Oleh: R. MUHAMMAD MIHRADI, S.H., M.H
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Substansinya adalah terÂdapat dugaan pelangÂgaran hukum yang diÂlakukan Wakil Walikota Usmar Hariman terhaÂdap ketentuan Pasal 76 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang PemerinÂtahan Daerah (UU Pemda).
Sebagaimana pernah penulis ulas dari opini Harian Bogor ToÂday (Sisi Lain Hak Angket Usmar, 10/8/2015: A3), pengajukan hak angket DPRD Kota Bogor diawali oleh dugaan intervensi dan peÂnyalahgunaan wewenang Wakil Walikota berupa penerbitan surat disposisi penundaan pemenang lelang APBD Kota Bogor.
Hal ini dinilai bertentangan dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 juncto Perpres Nomor 4 TaÂhun 2015 tentang Pengadaan BaÂrang/Jasa Pemerintah yang memÂberi wewenang pada Unit Lelang Pengadaan (ULP) untuk urusan pelelangan. Tidak ada wewenang Wakil Walikota untuk itu. Namun demikian, diduga Wakil Walikota Bogor menggunakan ketentuan Pasal 65 ayat (2) huruf d juncto Pasal 66 ayat (1) huruf c UU PemÂda yang intinya memberikan weÂwenang pada Wakil Walikota bila Walikota berhalangan sementara untuk mengambil tindakan terÂtentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan daerah dan atau masyarakat.
Maka, bisa saja konteks penerÂbitan surat disposisi tersebut dalam rangka Pasal 65 ayat (2) huruf d di atas.
Dilema Hukum
Umumnya, berdasarkan keÂtentuan Pasal 371 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD, ujung dari penggunaan hak angket dapat memanfaatkan hak menyatakan pendapat yaitu hak DPRD untuk “menyatakan pendapat terhadap kebijakan Bupati/Walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelakÂsanaan hak interpelasi dan hak angketâ€.
Menjadi misteri, apa kira-kira yang akan dilakukan DPRD Kota Bogor bila penggunaan hak angket diteruskan dengan hak menyatakan pendapat. Sebab, bila penggunaan hak menyatakan pendapat yang berujung pada usulan pemberhenÂtian Wakil Walikota maka ada beÂberapa hal yang harus siap dijawab oleh DPRD Kota Bogor.
Pertama, DPRD Kota Bogor harus dapat mengungkap motif terbitnya surat disposisi Wakil Walikota dalam kasus ini yang diduga mengintervensi kewenanÂgan ULP sehingga bertentangan dengan ketentuan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 juncto Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang PenÂgadaan Barang/Jasa Pemerintah karena menerbitkan surat dispoÂsisi penundaan pememang lelang proyek APBD. Lalu, adakah akiÂbat hukum yang telah timbul dari surat disposisi tersebut sehingga berdampak luas bagi masyarakat dan daerah.
Kedua, sebagaimana telah diuÂraikan di atas, Pasal 65 ayat (2) huruf d UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan kepala daerah dapat mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat†di mana tinÂdakan tadi dapat dilakukan Wakil Walikota apabila Walikota selaku Kepala Daerah berhalangan seÂmentara berdasarkan ketentuan Pasal 65 ayat (4).
Maka perlu diuji apakah tinÂdakan Usmar menerbitkan surat disposisi penundaan pemenang lelang dimaksudkan dalam konÂteks Pasal 65 ayat (2) huruf d di atas karena diduga ada ketidakÂberesan di dalam proses lelanÂgan berupa penghalang-halangan peserta lelang mengikuti proses lelang berdasarkan pemberitaan media massa.
Ketiga, andaipun terbukti terÂdapat unsur penyalahgunaan weÂwenang yang dilakukan oleh Wakil Walikota maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai dua hal yaitu (1) saat penerbitan surat dispoÂsisi, posisi Wakil Walikota dalam konteks mewakili Walikota yang berhalangan sementara “ke luar negeri†dan apakah hal ini dalam konteks kewenangan mandat.
Sebab bila wewenang mandat, maka secara hukum administrasi, tanggung gugat dan tanggung jawÂab hukum berada pada pemberi mandat (Walikota). Bukan peneriÂma mandat (Wakil Walikota).
Konsep ini dianut oleh UU Administrasi Pemerintahan. (2) andaipun Wakil Walikota memang bertanggung jawab penuh atas penyalahgunaan wewenang tadi maka perlu dilacak adakah unsur menguntungkan diri sendiri atau merugikan daerah.
Sebab Pasal 76 ayat 1 huruf d UU Pemda mensatunafaskan unÂsur penyalahgunaan wewenang dengan frasa seterusnya yaitu menguntungkan diri sendiri atau merugikan daerah.
Skenario Pemberhentian
Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi pertanyaan stratÂegis dan penting, apakah ujung dari hak angket maupun hak meÂnyatakan pendapat (bila digunakÂan) memang harus memakzulkan Wakil Walikota?
Seberat apakah pelanggaran huÂkum yang dilakukan Wakil Walikota sehingga perlu dimakzulkan? Sebab, sepengetahuan penulis, sampai hari ini belum ada dugaan gratifikasi atau suap maupun korupsi dalam kasus surat disposisi tersebut.
Namun, apabila memang DPRD Kota Bogor meyakini ada pelanggaran hukum dan harus dimakzulkan maka prosedurnya tidak sederhana juga.
Sebab berdasarkan UU Pemda(Pasal 78-Pasal 81), usulan pemberhentian haruis diumumÂkan pimpinan DPRD dalam rapat paripurna tentang usulan pemÂberhentian wakil walikota dan kemudian pengusulan diteruskan kepada Menteri melalui Gubernur untuk penetapan pemberhentian.
Untuk sampai penetapan pemÂberhentian maka MA akan meÂmutus terlebih dahulu pendapat DPRD atas dugaan penyalahguÂnaan wewenang tersebut dan dalam 30 hari MA akan mengadili serta akan disampaikan putusanÂnya pada Menteri apabila memang terbukti melanggar dan barulah dapat terbit penetapan pemberÂhentian Wakil Walikota.
Menjadi perspektif tersendiri untuk dikaji, apakah putusan MA akan linear dengan harapan DPRD Kota Bogor. Sebab proses di MA adalah murni hukum.
Berbeda dengan proses hak angket di DPRD Kota Bogor yang tidak dapat disangkal merupakan perkawinan silang antara politik dan hukum. Potensi berbeda panÂdangan antara MA dan DPRD Kota Bogor dalam melihat kasus ini terÂbuka lebar.
Alternatif Lain
Bisa saja, DPRD dan Walikota melakukan komunikasi politik tingkat tinggi dan ujungnya adalah pada hanya teguran Walikota terÂhadap Wakil Walikota. Mungkin model ini tidak memuaskan kareÂna proses di DPRD memakan tenaÂga, biaya dan pemikiran namun endingnya hanya teguran.
Meski demikian, alternatif ini perlu ditimbang sebelum terjebak pada kerugian lebih besar khususÂnya marwah kelembagaan apabila putusan MA misalnya menyatakan Wakil Walikota tidak melanggar hukum atau melanggar hukum namun tidak perlu diberhentikan.
Apapun itu, publik hanya mengamati sambil berdoa yang terbaik bagi kota tercinta. (*)