bambangSEPERTI yang sudah kita pahami bersama LGBT merupakan akronim dari “Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender”. Beberapa literatur menyebutkan bahwa istilah tersebut telah dipergunakan semenjak tahun 1990an. Barangkali istilah itu merupakan jelmaan atau penggantian untuk istilah yang sudah pernah populer saat itu, yakni Gay Community.

BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM

Secara sederhana lesbian diartikan sebagai penyu­ka sesama jenis wanita. Kebalikan dari lesbian adalah gay, yakni pe­nyuka sesama jenis pria atau yang dulu lebih dikenal dengan istilah “homoseksual”. Biseksual meru­juk pada ketertarikan seorang terhadap orang lain tanpa mem­pedulikan gender (jenis kelamin). Sedangkan transgender adalah perilaku yang dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan yang diluar kodratnya, atau masyarakat awam sering menyebutnya dengan istilah waria.

Adakah undang – undang atau hukum positip kita (ius constitutum) yang mengatur tentang larangan bagi keberadaan “Lesbian”, “Gay”, “Biseksual”, dan “Transgender” ?

Peraturan positip yang saat ini masih bersinggungan dengan per­soalan seksual terdapat pada ke­tentuan yang diatur dalam KUHP dan Peraturan Perundangan lain­nya yakni tentang Perlindungan Anak (UU No.35/Tahun 2014); Pornografi (UU No.44/Tahun 2008 juncto UU No.11/2008); Serta Pe­lacuran, Perkosaan, dan Kesusi­laan (KUHP dan Penghapusan Ke­kerasan Dalam Rumah Tangga/UU No.23/Tahun 2004). Sedangkan yang secara khusus memuat ke­tentuan tentang keberadaan LGBT sampai sekarang tidak ada.

Perlu dipahami bahwa dalam kaidah hukum dikenal asas “nul­lum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali “ atau sering disingkat “nullum delictum” . Se­buah perbuatan tidak bisa dipi­dana sebelum ada aturan yang mengaturnya. Atau orang baru dapat dikatakan bersalah apabila melanggar sebuah ketentuan / un­dang – undang yang sudah dibuat oleh negara. Sejalan dengan hal itu Pasal 1 ayat 1 KUHP, dengan tegas menyatakan ”Suatu perbua­tan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Atas dasar aturan terse­but mengandung konsekuensi, bahwa hukum pidana di Indone­sia tidak berlaku surut, hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana tertulis, dan larangan analogi dalam hukum pidana di Indonesia.

Merujuk pada realita hukum di atas bisa dimaknai bahwa per­buatan atau perilaku seksual yang dilakukan oleh pelaku LGBT baru dapat dikenakan sanksi pidana bila memenuhi salah satu atau beberapa ketentuan peraturan/ undang-undang di atas. Atau lebih tepatnya bila perilaku LGBT itu di­lakukan terhadap anak di bawah umur, disebarluaskan untuk dik­etahui sebagai materi tayangan/ce­tak pornografi, merupakan modus pelacuran atau pemaksaan kepada pasangannya. Sudah barang tentu bila perilaku LGBT itu tidak meli­puti hal – hal di atas dan dilakukan atas dasar suka sama suka, maka tidak ada sanksi pidana yang dikenakan kepadanya.

Namun demikian, bila kita merujuk pada aturan Syariat Is­lam yang sudah diberlakukan un­tuk wilayah Aceh dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia, LGBT bisa saja dikenakan sanksi pidana karena dipandang sebagai perbuatan zina. Dalam kaitan­nya dengan LGBT di atas bisa meliputi perbuatan, misalnya : li­wath (semacam gay, homoseksual) dan musahaqah (semacam les­bian). Dalam Qanun Jinayat atau Pidana Islam No. 6 tahun 2014, bagi pelaku zina dikenakan sanksi pidana berupa hukuman cambuk 100 kali. (*)

============================================================
============================================================
============================================================