak pernah kok. Seharusnya kan mereka kepanjangan tangan dari ESDM provinsi,†tegas Ridwan.
Ia pun meyakini jika pemerintah provinsi tidak akan sanggup untuk melakukan pengawasan di kawasan pertambangan yang berada di daeÂrah. “Sekarang begini, di Kabupaten Bogor ini wilayahnya luas dan banÂyak kawasan tambang. Apa mereka bisa untuk rutin turun kelapangan mengawasi. Ujung-ujungya, pemda yang kena getahnya kalau ada lapoÂran macam-macam. Karena masyaraÂkat tidak mungkin juga ke provinsi,†keluhnya.
Potensi PAD Pertambangan TerÂancam Hilang
Dikesempatan yang sama, Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas ESDM Kabupaten Bogor, Asep Sulaeman mengungkapkan, meski kewenangan diambil oleh provinsi, pajak pertambangan masih diteriÂma oleh Pemkab Bogor. “Tapi kalau kewenangannya ada di kita, ESDM sendiri bisa menggiring PendapaÂtan Asli Daerah (PAD) dengan lebih maksimal untuk pemda,†jelas Asep.
Pada tahun 2015 ini, Dinas ESDM Kabupaten Bogor menargetkan pendapatan pajak dari pertambanÂgan sebesar Rp 108 miliar. Sedangkan pajak ABT yang masuk mencapai Rp 40 miliar. Dua perusahaan semen, Indocement dan Holcim menjadi penyumbang terbesar, mencapai 70 persen dari wilayah timur semenÂtara 30 persen lainnya berasal dari wilayah barat.
“Penambang aktif yang terdaftar di kami sendiri mencapai 50. Mereka ini yang secara terus menerus melakuÂkan eksplorasi. Sedangkan yang tidak aktif itu, kadang berhenti melakukan aktivitas tambang,†jelasnya.
Memegang kontribusi pajak menÂcapai 70 persen, Asep menjelaskan jika cadangan untuk industri semen masih mencukupi hingga 100 tahun kedepan. Sementara di wilayah barat seperti Gunung Sudamanik dan GuÂnung Maloko masih sanggup mengÂhasilkan sumber daya mineral hingÂga 30 tahun kedepan.
“Kalau cadangan logam Antam, tinggal sebentar lagi, paling juga sampai 2019. Karena mereka sudah mengesplorasi sejak tahun 1992. Tapi saya masih yakin jika masih banyak wilayah di Kabupaten Bogor ini yang memiliki potensi sumber daya minÂeral,†lanjutnya.
Ia pun mengakui jika telah ada draft Perjanjian Kerja Sama (PKS) anÂtara Dinas ESDM daerah dan Dinas ESDM provinsi. “Tapi dalam draftÂnya mereka yang membuat dan kami menerimanya harus mengkaji dulu nantinya seperti apa kerjasamanya,†sambung Asep.
Ia menjelaskan, banyak penamÂbang liar mengambil tanah merah seperti di Parungpanjang, Jonggol dan Cariu. “Untuk melakukan pengaÂwasan, kami membutuhkan bantuan kecamatan setempat. Karena mereka lah yang mengetahui kenyataan di laÂpangan kan. Kami juga memerlukan bantuan dari penegak hukum sepÂerti kepolisian untuk menertibkan penambang liar ini,†ungkap Asep.
Berdasarkan lampiran UU 23 Tahun 2014 tentang pembagian urusan pemerintahan konkuren anÂtara pemerintah pusat, dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, bahwa urusan pemerintahan bidang energi dan sumberdaya mineral yang sebelumnya menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dikelola oleh daerah KabuÂpaten/kota berdasarkan UU no 9 tahun 2015 beralih ke pemerintah provinsi. (*)