SETIAP orang berhak menggugat orang lain, manakala merasa dilanggar hak dan kepentingannya atau dirugikan olehnya. Sekalipun adakalanya persoalan antar orang per orang tidak cukup alasan untuk dijadikan perkara, karena tidak begitu jelas hubungan yuridisnya. Namun, dalam hukum dikenal asas “ius curia novit†, bahwa hakim dianggap tahu hukumnya.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak perkara, karena alasan tiÂdak ada hukumÂnya atau hukum belum menÂgaturnya. Asas ini dipertegas pula dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan KeÂhakiman, bahwa pengadilan membantu pencari keadiÂlan dan berusaha mengatasi hambatan dan rintangan unÂtuk dapat tercapainya peraÂdilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dengan demikian pengadilan berÂwenang menerima, memerÂiksa dan mengadili serta meÂnyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Untuk urusan yang seÂpele, misalnya janji untuk bertemu tetapi tidak jadi karena lalai. Sebaiknya tiÂdak harus diselesaikan lewat jalur hukum formal dengan menggugat ke pengadilan. Cukup diselesaikan lewat media kekeluargaan. Karena secara teoritis, orang yang menggugat harus punya alaÂsan yang jelas bahwa ia telah dirugikan kepentingannya, yang dapat dinilai dengan materi atau uang. Bila alaÂsan-alasan tersebut tidak jelas, kemungkinan besar gugatan akan ditolak atau tidak diterima (niet ontvanÂkelijk verklaard). Disamping itu, mengajukan gugatan berarti pula harus memperÂtimbangkan segala biaya, waktu, tenaga dan pikiran. Karena itu, sebaiknya pikirÂkan matang-matang sebeÂlum melangkah ke jalur hukum untuk urusan yang sepele. (*)