PERTAMA muncul di stand up comedy, Ernest Prakasa langsung mampu membuat semua orang yang melihatnya tertawa terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak, pemuda bermata sipit itu tak sungÂkan-sungkan menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan lawakan. Isu yang paling sering dia angkat tidak jauh dari etnis Tionghoa yang jelas jadi ciri khasnya.
Oleh : Latifa Fitria
[email protected]
Ernest bisa dengan mudah melontarkan laÂwakan soal matanya yang sipit, kulitnya yang putih, atau pengalaman buruknya dikata-katai China.
“Saya tidak menghina, karena semua yang saya alami itu nyata. Diskriminasi yang biasa dialami etnis Tionghoa itu ya kejadian,†tutur pemuda kelahiran JaÂkarta, 29 Januari 1982.
Semua itu tersimpan dalam benak Ernest menjadi pengalaman buruk, sampai saat ia mengikuti kompeÂtisi pelawak tunggal di sebuah stasiun televisi. Ia dan peserta lain diajari mencari materi lawakan dari penÂgalaman terdekat. Dari kegelisahan sampai kejujuran diri sendiri.
Pengalaman di-bully sebagai etnis Tionghoa pun terlintas dalam benak Ernest. Baginya, itu meresahÂkan. Itu lantas dijadikannya fokus materi melawan sesekali. “Setelah digali, semakin banyak dijadikan pembicaraan, baru saya terasa. Itu bisa jadi terapi,†katanya tegas.
Penulis buku Ngenest-Ngetawain Hidup Ala ErÂnest itu pun menemukan ruh dalam setiap lawakanÂnya. Diskriminasi etnis Tionghoa. Tanpa sengaja, seÂgala pengalaman buruknya justru terangkat perlahan. “Menceritakan itu salah satu cara terapi efektif untuk berdamai dengan masa lalu yang tidak menyenangÂkan,†ia menuturkan.
Meski begitu, Ernest tidak memilih cara yang eksÂtrem dalam menertawakan keetnisannya. Ia tidak membuat pengoloknya dahulu merasa harus meminta maaf, pun tak mendiskreditkan etnis Tionghoa lainnya sehingga terasa menyinggung. “Saya enggak mau steÂreotipe. Saya enggak bilang China begini, China begitu. Kalau itu bahaya.†Tuturnya.
Ernest pun terbilang sukses sebagai salah satu seniÂman keturunan Tionghoa, yang berani membicarakan keetnisannya secara terbuka.
Ia memang termasuk generasi yang merasakan perÂbedaan perayaan Tahun Baru China dari masa ke masa. Pada zaman Orde Baru dahulu, tuturnya, jangankan merayakan. Izin ke sekolah agar dapat berkumpul berÂsama keluarga saja sulit. “Dulu Orba itu kan politis ya, diskriminatif sekali,†katanya mengungkapkan.
Ia akhirnya merasakan zaman Presiden AbdurrahÂman Wahid alias Gus Dur yang mengakui Tahun Baru China alias Imlek. “Apalagi waktu zamannya Megawati itu dijadikan hari libur nasional,†imbuhnya.
Sejak itu, ia tak lagi kesusahan berkumpul bersaÂma keluarga saat tahun baru, meski mengaku tak puÂnya tradisi spesial. “Kayak lebaran, kumpul-kumpul, makan-makan. Makanan sudah akulturasi, malah ada ketupat sama opor,†cerita Ernest.
(NET)