MARTUA Sitorus, atau pemilik nama Thio Seng Hap) mulai merintis kerajaan bisnis minyak kelapa sawitnya dari nol. Dengan bekal naluri bisnis yang kuat, membuat pria yang akrab disapa A Hok mengambil resiko apapun kala itu. Namun begitu, insting berbisnisnya semakin tajam dengan sendirinya.
Oleh : Latifa Fitria
[email protected]
Pria yang berasal dari Pematang Siantar, Sumatera Utara. Martua yang mendapatkan gelar sarjana ekonominya dari Universitas HKBP Nommensen, Medan ini merintis bisnis denÂgan berdagang minyak sawit secara kecil-keÂcilan di Indonesia dan Singapura. Perlahan-lahan usahanya itu berkembang pesat.
Pada akhir 1980-an, ia menjalin kemiÂtraan dagang denÂgan Kuok Khoon Hong, keponakan Robert Kuok, raja bisnis gula dan properti MaÂlaysia. Keduanya sepakat untuk mengembangkan bisnis bersama-sama di bawah bendera Wilmar. Mereka berdua adalah pemilik sigÂnifikan Wilmar HoldÂings Pte Ltd (peÂrus aha an holding Wilmar International Ltd). Keduanya berbagi tugas, Kuok Khoon Hong sebagai Chairman & CEO dan Martua sebagai Chief Operating Officer (COO) Wilmar International Ltd.
Keluarga besar Martua Sitorus juga berÂperan penting dalam mengembangkan WilÂmar Corp. Istri (Rosa Taniasuri Ong), saudara laki-laki (Ganda Sitorus), saudara peremÂpuan (Bertha, Mutiara, dan Thio Ida), dan ipar (Suheri Tanoto dan Hendri Saksti) Martua menduduki berbagai posisi kunci di Wilmar Corp. Bahkan, Hendri Saksti diÂberi kepercayaan menjadi keÂpala operasional bisnis Wilmar di Indonesia.
Pada tahun 1991, Martua sudah mampu memiliki keÂbun kelapa sawit sendiri selÂuas 7.100 hektar di kampung halamannya, Sumatera Utara. Di tahun yang sama, ia juga berÂhasil membangun pabrik penÂgolahan minyak kelapa sawit pertamanya. Dalam dua dekade, Martua berhasil membangun imperium bisnis minÂyak sawit terinteÂgrasi, mulai dari perkeÂbunan sawit, pabrik pengoÂlahan sawit, oleokimia, bioÂdiesel, pengeÂpakan, hingga pemasaran minyak sawit (CPO). Wilmar memiliki 250 fasilitas pabrik produk-produk sawit di 20 negara, antara lain di Indonesia, Malaysia, Tiongkok, India, hingga Eropa. Di Indonesia, Wilmar memiliki sekitar 48 peruÂsahaan operasional.
Nalurinya sebagai pengusaha yang tak pernah cepat berpuas diri membuatnya muÂlai mencari prospek bisnis lain yang menjanÂjikan keuntungan berlimpah. Ia kemudian tertarik untuk menjalani bisnis hilir (produk turunan) yang lebih bernilai jual tinggi. Di tahun 1998, untuk pertama kalinya, Martua membangun pabrik yang memproduksi speÂcialty fats. Dua tahun kemudian, ia melunÂcurkan produk konsumsi minyak goreng berÂmerek Sania dan Fortune yang diproduksi salah satu perusahaan operasional miliknya, PT Multimas Nabati Asahan.
Di India, Wilmar menjual minyak goreng merek Fortune, Jubilee, Raag, Alpha, dan Aadhar. Sedangkan di Tiongkok bermerek OrÂchid, Gold Ingot, Hiaqi, dan Baihehua. Dalam dua dekade, Martua berhasil membangun imperium bisnis minyak sawit terintegrasi, mulai dari perkebunan sawit, pabrik pengoÂlahan sawit, oleokimia, biodiesel, pengepakÂan, hingga pemasaran minyak sawit (CPO). Wilmar memiliki 250 fasilitas pabrik produk-produk sawit di 20 negara, antara lain di InÂdonesia, Malaysia, Tiongkok, India, hingga Eropa. Di Indonesia, Wilmar memiliki sekitar 48 perusahaan operasional.
Tahun demi tahun, kerajaan bisnis MarÂtua semakin membesar hingga pada akhÂirnya berhasil menjadi salah satu perusahaan agrobisnis terbesar di Asia yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Di sektor perkebunan, Wilmar memiliki kebun sawit yang tersebar di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, perkebunannya berlokasi di Sumatra, KaliÂmantan Barat dan Kalimantan Tengah, seÂdangkan di Malaysia tersebar di Sabah dan Serawak. Hingga 31 Desember 2008, Wilmar menguasai 500 ribu hektar kebun, sebanyak 200 ribu hektar sudah ditanami.
Wilmar juga memiliki pabrik pengolahan minyak sawit mentah yang berlokasi di seÂjumlah negara, mulai dari Indonesia, MalayÂsia, China, India hingga Eropa. Di Riau, pada 2007, ia membangun tiga pabrik biodiesel, masing-masing memiliki kapasitas produksi 350.000 ton per tahun, sehingga total kapaÂsitasnya 1,050 juta ton per tahun.
Dari pabrik pengolahan, Wilmar kemuÂdian mencampur dan mengemasnya dalam berbagai jenis produk akhir untuk dipasarÂkan kepada konsumen. Produk itu dijual terÂutama di tiga pasar besar dunia, yakni IndoÂnesia, China dan India, juga di Vietnam dan Bangladesh. Wilmar juga bermain di pabrik pupuk untuk menopang usaha perkebunanÂnya. Jenis pupuk yang dihasilkannya adalah pupuk NPK.
Per 31 Desember 2005, Wilmar memiliki total lahan perkebunan kelapa sawit seluas 69.217 hektar, 65 pabrik, tujuh kapal tankÂer, total aset US$1,6 miliar, total pendapaÂtan US$4,7 miliar, laba bersih US$58 juta, dan 20.123 karyawan. Wilmar mengekspor produk-produknya ke lebih dari 30 negara. Puncaknya, Martua mencatatkan Wilmar di Bursa Efek Singapura pada Agustus 2006 dengan kapitalisasi pasar mencapai US$2 miliar. Pada akhir Desember 2009, total pendapatan Wilmar mencapai US$ 23,9 miliar atau Rp 220 triliun. Sedangkan, laba bersih perusahaan yang dihimpun mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 17 triliun.
Berkat keberhasilan perusahaan itu, soÂsok Martua Sitorus makin menonjol di penÂtas bisnis global. Pada tahun 2006, majalah Forbes menempatkan suami Rosa Taniasuri Ong itu di urutan ke-14 dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Kekayaan bersiÂhnya saat itu ditaksir mencapai US$475 juta. Palm Oil King atau Raja Minyak Kelapa Sawit, demikian julukan yang diberikan Forbes unÂtuk Martua. Pada tahun 2008, ia melesat di posisi ke-2 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes Asia setelah Ketua Umum Partai Golkar, Politisi, Pengusaha
Di mata para koleganya, misalnya Ketua Harian Gapki (pengusaha Kelapa Sawit IndoÂnesia), Derom Bangun, yang telah bersahabat sejak tahun 90-an, Martua adalah seorang yang berani mengambil risiko dengan meÂmasuki wilayah-wilayah bisnis baru sehingga mendapat peluang baru.
Pendapat senada juga disampaikan manÂtan Menteri Pertanian, Bungaran Saragih. Bungaran yang juga guru besar IPB itu meÂlihat Martua sebagai pengusaha muda yang sangat dinamis, banyak ide, dan kreatif. SeÂlain itu, ia juga tergolong orang yang low proÂfile dan terkesan tak mau menonjol.
DI era Orde Baru, sektor bisnis ini hanya dikuasai oleh salah satu grup konglomerasi di Indonesia. Karena bersifat ekspor, bisnis Martua tak terganggu oleh krisis moneter yang terjadi di tahun 1997. Hebatnya lagi, jika banyak perusahaan besar di Jakarta yang terÂkena krisis rata-rata harus memotong pengÂhasilan karyawannya sebesar 2,5 persen, maka karyawan Wilmar justru memperoleh tunjangan krisis sebesar 2,5 persen.
Kabarnya, Martua Sitorus akan mendiriÂkan kampus politeknik di kota kelahirannya, Pematangsiantar. Hal itu disampaikan Wali Kota Pematangsiantar Hulman Sitorus pada acara Reuni dan Chengbeng 2011 di PerguÂruan Sultan Agung, Sabtu (2/4/2011). “Senin (28/3) saya berjumpa dengan saudara kita dari Wilmar, Martua Sitorus. Kami bicara tentang apa yang bisa diperbuat untuk keÂmajuan Siantar. Martua Sitorus berencana membuat politeknik internasional di SianÂtar,†kata Hulman. (NET)