Oleh: NURHIDAYAT
Koordinator Forum Kajian Sosial dan Keagamaan Piramida Circle Jakarta
Memang, tak muÂdah membangun relasi sosial ideal dalam masyaraÂkat yang secara etnik, ras, budaya dan agama berbeda-beda seperti Indonesia. Apalagi jika tidak ada saling perÂcaya dalam interaksi sosial.
Tak hanya Indonesia, beberaÂpa negara maju yang sudah lama menerapkan demokrasi seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Australia, hingga saat ini maÂsih ada masyarakat yang besikap rasial. Survei Pew Forum menÂgungkap, 197 negara di planet ini menghadapi kasus-kasus intoleransi dengan beragam tingkatan.
Lembaga riset yang berbasis di Amerika itu juga menyuguhÂkan data bahwa Indonesia menÂempati peringkat ke-15 dalam katÂegori negara-negara “very high†dalam Indeks Permusuhan Sosial (The Social Hostilities Index).
Disusul Rusia (13) dan Arab Saudi (14). Peringkat pertama diduduki Pakistan. Sementara SeÂtara Institute dalam tujuh bulan ini mencatat, ada 116 peristiwa pelanggaran beragama/keyakiÂnan dengan 136 tindakan.
Dalam optik konstitusi, buÂruknya kohesi sosial yang beraÂkar pada masyarakat multikultur menandakan adanya problema konsitusional.
Lihat, misalnya Rancangan Undang-Undangan Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang dijanjikan Kementerian Agama ternyata tak jauh beda dengan draf-draf RUU sebelumnya.
Rancangan tersebut masih merawat watak intervensi negara atas kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Pendekatan yang digunakan pemerintah lebih unÂtuk menjamin stabiilitas keaaÂmanan.
Bisa dibayangkan, demi staÂbilitas keamanan, kepentingan kelompok minoritas justru dikorÂbankan. Padahal, para pendiri Republik Indonesia sedari awal paham betul bahwa konstitusi yang disusun harus mengakui keÂberagaman masyarakat.
UUD 1945 sejak disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sudah memberikan pengakuan jaminan atas keberagaman masyarakat, meskipun cakupannya minim. Pengakuan dan jaminan ini seÂmakin kukuh setelah UUD 1945 mengalami amandemen sebanÂyak empat kali dari tahun 1999 hingga 2002.
Selain itu, tendensi liyan namÂpaknya masih menjadi problem yang aktual. Tendensi ini menÂgarah pada praktik intoleransi yang kadang dimulai dengan hal remeh-temeh.
Misalnya, penggunaan kata sesat, menodai agama dan perilaku diskriminatif alias pemÂbedaan. Sebetulnya arti liyan tak sebatas orang lain. Liyan memiÂliki dimensi sosial, kultural, dan spiritual. Artinya bahwa, orang lain direngkuh menjadi saudara sebangsa, dihormati pikiran, perasaan, ekspresi budaya, dan keyakinan religiositasnya.
Realitas memperlihatkan, keÂkerasan tak bisa dilawan dengan kekerasan. Karena itu, benih, apalagi terjadinya kekerasan, haÂrus dihindari oleh siapa pun dan kelompok apa pun.
Percakapan kewarganegaraÂan dalam komunikasi agama juga harus lepas dari portal komunal setiap kelompok. Agar potensi intoleransi tak membayagi perÂgaulan. Kasus Singkil-Aceh dan Tolikara-Papua adalah bukti bayÂang-bayang komunal dalam perÂgaulan kewarganegaraan.
Kepercayaan pada demokrasi adalah kepercayaan terhadap kemampuan sistem untuk menyÂelenggarakan percakapan kewar ganegaraan. Percakapan yang diÂmaksud adalah percakapan yang menyertakan manusia semata-mata sebagai makluk sosial. Di mana keberwargaan yang deÂmokratis bergerak dari jenis tolÂeransi yang ikhlas pada jenis tolÂeransi yang mendalam mengenai perbedaan dalam gagasan saling menghargai dan kepekaan terhaÂdap identitas.
Dalam diksi masyarakat, “identitas†(mayoritas-minoritas) dimaknai bukan sebagai alasan untuk menafikan liyan, justru liÂyan dianggap sebagai pancaran ilahiah dan relasi sosial yang keÂbenarannya mustahil ditampik.
“Orang lain†menjadi bagian dari jiwa kita. Dengan pertautan dalam satu perasaan sebangsa dan senasib ini menghilangÂkan mental block mayoritas-miÂnoritas, kaya-miskin, perbedaan etnis dan agama.
Bermodal kesadaran ini diÂharapkan mampu memutus ranÂtai intoleransi dari generasi ke generasi. Ini penting, sebabnya praktik demokrasi di satu negaÂra dan juga disebuah organisasi kadang menggelikan, bahkan menjengkelkan.
Maka perlu satu kesepakatan pemahaman agar jalan sejarah NKRI tak bergerak ke arah lain.
sumber: satuharapan.com