PRAGMATIS atau idealis sebenarnya adalah permasalahan klise. Dalam filsafat, apa yang disebut dengan pragmatis dan apa idealis itu sendiri? Kadang-kadang seseorang melabeli dirinya adalah seorang idealis, namun klaim itu terbantahkan ketika kelakuan seseorang tersebut ternyata berkebalikan.
Oleh: YUSKA APITYA S. SOS,
Penulis
Sebagai contoh yang marak adalah seorang mahasiswa yang terÂkenal sebagai aktivis mahasiswa, membawa nama rakyat kecil, turun ke jalan, menjembatani kepentingan rakyÂat dengan penguasa, dan sederet aktivitas sosial lainnya, tetapi beÂgitu ia lulus, ia pun bekerja di peÂrusahaan besar, entah itu perusaÂhaan nasional atau malah asing.
Jika perusahaan asing, siap-siap saja kata-kata cibiran muncul dari teman-teman seperjuangan di masa kuliah. Mereka akan serta merta mencap sebagai pragmatis. Mahasiswa idealis yang berubah menjadi pragmatis begitu lulus kuliah.
Contoh lainnya, seorang penÂulis yang mengaku berpikiran ideÂalis namun akhirnya menyerah pada kehendak rupiah karena terhimpit kebutuhan. Akhirnya di penulis itu dicap pragmatis. Atau ada juga seorang penulis yang pragmatis, tapi menjadi idealis ketika kekayaannya mapan.
Hati saya bergumam, apakah menjadi pragmatis itu buruk? Apakah menjadi idealis lebih baik? Sesungguhnya menjadi pragmatis atau idealis adalah terÂgantung situasi.
Masalahnya adalah di mana orang itu bersikap idealis dan di mana ia bersikap pragmatis. Seseorang mungkin tidak benar-benar menjadi pragmatis atau benar-benar menjadi idealis. KedÂua sikap tersebut meski terdenÂgar bertentangan, tapi bisa saja ada dalam diri orang yang sama.
Ketika seseorang sedang menghadapi masalah yang butuh penyelesaian cepat, mendesak dan penting, ia perlu memikirkan beberapa alternatif solusi. Solusi yang ideal tentu paling baik.
Tetapi apakah solusi itu bisa langsung dilaksanakan? Nah, mungkin masih ada hambatan di sana-sini, sehingga harus bersiÂkap pragmatis dan sedikit demi sedikit diperbaiki menuju kondisi ideal.
Kalau terus-menerus bersikap pragmatis sebetulnya juga tidak baik, seperti menambal terus menerus jalan aspal yang rusak tanpa memikirkan alternatif soluÂsi kemacetan, sedangkan kian hari manusia yang tinggal di situ, lewat, dan berkendaraan pribadi makin bertambah, menambah beban jalan dan membuat biaya perawatan semakin tinggi.
Dewasa ini, banyak manusia sudah digiring untuk menjadi pragmatis sejak masa awal memaÂsuki jurang pekerjaannya. Dalam sebuah seminar misalnya. SesÂeorang selalu disuguhkan dengan tamu sosok yang kaya, sukses dan mapan, inilah yang sebenarnya menjadi jurang memasuki sikap pragmatis.
Apapun sikap yang dipilih, seÂbaiknya tetap punya prinsip. Jika manusia tidak punya prinsip dan mau praktis-praktis saja, maka tentu saja ia hanya akan jadi seonggok boneka yang hidupnya dikendalikan orang lain, dia akan terus menerus mengambil kepuÂtusan praktis yang menguntungÂkan dirinya dalam jangka pendek.
Akan tetapi, lihatlah beberapa tahun ke depan, ia akan memikirÂkan makna hakikat hidup. Sebab ia selama ini hidup tanpa jiwa.
Pernah saya baca larik kutiÂpan dari buku garapan filsuf kiri China, “Jika kamu tidak memperÂtahankan sesuatu, maka kamu akan kehilangan segalanya.
Jika tidak punya prinsip sama sekali, dan rela menjadi ekstrim pragmatis, maka justru sikap seperti itu akan menjatuhkan di masa depan†Nggak percaya? Buktikan sendiri. (*)