Oleh: AHMAD SYAFII MAARIF
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Namun demikian mengapa pergantian sistem ini tidak membaÂwa bangsa ini ke arah yang lebih baik dan kokoh dalam menyongsong masa depan? Keadilan dan kesejahterÂaan masih saja enggan bersahabat dengan sebagian besar pemilik kekayaan negeri ini? Demokrasi yang seharusnya meniscayakan kedaulatan di tangan rakyat tidak lantas membuat rakyat berdaulat atas dirinya, atas negerinya, dan atas kekayaan alam yang melimÂpah di dalamnya.
Politik yang seharusnya menÂjadi alat pengawal bagi terwujudÂnya cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan bersama telah menÂgalami disfungsi untuk tidak menÂgatakan gagal total sama sekali.
Karena pada kenyataannya politik hanya dijadikan mata pencaharian oleh segelintir elit dan politisi negeri ini. KepentinÂgan sesaat yang bersifat pribadi atau golongan telah menjadi panÂglimanya, ia telah menyembelih sama sekali kepentingan bangsa yang lebih besar.
Oleh karenanya bisa disimÂpulkan bahwa politik telah absen sebagai jalan luhur bagi pemuÂliaan martabat manusia berserta keadaban yang mesti dibangun di dalamnya.
Demokrasi yang telah menjadi pilihan sistem politik kita dewasa ini belum mampu memenuhi tunÂtutan idealnya mewujudkan keadiÂlan dan kesejahteraan bersama.
Keberhasilan kita dalam menerapkan demokrasi baru sebatas prosedural melalui apa yang sering disebut sebagai elecÂtoral democracy (demokrasi meÂlalui pemilihan umum).
Sepanjang yang kita cermati melalui tiga kali pemilihan langÂsung presiden dan wakil presÂiden yang telah kita lalui, pemilu legislative, dan pemilu kepala daerah, sistem ini belum mampu menghasilkan sebuah kualitas demokrasi yang menjamin terÂciptanya keadilan sosial dan keseÂjahteraan bagi semua pihak tanpa kecuali.
Demokrasi semacam ini kerÂap disebut sebagai demokrasi prosedural yang mengabaikan substansi moralitas dan hukum. Pada akhirnya demokrasi kita berjalan tanpa dikawal oleh morÂal dan konstitusi.
Dalam kenyataannya, deÂmokrasi yang bertujuan mulia untuk menciptakan kesejahterÂaan sosial telah disalahgunakan menjadi sistem kesengsaraan sosÂial di tangan para elite dan politisi yang tunawaras secara konstituÂsional. Demokrasi kita dimainkan dan baru sebatas melahirkan para elit dan politisi rabun ayam, tunavisi, dan tunamoral. Indikasi utamanya adalah semakin mereÂbaknya korupsi berjamaah dan penggerogotan telanjang di deÂpan mata publik terhadap APBN/ APBD oleh berbagai oknum elit, birokrasi dan politisi kita demi keuntungan pribadi dan kelomÂpoknya.
Politik Uang sebagai Daki Peradaban
Demokrasi prosedural meÂlalui ritual politik pemilihan (electoral) baik berupa Pemilu maupun Pilkada rentan mengalÂami penyimpangan tanpa panÂduan moral dan konstitusi.
Salah satu penyimpangan utaÂma yang sudah terdengar umum di telinga kita dalam proses PeÂmilu atau Pilkada yang sudah berlangsung selama ini adalah permainan politik uang (Money Politics) yang sangat merebak terÂjadi menjelang perhelatan “pesta demokrasi†lima tahunan itu.
Senyatanya politik uang buÂkan hanya sekedar penyimpanÂgan, lebih jauh ia adalah daki peradaban dalam kekumuhan budaya politik kita dewasa ini.
Ia adalah parasit demokrasi yang mengoyak tatanan moral dan konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman dalam kehiduÂpan berbangsa dan bernegara deÂwasa ini. Dan bila penyimpangan itu dibiarkan menjadi mentalitas bangsa ini, proses demokratisasi lambat laun akan tersungkur, meruntuhkan tatanan kebangÂsaan yang lebih luas.
Anehnya seringkali antara elit politisi dengan kelompok pemilih di tingkat akar rumput keduanya sama-sama telah terlibat menjadi pelanggeng dari melekatnya daki peradaban ini.
Himpitan ekonomi dan kesÂejahteraan yang tak kunjung tiba menjadi alasan utama bagi sebaÂgian rakyat kita untuk turut meÂlanggengkan praktek kumuh ini.
Hal ini diperkuat dengan menÂtalitas para politisi kita yang tak pernah mau naik kelas menjadi negarawan, mempertahankan kualitas mereka yang tunamoral dan tunavisi bagi kelangsungan bangsa ini di masa mendatang.
Setelah perhelatan pemilu 2014 yang lalu, kini kita dihadapÂkan pada Pemilukada serentak di penghujung 2015 yang diselenggÂarakan secara merata di seantero nusantara.
Lagi-lagi perhelatan ini akan menjadi batu ujian bagi bangsa ini, apakah bangsa ini dapat berÂhasil menciptakan sebuah sistem demokrasi yang berkualitas dengan meminimalisir semaksiÂmal mungkin praktek-praktek pengebirian moral dalam bentuk politik uang, yang dengannya diÂharapkan dapat melahirkan para pemimpin daerah visioner yang bekerja demi kesejahteraan bangÂsa dan rakyatnya? Ataukah hanÂya stagnan sebagai perhelatan prosedural tanpa menghasilkan perubahan apapun dan bahkan melanggengkan kualitas rendah dan kumuh dalam dunia perpoliÂtikan kita?
Buku ini berisi kumpulan tuÂlisan kritis dari berbagai kalangan pegiat anti politik uang. Sebuah kampanye dan gerakan literasi kriÂtis untuk menyerukan pada publik tentang busuk dan bahayanya poliÂtik uang bagi bangunan demokratiÂsasi yang tengah kita bangun.
Di dalamnya mengandung pesan kuat untuk melawan budaÂya kumuh dalam kehidupan poliÂtik kita yang berbentuk “transaksi politik uangâ€.
Tentu kita berharap keÂberadaan buku ini dapat menjadi salah satu media pendidikan pubÂlik agar semua kita secara sadar dapat menghalau sejauh mungÂkin praktek kumuh tersebut dari budaya politik dan peradaban Indonesia di masa kini dan menÂdatang. Selamat Membaca!
Sumber: koranopini.com