SAYA terusik dengan berita susahnya mendapat kesepakatan harga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) antara PT Pertamina Geothermal Energi (PGE) dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Oleh: M. HUSEN
Pengamat Perminyakan
Untuk PLTP Kamojang 1-3 di Jawa Barat, PGE minta 7.43 sen/kwh, sedangkan PLN maunya 3.3 sen/kwh. Perbedaan harga yang jauh juga terjadi pada PLTP LaÂÂhendong 1-4 di Sulawesi Utara.
PGE memberi harga 11.11 sen/kwh, diÂÂtawar oleh PLN 3.16 sen/kwh untuk LahenÂÂdong 1, 2.69 sen/kwh untuk Lahendong 2 &3, serta 5.34 sen/kwh untuk Lahendong 4.
Negosiasi alot PGE dengan PLN terus berlangsung seperti halnya saat penulis maÂÂsih di Pertamina tahun 2011-2014.
Bahkan sekarang lebih seru karena harus bersaing dengan harga listrik solar tenaga disel (PLTD) yang hanya 6-7 sen/ kwh. Sementara harga minyak mentah ada di kirasan US$ 40/barrel.
Sepertinya, nasib panas bumi belum juga berubah. Tak termanfaatkan. Padahal, energi panas bumi milik PGE yang berjumÂÂlah 607 MW sudah siap pakai karena telah selesai dibor.
Belum termasuk milik Supreme Energi yang diiformasikan punya daya sebesar 175 MW dan perusahaan lain. Bukan mustahil kalau semua dikumpulkan, total daya yang tersedia bisa mencapai 1000 MW (1 GW).
Ini sangat memprihatinkan, kalau panas bumi itu tidak termanfaatkan. Energi ini tiÂÂdak sama dengan batubara atau migas.
Kalau hari ini belum dipakai, migas dan batu bara bisa disimpan untuk dipakai anak cucu kita, karena keduanya tidak kemana-mana.
Sedangkan Panas bumi tidak disimpan di perut bumi. Sepanjang airnya mengalir kedekat magma, maka air tersebut akan berubah jadi panas bumi. Jika dibiarkan, daya panas tersebut akan menguap karena tidak bisa disimpan, sangat disayangkan itu yang sedang terjadi.
Ini seperti bisnis rumah sewaan. KeruÂÂgian rumah yang tak disewa pada tahun ini tidak bisa diganti di tahun depannya.
Ada sisi lain yang tak kalah penting, yakni soal kedaulatan energi.
Memang solar lebih murah, tapi itu denÂÂgan impor. Bandingkan dengan panas bumi yang bila dimanfaatkan secara maksimal, bisa mengantar bangsa ini berdaulat di sekÂÂtor energi.
Seperti diutarakan para geolog, potensi panas bumi tidak kurang dari 28 BW, paling tidak setara dengan lebih dari 1 juta barel minyak perharinya (BOEPD). Angka yang banyak sekali!.
Kalau negosiasi harga antara PGE dan PLN hanya dilaksanakan secara bisnis to bisÂÂnis, kesepakatan tidak akan pernah tercapai.
PLN maupun produser panas bumi puÂÂnya argumen kuat untuk bertahan di harÂÂganya masing masing. Yang terjadi adalah, uap panas bumi kembali menguap tanpa kita manfaatan.
Sudah banyak usulam guna mengatasi masalah kesepakatan nan alot ini. BeberÂÂapa diantara dalam bentuk harga fleksibel seperti, harga tingi diberikan sampai balik modal. Setelah itu turun ke harga rendah.
Dalam skema ini, Produser panas bumi dan PLN berbagi saham sehingga kedua beÂÂlah pihak akan sama berbagi untung mauÂÂpun menanggung rugi.
Ada juga yang mengusulkan agar sistem system cost recovery seperti halnya di sekÂÂtor migas diterapkan. Dan usulan model ini sepertinya paling logis, mengingt belum ada lagi usulan lain yang lebih baik.
Pada titik ini, kita tinggal berharap keÂÂpada pemerintah segera bertindak. SepÂÂerti beberapa keputusan yang telah diambil yang oleh terdahulu tak pernah dilakukan. Melalui
Menteri ESDM dan Menteri Keuangan, ada baiknya mereka segera mengambil bergerak agar uap panas bumi ini termanÂÂfaatkan, jangan menguap terus.
sumber: suarakarya.id