RANCANGAN Undang- Undang Revisi Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) akhirnya ditunda. Penyebabnya bisa jadi karena reaksi publik yang begitu keras dan masif terhadap rencana pembatasan waktu maupun diperetelinya instrumen strategis KPK, misalnya, tentang hak penyadapan

Oleh: DIDIN S DAMANHURI
Tenaga Ahli Lemhannas RI, Guru Besar IPB

Untuk sementara bagi para pegiat anti korupsi, ini melegakan. Namun, ha­rus dijelaskan seluas mungkin kepada publik tentang peran strategis KPK bagi bangsa dalam membangun peradaban bersih ke depan.

Tulisan ini akan melihat be­tapa urgennya mempertahankan peran KPK dalam pemberan­tasan korupsi, setidaknya sam­pai publik menyimpulkan meski ada korupsi, tapi sudah bersifat kasuistik. Tidak seperti sekarang ini sangat masif, sistematis, dan struktural.

Korupsi di Indonesia telah berjalan sangat panjang, praktis tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, yakni sejak pe­nyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan “politik benteng” pada 1950-an.

Kebijakan yang semula untuk membangun lapisan kaum wi­rausaha secara masif, dihentikan karena gagal dan hanya mampu menciptakan entrepreneurdalam bilangan jari.

Dalam banyak kasus pasca­nasionalisasi perusahaan asing dengan dibentuknya perusahaan negara, banyak oknum pemer­intah, militer, dan politisi yang menjadikan “sapi perahan” peru­sahaan pelat merah itu.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, menurut Prof Sumitro Djojohadikusumo, negara rugi 30 persen dari anggaran negara den­gan modus KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) di berbagai sek­tor pemerintahan (yang umum­nya berkolusi dengan pihak swas­ta) serta munculnya banyak kasus “mafia peradilan”.

Sejak era Reformasi terjadi “pengembangbiakan” (ramifica­tion) tindak korupsi, yang bu­kan hanya di pemerintahan dan peradilan pusat, tapi menjalar ke pemerintahan dan yudikatif di daerah.

Juga di lingkungan legislatif pusat maupun daerah (tingkat provinsi maupun kota dan kabu­paten).

Catatan tentang indeks persep­si korupsi (CPI), pada masa Orde Baru rata-rata di bawah 20. Saat itu tercatat sebagai negara paling korup di Asia. CPI pada 2013 naik menjadi 36. Dengan kemajuan ini, peran KPK sangat besar.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Di samping peran penga­wasan yang beragam, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), media, watchdog/anti – korupsi, LSM mulai berjalannya checks and balances DPR, serta kemajuan pelaksanaan good governance (misalnya e-procure­ment, reformasi birokrasi).

Namun, sistem pemberan­tasan korupsi dalam mendukung subsistem yang dapat mengefek­tifkan pemberantasan bahkan pencegahan korupsi, guna men­ciptakan stabilitas politik terkait ketahanan nasional dirasakan masih banyak kekurangan.

Misalnya bagaimana mencip­takan koordinasi antara KPK dan penegak hukum lain seperti ke­jaksaan dan kepolisian sehingga tidak saling tumpang tindih.

Dalam hal ini diperlukan pen­guatan leadershipdalam pember­antasan dan pencegahan korupsi yang mampu mencegah “saling mengkriminalisasi” antarpen­egak hukum.

Begitu juga memperkuat pengawasan masyarakat dengan mendorong pelembagaan akses informasi di lingkungan badan publik dan masyarakat serta me­dia massa. Juga membuka ruang partisipasi masyarakat untuk men­gawasi kegiatan barang dan jasa.

Penerapan code of conduct yang meluas dalam pemerin­tahan, legislatif, dan yudikatif di pusat maupun daerah. Juga mendorong sektor swasta makin menerapkan fair competition (mencegah monopoli/oligopoli dan monopsoni/oligopsoni).

Juga mempercepat reformasi birokrasi, memperkuat pen­egakan hukum dan peradilan daerah, menciptakan efek jera dengan penerapan hukuman mati untuk tindak korupsi skala mega, pemiskinan koruptor, pen­cabutan hak politik, memperkuat sanksi sosial.

Modus baru korupsi sejak era Reformasi dan demokrasi yang sangat menghawatirkan adalah akibat “high cost of politics” dari sistem politik yang berkembang (sistem multipartai) di pemilu presiden, DPR, pilkada gubernur dengan DPRD-nya maupun pilka­da wali kota dan bupati dengan DPRD-nya.

Hal ini berdampak biaya tinggi untuk persiapan, pelaksa­naan, pascaterpilih hingga ber­lanjut pada para kontestan un­tuk menggunakan APBN, APBD provinsi, APBD kota dan kabupat­en sebagai `objek korupsi’.

Modus sekadar untuk mengembalikan utang waktu pe­milu maupun mempertahankan supaya terpilih lagi hingga modus memperkaya diri. Dampak lebih luasnya adalah eksploitasi sum­ber daya alam pertambangan, perkebunan, kelautan secara semena-mena dengan berkolusi antara “pemegang otoritas dan pengusaha”.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Dampaknya pada kerugian negara yang berkali lipat secara finansial maupun rusaknya sum­ber daya alam.

Pada akhirnya berakibat “ru­saknya tingkat kepercayaan” (distrust) terhadap kaum elite di pemerintahan, legislatif maupun yudikatif, di pusat maupun dae­rah. Kondisi ini sangat rentan menciptakan instabilitas politik yang berimbas turunnya ketah­anan nasional.

Korupsi merupakan extraor­dinary crimes yang merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta menyebabkan negara kesulitan memecahkan problem sosial-ekonomi (ke­miskinan, pengangguran, dan ketimpangan), sosial-politik (ren­dahnya kualitas birokrasi, pemer­intahan, parlemen, dan peradi­lan) sosial-budaya (rendahnya etos kerja, karakter, akhlak peny­elenggara pelayanan publik), dan hukum (sulitnya penegakan hu­kum dan memperoleh keadilan).

Kesemuanya akan berujung pada rendahnya kualitas dan ke­berlanjutan pembangunan. Kare­na itu, diperlukan perbaikan se­cara komprehensif dalam sistem pemberantasan korupsi.

Idealnya, ada grand design beserta blue print dalam men­capai tingkat korupsi serendah-rendahnya dengan menjadikan korupsi musuh bersama secara nasional.

Apalagi dalam menghadapi proses globalisasi yang bukan hanya berarti makin tajamnya persaingan antarbangsa dalam perdagangan dan ekonomi, tapi juga makin diterapkannya rating­dan index dalam banyak aspek (tingkat korupsi, daya saing, in­vestasi, kepercayaan bisnis dan konsumen, birokrasi, demokrasi, tata kelola pemerintahan, kor­porasi dan civil society, perlemen, peradilan, perguruan tinggi).

Semua rating itu mempunyai mata rantai pencapaian “perada­ban bersih” atau “zero corrup­tion”. Makin rendahnya korupsi, akan makin tinggi ratingnya. pengefektifan sistem pemberan­tasan korupsi seyogianya makin menjadi prioritas menghadapi pergaulan antarbangsa yang akan berdampak pada stabilitas politik nasional.

Peran KPK dalam segala per­spektifnya, sangat penting dan strategis. Mudah-mudahan upaya pelemahan, apalagi penghentian peran KPK, betapa pun ada ala­san, misalnya, tentang tergang­gunya proses pembangunan eko­nomi, segera dihentikan.

Sebab, manfaat keberadaan KPK dalam pemberantasan ko­rupsi jauh lebih besar dibanding mudaratnya. Meskipun ada revisi UU KPK nantinya, justru untuk lebih memperkuat dan menyem­purnakannya. Semoga.

sumber: Republika online

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================