KEDUDUKAN guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman barakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Oleh: DR. H. FRI SUHARA, SH, MH
Penasihat Dewan Pendidikan Kota Bogor
Ketua ICMI Kota Bogor

(Pasal 6 UU RI No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)

PENDAHULUAN

“KRISIS kehidupan yang berkepanjangan dan semakin kom­pleks yang kita alami merupakan residu peradaban yang diwariskan oleh para pendahulu kita yang telah melakukan „blunder‟ dalam mengemban amanah regenerasi masa datang (Lapra, 1987)”

Peradaban dan cara pandang yang diwariskan, termasuk per­adaban dalam menyelenggara­kan pendidikan adalah sebuah peradaban yang terkondisikan oleh sebuah sistem yang menitik beratkan ukuran prestasi, kehor­matan dan kemuliaan hidup pada tercapainya pemenuhan materi (material resources oriented).

Dari kehidupan keseharian yang telah dilekati pandangan yang demikian, mulai dari raky­at sampai pejabat, awam sam­pai cendekiawan, santri sampai kyai, peserta didik sampai pen­didik, dst, dst. Cenderung men­jadi „pengabdi‟ pada doktrin utilitirian dan pragmatis dalam memenuhi “material resources” dan pengabdian perlunya “non material resources”.

*) Disampaikan dalam: Me­nyambut HUT PGRI ke 70 & HAM GURU ke 21 Tahun 2015

Dalam dunia pendidikan di Indonesia, fenomena tersebut dapat dilihat dan tergambar dari kurikulum sekolah, lebih spesifik lagi kurikulum Perguruan Tinggi yang disesuaikan, karenanya leb­ih banyak terjebak dalam kerang­ka material, materiel oriented.

Berbagai kebijakan, bantuan, kerjasama dan berbagai aktifi­tas dalam rangka penyelengga­raan pendidikan dirancang untuk dapat melakukan penyesuaian pada kepentingan materiel, kebu­tuhan pasar, yang disadari atau tidak disadari telah membius dan menghilangkan sifat – sifat kema­nusiaan pada peserta didik.

Kecil dan minjimnya bobot jam pelajaran atau bobot sks bah­kan sampai ada yang dihilangkan mata kuliah humaniora adalah bukti akan hal yang dipapar­kan diatas dan sejatinya beraki­bat pada perenggutan otonomi kemanusiaan (Soedjatmiko, 1985) dan lebih jauh akan terjadi peng­hargaan yang merosot terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Manusia masa kini didorong untuk „men­gabdi‟ pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam pengamatan penulis, social media seperti FACEBOOK sebagai program aktivitas indivi­du dengan cara meng-upload foto dan biodata pribadi ke dalamnya sampai dengan update aktivitas sehari-hari yang secara real-time (waktu-nyata) dapat dilihat oleh orang lain.

PATH, sebagai program yang mengeksplor kegiatan/aktivitas dari tampilan gambar dan lain sebagainya, membuat manusia menjadi program dari perkem­bangan GADGET yang semakin canggih dalam menyokong per­tumbuhan Social Media yang saya sebut sebagai GENERASI KO­RBAN LAYAR, meng-upload diri sepertinya sudah menjadi hal bi­asa dilakukan setiap saat dengan memperlihatkan momen-momen hidup kita disertai foto.

Sungguh sangat mencemas­kan ketika seseorang melakukan­nya tanpa landasan MORAL dan AKHLAK, padahal dia seorang muslim atau muslimat atau siapa­pun mereka yang telah memiliki landasan religi.

Hasil teknologi berupa apa­pun selalu mempunyai dua sisi, seperti halnya pisau. Hasil teknologi pun demikian akan memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup (survival) manusia manakal dia dipergu­nakan secara proporsional bagi kebutuhan yang sepatutnya, tapi akan membawa/menjadi ben­cana manakala dipergunakan ti­dak sesuai dengan mestinya dan tidak dilaksanakan dengan lan­dasan akhlak dan moral.

GLOBALISASI TEKNOLOGI INFORMA

Di zaman akhir ini perkem­bangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terutama dalam bidang teknologi infor­ma tidak selamanya membawa dampak positif terhadap pem­bangunan dalam berbagai aspek kehidupan, akan tetapi akan ber­dampak negatif apabila muatan informasi tersebut lebih banyak ke arah muatan-muatan yang bersifat tidak bermoral (amoral).

Muatan negatif ini akan besar pengaruhnya terhadap kehidu­pan keluarga atau kehidupan bermasyarakat, apabila keluarga atau masyarakat itu sendiri tidak memiliki sikap-sikap kehidupan yang berasal dari ajaran agama ataupun norma-norma lainnya.

Keprihatinan atas fenom­ena tersebut mengharuskan kita melakukan orientasi tentang haki­kat pandidikan yang seutuhnya (Ps. 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas) melalui peran para guru dan dosen di lapangan dengan menanamkan kebijakan TANG­GUNG JAWAB ILLAHIAH-nya.

DILEMA PENDIDIKAN NASIONAL

Setiap sistem pendidikan sejatinya ditujukan untuk men­jadikan manusia-manusia yang berkarakter (i.c. tujuan pendi­dikan nasional Indonesia) seb­agaimana dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003).

Sesungguhnya setiap karakter yang baik akan terbangun dari kerangka moral yang dijalankan dengan baik pula, karena itu se­tiap lembaga pendidikan apapun harus mampu membuat anak di­diknya secara moral lebih baik. Setelah mereka meninggalkan suatu tingkat atau jenjang pendi­dikan tertentu.

Kenyataan dan fakta di la­pangan kita dapat menyaksikan betapa perilaku “sebagian” yang disebut kaum komunitas pela­jar/mahasiswa mepertontonkan perilaku-perilaku yang menyim­pang dari ajaran moral, berita tawuran pelajar, tawuran warga, bentrok antar mahasiswa sudah menjadi hal yang biasa, bahkan perilaku tak bermoral pun kita dapat saksikan “dicontohkan” oleh kalangan elit.

Secara khusus elit parpol di Parlemen (DPR) dengan segala tingkahnya yang tak pantas di­lakukan sampai pada membuka video porno saat mengikuti acara resmi rapat paripurna, dan berb­agai “contoh tak senonoh” lain­nya yang tak perlu diungkap “ter­lalu banyak”.

Kalau semua yang terjadi di­anggap sebagai suatu fakta per­adaban, akankah kita mewariskan peradaban yang berkelanjutan seperti itu dan membiarkan gen­erasi penerus mewarisi residu peradaban yang tak layak contoh dan dan pakai bagi kehidupan un­tuk melakukan kebangkitan atau kelahiran kembali (rebirth) gen­erasi mendatang yang lebih baik.

TANGGUNG JAWAB ILLAHIAH GURU & DOSEN

Akan hal sebagaimana dipa­parkan di atas, semestinya para guru dan dosen memiliki kepri­hatinan yang lebih ketimbang siapapun atas fenomena terse­but, mengintrospeksi diri dengan melakukan perenungan (tafakur) kembali bagaimana memandang dan menjalankan tugas profesi.

Apakah hanya sekedar telah melaksanakan tugas dan kemu­dian berhak mendapatkan gaji/ tunjangan/honor atau lebih dari itu, karena dalam dada telah tertanam tanggung jawab illa­hiah, diyakini bahwasanya pro­fesi (bekerja) sebagai ibadah, maka motivasi bekerja dengan sungguh-sungguh yang dilandasi keikhlasan untuk mendapatkan ridho illahi menyertai aktifitas profesinya sehari-hari.

Tanggung jawab illahiah mana diimplementasikan dengan sekuat tenaga dan daya seraya selalu minta pertolongan pada Allah SWT diberi petunjuk dan kemudahan betapa masalah yang dihadapi cukup berat, karena dis­adari atau tidak, praktek di lapan­gan tidak mencerminkan konsep tujuan pendidikan nasional

(Ps. 3 UU No. 20/2003) na­mun telah terjebak pada doktrin utilitarian dan ideologi pragmatis yang menghasilkan output yang adaptif terhadap perbahan yang tersandera pengaruh kapitalisme dan liberalisme, tergambar dalam kurikulum, khususnya kurikulum perguruan tinggi terjebak dalam kerangka material.

Material oriented untuk menghadapi permintaan pasar dan tantangan global, melahirkan sarjana-sarjana yang mengem­bangkan semangat kompetitid berlebihan satu sama lainnya dan sedikit mata ajar masuk dalam kurikulum, dalam rangka me­nignkatkan sisi kemanusiaan yang akan memisahkan spirit, visi dan tujuan pendidikan yang hakiki.

Dalam kondisi seperti inilah para guru dan dosen dituntut untuk mampu mengimplemen­tasikan tanggung jawab illahi­ahnya menjadi katalis peradaban yang dapat menstimulasi dan mengembangkan kualitas „inter­aksi‟ dalam rangka kautuhan sisi fitrah kemanusiaan.

Hal tersebut perlu dilakukan karena kalau melihat kurikulum yang berkembang terutama di Perguruan Tinggi, dimensi hu­maniora nyaris tergeser habis oleh kurikulum ilmu pengeta­huan skill dan teknologi guna memenuhi kebutuhan pragmatis.

Dengan memahami tanggung jawab illahiahnya, para guru dan dosen akan melakukan yang ter­baik, karena merasa selalu Evalu­ator Agung, Allah SWT menga­wasi setiap tindak tanduk, gerak gerik jasmani dan kalbunya.

Dengan menghayati akan di­mensi tanggung jawab illahiah akan profesi yang disandangnya, maka dalam melaksanakan pro­fesi guru dan dosen, bukan hanya sebagai pengajar untuk mencapai tujuan instrumental pendidikan berupa kemampuan professional lulusannya berada dalam ranah material, seyogyanya itu hanya sebagai alat melengkapi tujuan pendidikan dan harus diabdikan untuk memelihara dari keutuhan dan spirit tujuan praktek pendidi­kan itu sendiri.

Tujuan pendidikan haruslah dilekatkan pada spiritnya untuk melahirkan kualitas lulusan yang tahu akan cara-cara hidup yang baik dan benar dalam melaku­kan kemampuan profesionalnya karena kita melihat manusia masa kini didorong untuk men­gabdi pada ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi, dan kalau itu yang terjadi maka pada akhirnya akan dikendalikan oleh kekuatan politik dan ekonomi.

Dalam pada itulah orien­tasi para guru dan dosen dalam melaksanakan profesinya tidak hanya sekedar mengajar, akan tetapi juga mendidik dengan dilandasi dan berdimensi pada tanggung jawab illahiah.

Nilai-nilai illahiah inilah yang menjadi nilai perekat dalam membangun dan memelihara unity untuk keberlanjutan perad­aban insaniyah dan hal tersebut hanya dapat diwujudkan melalui ranah tindakan, konsekuensinya semua elemen pendukung pen­didikan dimana guru dan dosen adalah yang utama harus melaku­kan perbaikan kualitas inter­aksinya secara terus menerus sehingga melahirkan gerakan struktural yang sebangun menuju keutuhan dan keberlanjutan life­long learness.

Dengan setiap guru dan dosen memahami tanggung illahiahnya, mereka adalah figur-figur yang dapat berfikir untuk diri mereka sendiri dan orang lain, bekerja secara efektif, memliki kepekaan terhadap aspirasi pribadi dan lingkungannya dan benar-benar mengetahui bagaimana menjaga

semangat transfer knowledge and value untuk mengkonser­vasi kehidupan masyarakat yang lebih baik, karena martabat suatu bangsa diukur oleh produk yang dihasilkan oleh para guru dan dosen, produk yang dihasilkan suatu bangsa merupakan cermin dari kemajuan dunia pendidikan, dimana peran utama guru dan dosen adalah yang utama.

Dengan berbasis dimensi tanggung jawab illahiah bagi para guru dan dosen, maka ia telah menjadikan tugasnya sebagai ba­gian dari ibadah dan pengabdian­nya pada Allah SWT, dan karena itu ibadah, maka ia akan melaku­kan tugas dan pekerjaannya itu dengan sebaik-baiknya minus ke­maksiatan di dalamnya.

Ketika korupsi sedang diden­gungkan pemberantasannya di negeri ini, maka kalangan guru dan dan dosen tidak ada yang terlilit dal praktek korupsi; kare­nanya para guru dan dosen tidak mengelola uang atau material yang dapat dikorupsi, akan tetapi DIKALANGAN TENAGA PENGA­JAR, UMUMNYA PERILAKU KO­RUPSI DITEMUKAN DALAM BEN­TUK LALAI DARI KEWAJIBAN MENGAJAR UNTUK MENAMBAH PENGHASILAN TAMBAHAN, karenanya tindakan pemerintah memberikan tunjangan profesi untuk sertifikasi guru/dosen den­gan tambahan penghasilan satu kali gaji tiap bulan adalah tinda­kan terpuji untuk mengerem ke­mungkinan tindak korupsi penga­jar seperti diatas.

Alhamdulillah, tinggal kita para guru dan dosen bagaimana menyikapinya, dengan syukur atau kufur, meningkatkan kuali­tas dan kuantitas dalam memban­gun anak-anak bangsa melalui pendidikan yang holistik.

PENUTUP

Upaya mengatasi cengkraman kapitalisme dalam dunia pendidi­kan yang tergambar dari berbagai usaha yang dilakukan dalam rang­ka tugas utama pendidikan den­gan tuntutan penyediaan tenaga terampil, memaksa sekolah/lem­baga pendidikan harus mampu mengimbangi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informatika.

Disini tugas guru dan dosen dituntut mengimbanginya, me­lalui upaya-upaya yang sustain­able dengan keyakinan bahwa pendidikan tidak hanya meru­pakan prakarsa pengalihan pen­getahuan dan keterampilan, be­gitu juga mencakup pengalihan nilai-nilai illahiah, budaya dan norma-norma sosial.

Sehingga tuduhan bahwa pendidik kita yang jauh dari nilai-nilai moral, karena kurangnya sentuhan pendidikan berkara­kter, akan terjawab dengan im­plementasi tanggung jawab illa­hiah para guru dan dosen dalam melaksanakan profesinya. (*)

============================================================
============================================================
============================================================