Oleh: ROHANI ELITA SIMANJUNTAK
Kebijakan pemerinÂtahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tetap tidak mencantumkan syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA) ke dalam PerÂmenaker No 35/2015 (SebelumÂnya Permenaker No 16/2015), hingga saat ini masih menimbulÂkan tanya tanya publik.
Parahnya, dalam PermenaÂker No 35/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA tersebut, aturan penempatan satu TKA berbanding dengan 10 tenaga kerja dalam negeri (TKDN) juga turut dihapuskan.
Kebijakan ini sebenarnya merupakan langkah mundur bagi Indonesia. Melalui deregulasi baÂhasa, pemerintah mungkin mengÂharapkan terjadinya peningkatan investasi asing yang masuk ke InÂdonesia.
Namun sebaliknya, bagi rakyat kecil serta pemerhati bahasa dan sastra Indonesia, kebijakan ini jusÂtru melahirkan dua ketakutan.
Pertama, kebijakan ini akan berdampak pada berkurangÂnya kesempatan TKDN untuk mendapatkan pekerjaan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumÂkan, tingkat pengangguran terÂbuka per Agustus 2015 mencapai 7,65 juta orang.
Jumlah tersebut meningkat 320.000 orang atau 0,24 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 7,24 juta orang (Jawapos, 6/11/15). Kondisi ini kemungkinan besar justru akan semakin parah di tenÂgah tingginya gelombang pemuÂtusan hubungan kerja (PHK) dan ketika diberlakukannya MasyaraÂkat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015.
Kedua, hal yang paling meÂnyedihkan adalah kebijakan deÂregulasi bahasa ini secara tidak langsung justru akan menghilanÂgkan peluang/kesempatan baÂhasa Indonesia untuk dipelajari masyarakat ASEAN dan diakui sebagai bahasa internasional.
Karena itu, jika bukan bangsa kita yang membela bahasa nasiÂonal dan berupaya menginternaÂsionalkanya, lalu siapa lagi?
Untuk itu, pemerintah perlu meninjau ulang kembali PerÂmenaker No 35/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA, khususÂnya terkait persoalan bahasa dan perbandingan jumlah TKA dan TKDN. Syarat mampu berbahasa Indonesia bagi TKA yang telah dihapus sudah semestinya diberÂlakukan kembali.
Namun, tentu tidak hanya itu. Penulis berpendapat, pemerinÂtah perlu menambahkan syarat bahwasannya setiap TKA yang sudah/ingin bekerja di Indonesia juga harus mengantongi sertifikat resmi hasil uji kemahiran berbaÂhasa Indonesia (UKBI).
Pada dasarnya, fungsi UKBI ini sama dengan uji kemahiran berbahasa (proficiency test) sepÂerti halnya TOEFL untuk bahasa Inggris, TOCFL untuk bahasa Mandarin, maupun TOAFL untuk bahasa Arab.
Jika negara-negara seperti InÂggris, Amerika Serikat, Australia, Arab, Prancis, Jerman, Jepang, Korea, bahkan Tiongkok menjaÂdikan kemampuan bahasa sebÂagai salah satu syarat bagi pekerja asing, mengapa Indonesia tidak mewajibkan TKA mampu berbaÂhasa Indonesia?
Kita tentu tidak boleh lupa bahÂwa gagasan pengembangan UKBI ini sudah sejak lama dan awalnya merupakan hasil rekomendasi dari Kongres Bahasa Indonesia IV pada 21-26 November tahun 1983.
Selain itu, poin ketujuh sesuai hasil keputusan Kongres Bahasa Indonesia X yang berlangsung di Jakarta pada 28-31 Oktober tahun 2013, juga turut merekomendasiÂkan agar pemerintah memberlakuÂkan UKBI sebagai “paspor bahasa†bagi pekerja asing di Indonesia.
Nilai Tambah
Mewajibkan TKA mengikuti tes UKBI selain untuk mengukur tingat kemahiran TKA dalam berÂbahasa Indonesia, juga merupakÂan upaya meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan (Pasal 44 UU Nomor 24/2009).
Lebih dari itu, memiliki sertiÂfikat UKBI dengan skor dan preÂdikat yang baik juga sudah pasti akan menjadi nilai tambah bagi pekerja asing yang serius ingin bekerja di Indonesia.
Jadi intinya, memiliki kemamÂpuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar tentu sangatlah penting karena setiap pekerja asÂing yang bekerja di Indonesia tenÂtu akan banyak bertemu, bergaul, bersosialisasi, serta berasimilasi dengan warga Indonesia.
Sebagai bangsa besar yang memiliki bahasa yang unik, modÂern, dan memiliki jumlah penutur asli (native speaker) yang sangat besar, sudah selayaknya program UKBI semakin dikembangkan.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Pusat Bahasa yang telah diberi wewenang untuk mengembangÂkan dan menyelenggarakan tes UKBI, hendaknya mulai menÂgampanyekan wajib UKBI, baik itu bagi warga Indonesia maupun warga negara asing.
Sejatinya, bangsa ini harus bangga dan berani membela baÂhasa nasionalnya. Kita berharap, melalui pengembangan UKBI, bahasa Indonesia juga akan seÂmakin dikenal, dihargai, dan berÂpeluang menjadi bahasa internaÂsional yang akan dipakai jutaan penduduk dunia.
Apalagi, jika 25-30 tahun ke depan Indonesia berhasil tumÂbuh menjadi salah satu negara besar dan adidaya, tentunya baÂhasa Indonesia akan semakin mempunyai kekuatan, pengaruh yang kuat, serta punya daya taÂwarnya sendiri di kancah global.
Akhirnya, bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi yang sudah pasti digunakan di IndoÂnesia. Jika tenaga kerja Indonesia yang ingin bekerja dan belajar diÂluar negeri saja diwajibkan untuk menguasai bahasa negara yang dituju, kenapa TKA yang ingin bekerja di Indonesia tidak diwajibÂkan? Jadi, Permenaker No 35/2015 ada baiknya direvisi kembali oleh Presiden Jokowi demi keadilan bagi rakyat dan membela bahasa Indonesia di negeri sendiri.
Penulis adalah: pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia serta pemerhati bahasa.
sumber : sinarharapan.co