Oleh: TAUFIK IKRAM JAMIL
Sastrawan
Alkisah, bahasa Melayu yang dinamakan bahaÂsa Indonesia itu menÂjadi mahkota suatu bangsa melalui SumpÂah Pemuda, 28 Oktober 1928. Tak disebut-sebut ihwal material dalam ikrar itu selain bertanah air, bertumpah darah, dan berbahasa satu: Indonesia. Untuk memecut kebersamaan dalam meraih keÂmerdekaan, posisi penting bahasa Indonesia dikonkretkan dalam UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi pembebasan diri dari penjajah itu dikumandanÂgkan. Juga dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang memÂperkuat posisi bahasa Indonesia dalam bernegara.
Tidak berlebihan kalau diÂkatakan bahwa apa yang dinaÂmakan bahasa Indonesia itu adalah kekayaan besar negara ini. Pasalnya jelas, antara lain, bahasa Indonesia telah mempersatukan suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa sendiri-lebih dari 700 bahasa. Segala ragam pembeÂda tidak menjadi sekat bagi pengÂgunaan bahasa Indonesia, yang diterima sebagai sesuatu yang seÂdia ada (given).
Meski harus dibenahi dari berÂbagai sisi, pemerintah telah beruÂsaha membina bahasa Indonesia. Didasari peran bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa, mungkin juga dengan alasan pragmatis unÂtuk warga bangsa, mampu berbaÂhasa Indonesia bagi pekerja asing yang bekerja di negara ini meruÂpakan suatu kewajiban. Hal terseÂbut tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan TransÂmigrasi Nomor 12 Tahun 2013.
Tapi, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, kepada pers baru-baru ini mengatakan pengÂhapusan syarat mampu berbaÂhasa Indonesia bagi pekerja asing adalah hal yang spesifik berasal dari Presiden Jokowi. Maksudnya tak lain sebagai regulasi terhadap hambatan investasi asing sekalÂigus seperti hendak mengatakan bahwa bahasa Indonesia termaÂsuk hal-ihwal perintang kemajuan ekonomi. Bagai tak cukup tanah, maklum, namanya pun perminÂtaan pejabat nomor satu, keingiÂnan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 16 tahun 2015.
Sesungguhnya patut diakui bahwa selama ini selalu muncul kesan bagaimana sebagian orang Indonesia tidak begitu peduli denÂgan perkembangan bahasa nasiÂonal itu sendiri. Mereka pun menÂganggap bahasa Indonesia lemah, lalu menomorduakannya. Tapi akan menjadi teramat lain, setiÂdak-tidaknya ironis, jika alur sikap serupa tercetus dari seorang keÂpala negara, sesuatu yang secara institusi sebelumnya berslogan Trisakti-di antaranya berisi periÂhal berkepribadian sendiri. SesÂuatu yang bahkan tak dilakukan penjajah baik Belanda, Inggris, maupun Jepang sekalipun, walau dengan latar belakang berbeda.
Belanda, misalnya, harus menerima kehadiran bahasa MelaÂyu/Indonesia sebagai bahasa penÂgantar di sekolah setelah upaya memaksakan bahasa Belanda unÂtuk itu tidak berhasil. Jepang pun menganjurkan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bentuk lain dari usaha Negeri Sakura mengepung pengaruh Belanda sambil sedikit-sedikit memasyarakatkan bahasa Jepang di tengah pribumi.
Aduhai, keberadaan bahasa Indonesia di tangan bangsanya sendiri kini terbiarkan tanpa perÂtimbangan identitas nasional, ketika ekonomi Indonesia morat-marit, yang konon amat memerÂlukan investasi asing. Rupiah yang tergerus terus, harga minyak yang makin jatuh, disusul penurunan harga komoditas rakyat banyak sampai pada titik memilukan, haÂruskah mengorbankan identitas, yakni bahasa, sedangkan idenÂtitas itu berkaitan dengan harga diri dan marwah? Apakah dapat dikatakan bahwa marwah bangsa pun harus disingkirkan untuk keÂpentingan ekonomi?
Maaf saja kalau pertanyaan-pertanyaan di atas mengundang bayangan tentang berduyun-duyunnya pekerja asing datang ke negeri ini, misalnya, mengirÂingi pembangunan tol laut denÂgan dana Rp 700 triliun yang mendapat dukungan besar dari Cina. Di sisi lain, baru terlihat Bali yang mengantisipasi bayangan tersebut dengan cara menyusun peraturan daerah tentang syarat mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing di daerahnya. MuÂdah-mudahan alasan Bali berkemÂbang lebih besar daripada hanya menjaga kesempatan kerja untuk pekerja tempatan agar tak teramÂpas pekerja dari luar negeri, misÂalnya, juga untuk membela marÂwah negeri supaya tidak makin tercabik-cabik.
Maaf juga kalau hal-hal di atas mengundang ingatan akan ungÂkapan pahlawan nasional bidang bahasa, Raja Ali Haji, dalam GurinÂdam Duabelas: “Hendak mengeÂnal orang berbangsa/lihat kepada budi dan bahasa.†Sebelumnya, tokoh bahasa Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir MunÂsji, tanpa berselindung, melalui Hikayat Abdullah, menulis, “AdaÂkah segala bangsa manusia dalam dunia ini membuangkan bahasanÂya sendiri, tiada bertempat belajar bahasanya itu, melainkan yang kuÂlihat orang Melayulah yang tiada mengindahkan.†Aih…. (*)