Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor
Akhirnya guru merasa senang menjadi maÂnusia agnotis yakni manusia yang menÂgagung-agungkan sesuatu tetapi tidak disertai denÂgan tindakan yang benar dan nyata atas apa yang diagungkan.
Sebagai guru tidak cukup hanya bernostalgia akan kebangÂkitan dan keberhasilan masa lalu. Sebagi guru jangan sampai tingÂgal diam apalagi frustasi dengan adanya konflik-konflik yang melÂilit dunia pendidikan kita saat ini. Dan sebagai guru jangan sampai tenggelam dalam romantisme nyanyian “hymne guru†yang syarat dengan nilai kepahlawaÂnan tanpa tanda jasa.
Ingat, bahwa kita hidup dalam dunia realitas yang harus kita haÂdapi dengan penuh keyakinan dan keteguhan, kerja keras tanpa kenal menyerah demi mewujudÂkan apa yang menjadi cita-cita mulia hidup kita.
Nilai positif yang kita wujudÂkan sekecil apapun pada hari ini, akan lebih berarti untuk anak diÂdik kita. Mulailah dari komitmen pribadi untuk memberikan yang bermanfaat dan terbaik.
Kita harus bisa memaknai sekecil apapun tunjangan profesi yang diberikan kepada kita, harÂus bisa menerima dan menikmatÂinya dengan penuh rasa syukur. Karena kita yakin, walaupun beÂlum mampu mengemban makna berjuang, tunjangan profesi yang langsung dari Allah jauh lebih beÂsar dan lebih berarti.
Konsep inilah yang harus benar-benar tertanam dalam pengabdian seorang guru, tanpa harus merasa menjadi pahlawan.
Seorang guru merupakan soÂsok pahlawan yang sangat mulia. Baktinya menempuh perjuangan dalam membina, mendidik dan mempersiapkan calon penerus bangsa, menjadikannya sebagai sosok pahlawan pembangunan yang memiliki jiwa juang, memiÂliki semangat untuk berkorban, dan menjadi pionir bagi kemaÂjuan masyarakat. Orangtua kedÂua kita di sekolah inilah pahlawan tanpa tanda jasa.
Epos kepahlawanan pendidiÂkan bagi guru harus melakukan reorientasi pemaknaan pahlawan melalui sebuah proses belajar yang berkeadilan, konsisten, serÂta setia terhadap proses belajar itu sendiri. Sebagaimana kehiduÂpan yang selalu berproses, makÂna pahlawan harus kita semaikan pemaknaannya di sekolah meÂlalui sebuah proses alamiah yang benar, bukan melalui penciptaan mitos yang belum tentu kebenaÂrannya.
Kesadaran semacam iniÂlah yang diperlukan para guru kita dalam membingkai makna pahlawan dalam proses belajar-mengajar. Kata pahlawan harus memperoleh padanannya dalam konteks pendidikan, yaitu pahlaÂwan pembelajar.
Para guru di sekolah harus beÂlajar dari perspektif Joseph CampÂbell dalam Hero’s Journey, bahwa perjalanan hidup setiap pahlawan pasti akan melalui enam tahapan penting, yaitu innocence, the call, initiation, allies, breakthrough, dan celebration.
Sebelum seseorang dikatakan sebagai pahlawan, pasti mereka ialah orang biasa dan bersahaja (innocence). Barulah ketika merÂeka merasa ada sesuatu yang harus diperjuangkan dan meraÂsa terpanggil (the call) untuk melakukan sesuatu, dimulailah perjalanan seseorang untuk menÂjadi pahlawan.
Melalui sebuah usaha dan kerÂja keras serta melalui rintangan dan tantangan yang hebat (iniÂtiation), seorang calon pahlawan pastilah membutuhkan teman satu visi dan misi (allies) untuk mencapai tujuan perjuangannya.
Dari pertemanan itulah diÂharapkan akan muncul berbagai ide dan terobosan (breakthrough) yang akan memudahkan seseorang mencapai sasaran dan tuÂjuan yang dikehendaki.
Barulah setelah itu seseorang bisa dikatakan sebagai pahlaÂwan (celebration) karena dapat membuktikan dirinya berhasil dan bermanfaat bagi sesama buÂkan hanya karena kerja kerasnya secara pribadi, melainkan juga melalui sebuah kesepakatan dan bantuan teman-temannya.
Tahapan yang digambarkan itu dengan jelas memperlihatkan esensi dari sebuah epos kepahlaÂwanan yang akan direngkuh sesÂeorang. Bagi para pendidik, keÂsemua tahapan itu ialah sebuah kelayakan yang harus dipenuhi.
Dengan dimulai dari kesÂediaan untuk selalu belajar, meÂnyadari bahwa mendidik ialah sebuah panggilan dan tanggung jawab, membutuhkan peer (seÂjawat) yang bisa memberi motivaÂsi sekaligus memberi kritik, serta membutuhkan kreativitas dan imajinasi yang tak sedikit.
Mendidik ialah proses menÂcari jati diri kepahlawanan yang sesungguhnya. Bungkusan kesÂempurnaan dari dedikasi kepahlÂawanan seorang guru dalam mendidik ialah kejujuran dan keikhlasan, sebuah pedoman berharga yang hanya diketahui tempat dan sifatnya oleh diri kita masing-masing. (*)