Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
(Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor)
Namun dibalik kesederÂhanaan ini terdapat spirit dan kekuatan dahsyat sebagai benÂtuk refleksi atas laÂhirnya peristiwa bersejarah yang terjadi 1437 tahun silam.
Sebuah peristiwa paling pentÂing dan paling monumental dalam sejarah perjalanan Islam bahkan sejarah umat manusia secara uniÂversal.
Sebuah peristiawa yang nantiÂnya mampu menggetarkan mayaÂpada, meluluhlantahkan keegoisan dan kesombongan umat manusia serta mencipta peradaban baru yang penuh perdamaian, keselaÂmatan, dan rahmatan lil ‘alamin. Peristiwa agung itu adalah hijrahnÂya Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah.
Hijrah Nabi SAW merupakÂan peristiwa sangat heroik dan fenomenal. Dalam hijrah, Nabi yang ditemani sahabatnya Abu Bakar, tampil sebagai pemimpin yang sukses mencipta strategi pemikiran dalam memecahkan situasi yang sulit.
Husein Haikal dalam bukunya Hayat Muhammad (1972) bahkan menilai sejarah sebagai sebuah kisah yang paling cemerlang dan menakjubkan yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaÂran, keyakinan dan keimanan.
Senada dengan Haikal, Ismail al-Faruqi juga mengatakan bahwa hijrah merupakan langkah awal dan paling menentukan untuk menata masyarakat muslim yang berperadaban.
Jadi hijrah bukanlah pelarÂian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan karena kegagalan mengembangÂkan Islam di Makkah, melainkan sebuah praktis reformasi yang penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sistematis.
Tegasnya, substansi hijrah merupakan grand strategy dalam membangun peradaban Islam. Oleh karena itu tepatlah yang dikatakan Houston Smith dalam bukunya The Religion Man, bahwa peristiwa hiÂjrah merupakan titik balik dari sejaÂrah dunia. (Agustianto, 2008)
Dalam konteks sejarah Islam, hijrah bukan sekedar proses miÂgrasi biasa, tapi ia adalah sebuah peristiwa agung yang menjadi moÂmentum perpindahan umat Islam dari keterpurukan menuju kemaÂjuan, dari kebodohan menuju keÂcerdasan, dari kegelapan menuju pencerahan, dan dari masyarakat tak berperadaban (uncivilization) menuju masyarakat madani (civil society) diistilahkan dengan “miÂnadzulumati ilannurâ€.
Tak berlebihan jika seorang ahli sosiologi agama kenamaan, Ribert N Bellah dalam bukunya BeÂyond Bilief (1976) pernah berseloÂroh bahwa hijrah telah berhasil menyulap Madinah sebagai kota modern, bahkan sangat modern untuk ukuran zamannya, karena kondisi sosiologis-geografis Timur Tengah waktu itu belum mampu menopang struktur kosmopolitan Madinah yang ditampilkan MuÂhammad SAW.
Hijrah juga mampu menganÂtarkan Islam dan masyarakatnya menuju peradaban baru yang sarat dengan nuansa persaudaraan, persamaan, keadilan, kejujuran, toleransi, egaliter, penghargaan HAM, inklusif, demokratis dan menjunjung supremasi hukum, yang kesemuanya dibingkai denÂgan frame nilai-nilai syari’at Islam.
Dalam konteks ini tak salah jika Umar bin Khattab menyatakan: al-hijratu farraqat baina al-haq wa al-bathil (hijrah telah memisahÂkan antara yang benar dan yang salah). Artinya, berkat hijrah keÂbenaran dapat ditegakkan dan keÂbathilan dapat dibumihanguskan.
Oleh karena itu khalifah Umar bin Khattab kemudian menetapÂkan peristiwa hijrah ini sebagai awal tahun baru Islam. Umar meÂmilih peristiwa hijrah sebagai kalÂender Islam (at-taqwim al-Islami) karena hijrah Nabi Mauhammad SAW merupakan peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan dakwah Islam.
Selain itu penetapan kalender Hijriyah juga dimaksudkan untuk menggantikan penanggalan yang digunakan bangsa Arab sebelumÂnya, seperti Kalender Tahun Gajah, Kalender Persia, Kalender Romawi, dan kalender-kalender lain yang dibuat berdasarkan peristiwa-perisÂtiwa besar pada zaman Jahiliyyah.
Dalam konteks ini benar apa yang dikatakan Prof. Dr. Fazlur Rahman bahwa hijrah adalah makes of the beginning of Islamic calender and the founding of IsÂlamic community.
Secara filosofis, hijrah sejatiya mengandung nilai perubahan (transformation value) dan makna reformasi yang luar biasa.
Semangat perubahan dan reÂformasi tersebut terlihat dari langÂkah-langkah strategis Nabi MuhamÂmad SAW ketika beliau menetap di Madinah, baik dalam bidang sosial keagamaan, politik, hukum, ekoÂnomi, maupun pendidikan. KhuÂsus dalam dunia pendidikan, setiÂdaknya ada hal penting yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah Nabi SAW yaitu spirit transformatif.
Mengembangkan Spirit Transformatif
Dalam sejarah peradaban IsÂlam, sebagaimana ditulis Nazhori Author (2008) disebutkan bahwa hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah dimaksudkan untuk membangun komunitas migran.
Komunitas migran inilah yang kemudian membangun pondasi peradaban muslim. Nabi terus melakukan kajian pemikiran dan pendidikan dengan memanfaatÂkan sumber daya yang ada.
Konsep hijrah Nabi MuhamÂmad SAW di atas pada dasarnya adalah falsafah dasar yang dapat dijadikan oleh sistem pendidikan kita, khususnya pendidikan Islam, untuk menghidupkan kembali visi transformatifnya, sehingga penÂdidikan dapat memainkan peran yang sangat penting dan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia secara lebih baik.
Falsafah yang sudah ada dikemas dengan sederhana dan terintegrasi sehingga metodologÂinya dapat diimplementasikan di rumah, sekolah dan aktifitas keÂagamaan lainnya.
Visi transformatif pendidikan perlu direfleksi dan direkonstruksi ulang mengingat permasalahan pendidikan terutama di kalangan umat Islam sangat memprihatÂinkan. Refleksi ulang pendidikan bukan hanya dari sisi teknologi, metodologi, dan manajemen pendiÂdikan, tetapi lebih penting lagi dari aspek filosofis dan substansinya.
Untuk itu, pada momentum tahun baru Hijriyah ini diperlukan gerakan ijtihad yang bermuara pada pembaharuan sistem pendidikan terutama pendidikan agama Islam.
Rekonstruksi pendidikan disiÂni mengandaikan adanya revolusi cara belajar yang menekankan pada pembaharuan pendidikan dan pembelajaran. Karena tujuan pendidikan masih berkutat pada tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. (*)