Oleh: ARIF SATRIA
Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor dan anggota Dewan Kelautan Indonesia

Poros maritim dunia yang digagas Presiden Joko Widodo ( Jokowi) mestinya diartikan se­bagai meningkatnya daya tarik global terhadap sum­ber daya kelautan Indonesia serta bertambahnya peran kelautan dalam ekonomi global.

Daya tarik ada apabila kelau­tan kita memang atraktif. Selama ini, daya tarik global sebatas ke pemanfaatan alur laut, mengin­gat strategisnya posisi geografis Tanah Air.

Ini pun kita belum mampu mengapitalisasikan lalu-lalangnya kapal-kapal asing untuk manfaat ekonomi. Hal tersebut mengin­gat terbatasnya kapasitas dan fasilitas pelabuhan. Sementara itu, sektor lain yang berpotensi menjadi daya tarik global adalah wisata bahari.

Sejauhmana wisata bahari kita atraktif bagi masyarakat glob­al ? Isu-isu pokok apa yang mes­tinya dicermati dan langkah-lang­kah apa yang mesti dilakukan?

Pertama adalah isu destinasi. Daya tarik global terhadap wisata bahari kita sangatlah beralasan, mengingat keindahan bentang alam dan keanekaragaman hayati laut Indonesia sangatlah poten­sial menjadi destinasi bagi wisa­tawan mancanegara (wisman).

Panjang garis pantai 95.000 kilometer sudah menggambarkan besarnya potensi tersebut. Belum lagi kekayaan keanekaragaman hayati yang terdiri dari 8.500 spesies ikan dan 950-an jenis terumbu karang. Bayangkan luas terumbu karang Indonesia sekitar 51.000 km persegi atau 18 persen dari terumbu karang dunia.

Tentu modal alam ini meru­pakan kelebihan wisata Indo­nesia. Sebagaimana juga dinilai dalam Travel and Tour Competi­tiveness Index (TTCI) oleh World Economic Forum.

Modal alam ini memungkinkan berkembangnya sejumlah aktivitas wisata bahari, seperti wisata pantai, jelajah bakau, olahraga air, selam, kapal pesiar, dan lain sebagainya.

Persoalannya, bagaimana modal alam yang tersebar di pen­juru Tanah Air tersebut dapat dijadikan destinasi potensial? Ini mengingat masih ada ketimpan­gan dalam destinasi wisata bahari saat ini. Bali masih menjadi fokus, padahal banyak wilayah lain yang potensial dikembangkan, seperti Raja Ampat, Karimunjawa, Waka­tobi, Togean, Bunaken, Komodo, Lombok, dan daerah konservasi laut lainnya.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Kedua mengenai isu promosi. Upaya branding dengan tagline “Wonderful Indonesia” dan ma­suk iklan sejumlah stasiun televisi dunia merupakan awal yang san­gat baik. Selama ini kita iri den­gan iklan “The Truly Asia” milik Malaysia yang begitu intensif. Mestinya, “Wonderful Indonesia” bukan hanya misi Kementerian Pariwisata, melainkan juga misi seluruh komponen bangsa.

Terbayang apabila seluruh penerima beasiswa studi di luar negeri dikumpulkan dalam satu waktu sebelum mereka berang­kat, lalu dibekali dengan sejumlah promotion kit tentang wisata ba­hari kita. Tentu gerakan promosi di tingkat global akan semakin masif. Mereka pun dapat menjadi agen public relation di luar negeri.

Namun demikian, upaya pro­mosi pada level makro seperti itu harus diikuti upaya promosi mik­ro. Di Bali, promosi objek-objek wisata di hotel-hotel sudah sangat mapan. Bandingkan dengan dae­rah lain yang para resepsionis ho­telnya pun tidak fasih menjelas­kan destinasi wisata yang layak dikunjungi di daerah tersebut.

Sebut saja Raja Ampat, re­sepsionis hotel—baik di Sorong maupun Waisai—tidak tahu cara mencapai Wayak atau Miisol. Tampaknya perlu ada tur gratis bagi para resepsionis hotel terse­but ke objek-objek utama sehing­ga mereka punya pengalaman dan mampu menceritakan desti­nasi tersebut kepada para tamu.

Pusat informasi wisata juga harus diperkuat di wilayah strat­egis, seperti bandara, pelabuhan, stasiun, dan terminal. Gerakan promosi ini harus didesain secara komprehensif dengan memper­hatikan segmen wisatawan.

Ketiga adalah isu infrastruk­tur. Strategi branding dan pro­mosi di atas harus diikuti kesia­pan infrastruktur yang memadai. Adakah pelabuhan di Indonesia yang siap disinggahi kapal pesiar seperti Star Cruise? Mudahkah akses wisatawan untuk mencapai lokasi wisata bahari dengan sa­rana dan prasarana transportasi yang nyaman dan harga terjang­kau? Mudahkah mendapatkan air bersih, listrik, dan sinyal telepon seluler di lokasi-lokasi tersebut?

Salah satu catatan dalam TTCI, kelemahan wisata Indo­nesia terletak di bidang infra­struktur. Tentu lagi-lagi ini bukan tugas Kementerian Pariwisata semata, melainkan juga tugas Ke­menterian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Komunikasi dan Informasi. Ma­salah koordinasi menjadi titik penentunya. Kemenko Kemariti­man dan Sumber Daya mestinya berkoordinasi agar problem ini bisa terselesaikan.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Keempat mengenai isu kepe­milikan. Destinasi wisata bahari umumnya dikelola pengusaha as­ing. Dominasi asing tersebut ber­dampak ke sering munculnya isu coastal grabbing yang akhirnya menyebabkan konflik dengan para nelayan dan masyarakat lokal.

Nelayan sudah turun-temu­run menangkap ikan di sebuah lokasi. Ketika lokasi tersebut diklaim sepihak oleh pengusaha sebagai lokasi penyelaman, para nelayan terpaksa tersingkir. Bah­kan untuk menyandarkan pera­hunya, mereka tidak diperboleh­kan karena pantai tersebut seolah menjadi milik pengusaha.

Toleransi pengusaha asing ter­hadap nelayan masih minim. Ini­lah yang membuat nelayan seolah menjadi tamu di negerinya send­iri. Karena itu, perlu ditegakkan regulasi terkait pengelolaan usaha wisata bahari oleh asing sehingga tidak merugikan masyarakat lokal.

Salah satu instrumen prasyarat­nya adalah akselerasi penetapan zonasi wilayah pesisir. Meski ini adalah amanat Undang-Undang (UU) 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Je­cil, ternyata belum semua provinsi telah memiliki rencana zonasi pe­sisir. Pihak yang sudah memiliki tidak lebih dari 10 provinsi.

Kejelasan zonasi pesisir akan bisa menyelesaikan konflik an­tara wisata bahari dan perikanan. Untuk Mengimbangi peran asing, pengusaha nasional dan lokal per­lu didorong untuk mengembang­kan usaha wisata bahari ini. Pada saat yang sama, perlu dikembang­kan juga model wisata bahari ber­basis masyarakat sehingga wisata ini dapat memberi manfaat yang nyata bagi masyarakat lokal.

Inilah yang selama ini dikem­bangkan di Jepang. Pelaku usaha wisata bahari bahkan adalah nelayan sehingga antara wisata bahari dan perikanan bisa hidup harmonis.

Sejumlah langkah di atas perlu ditata dalam sebuah peta jalan yang jelas dan terukur. Jadi, membuat Indonesia sebagai pusat wisata bahari dunia bukan­lah mimpi lagi.

sumber: sinarharapan.co

============================================================
============================================================
============================================================