DIDIRIKAN pada tanggal 18 Mei 1817 oleh Reinwardt, seorang botanis warga negara Belanda kelahiran Jerman, kebun raya di Bogor (Buitenzorg) menjadi ikon kecantikan Hindia di pertengahan abad 19. Disamping fungsinya sebagai area rekreasi untuk gubernur jenderal, pada masa itu Kebun Raya Bogor juga merupakan tujuan wisata para elit kolonial untuk menikmati kecantikan pemandangan alamnya. Hingga saat ini, hampir 170 tahun lamanya kebun raya telah menyajikan kepermaian alam tropis yang mempesona jutaan wisatawan, baik yang berasal dari Indonesia maupun manca negara [Goss, 2011].

Oleh: Bambang Soemarwoto, Natali Mustafa dan Rini Soemarwoto 
Peneliti senior dengan spesialisasi di bidang Aerodinamika. peneliti di Insitut Biologi di Universitas Leiden dan peneliti di Universitas Padjadjaran Bandung.

Tata kota Bogor seka­rang terbentuk karena dekrit gubernur jen­deral pada tahun 1745 yang menetapkan per­lunya villa peristirahatan di luar Ja­karta, di sisi Barat sungai Ciliwung. Tempat yang akhirnya dipilih terletak satu kilometer di sebelah Timur sungai Cisadane. Akibatnya, selama abad 19 perkembangan Bogor terbatas pada daerah yang diapit oleh sungai Ciliwung dan Cisadane, yang menjadikan dae­rah perkotaan seakan berbentuk pita sempit. Di luar daerah ini ter­hampar hutan tropis yang meman­carkan keheningan ke sekitarnya. Baru pada tahun 1917 pemerin­tah Hindia Belanda memutuskan memperluas kota Bogor ke arah Timur, meningkatkan area pemu­kiman dengan menawarkan pe­rumahan baru mulai dari tipe kam­pung hingga tipe rumah gedung mewah [van Rosmalen, 2008].

Penduduk Bogor berjumlah 18 ribu pada tahun 1830, 46 ribu pada tahun 1920, dan sekarang sekitar 1 juta. Dengan bertam­bahnya penduduk, sejalan dengan waktu Bogor terus berkembang. Pada tahun 1920, dalam sehari ter­catat 25 truk, 190 mobil dan 2700 kendaraan ringan yang melint­asi jalan utama [van Rosmalen, 2008]. Pada tahun 2012, dalam administrasi kotamadya Bogor tercatat 11.000 truk, 63.000 mobil dan 260.000 motor [Arya, 2014]. Seiring dengan pembangunan, keheningan hutan tropis telah ter­gantikan oleh kesibukan ekonomi 24/7 di dalam hutan beton.

Kebun raya saat ini telah menjadi tempat pelarian dari lingkungan beton yang gersang menggerahkan serta kepadatan dan kebisingan lalu lintas dengan udara yang menyesakkan dada. Kepada pengunjungnya Kebun Raya selalu menyuguhkan ling­kungan hijau tenteram menye­jukkan. Jumlah pengunjung saat ini sekitar 1 juta per tahun, atau 30.000 per hari di masa puncak liburan, mencerminkan betapa pentingnya arti kebun raya untuk masyarakat kota Bogor.

Namun, tidaklah berlebihan untuk mempertanyakan apakah volume pengunjung seperti itu telah melampaui daya tampung kebun raya, baik secara alami maupun dari sisi pengelolaannya. Keberlangsungan kebun raya di­tentukan oleh kondisi flora yang senantiasa harus berada dalam kesetimbangan ekologis dengan keragaman dan populasi fauna, yang rentan terhadap vandalisme maupun sampah lepas.

Kilas balik ke tahun 2015 meng­ingatkan akan beberapa peristiwa yang menuntut perhatian siapa­pun yang peduli terhadap Kebun Raya Bogor. Angin badai pada bu­lan Desember 2014 seakan meru­pakan prolog terhadap tahun yang penuh tantangan. Terkait ataupun tidak, peristiwa tragis tumbang­nya pohon pada bulan Januari 2015 di siang hari bolong cerah, yang membawa sejumlah korban tewas dan luka-luka, seakan mem­bangunkan kita semua akan risiko yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Sementara itu, Presiden Joko ( Jokowi) Widodo makin sering terlihat di istana Bogor untuk ber­bagai aktifitasnya, seakan-akan istana Bogor telah menjadi tem­pat kediaman keduanya [Parlina, 2015]. Perkembangan ini meng­ingatkan suasana 150 tahun yang lalu ketika Teysmann, yaitu kepala kebun raya pada masa itu, diingat­kan oleh atasannya, “kalau sedang mengurus pepohonan jangan lupa bahwa kebun raya adalah bagian dari istana, tempat berjalan-jalan gubernur jenderal” [Miquel Pa­pers, Utrecht University Library]. Ada keserupaan dengan perihal dirawatnya anggrek Dendrobium Iriana Jokowi di kebun raya kare­na indikasi serangan jamur pada waktu kedatangannya di tanah air. Pada bulan Juli 2015 anggrek ini diterimakan kepada Ibu negara ke­tika mendampingi kunjungan ken­egaraan presiden ke Singapura. Presiden Jokowi menyebut pembe­rian itu sebagai “diplomasi bunga” dari pemerintah Singapura.

Dalam kesempatan peray­aan hari lingkungan dunia pada bulan Juni 2015 di istana Bogor, presiden Jokowi mencanangkan pendirian kebun raya baru di ber­bagai tempat di Indonesia. Secara keseluruhan, ada 47 kebun raya yang akan dikembangkan sampai dengan tahun 2025. Ini termasuk 30 kebun raya yang saat ini telah ada, dari mana 5 diantaranya dikelola oleh LIPI, 24 oleh pemer­intah daerah dan 1 kebun raya dikelola oleh universitas.

Semua kebun raya itu ditar­getkan menjadi tujuan ekowisata yang akan menambah peneri­maan negara bukan pajak (PNBP). Kebun raya harus ditata rapih dan bersih. Begitulah prasyarat yang disampaikan dengan nada an­caman oleh Menpan-RB, Yuddi Chrisnandi, dalam inspeksi men­dadaknya pada bulan Juli 2015 yang diliput media massa.

Pada gilirannya, ketika Ke­bun Raya Bogor mulai meramu paket ekowisata baru (seperti ke­giatan untuk anak-anak sekolah yang akan diselenggarakan pada malam hari) beberapa landmark terlihat telah ditata kembali den­gan bahan dan tampilan yang baru. Ekowisata memang instru­men yang efektif untuk meng­hasilkan penerimaan negara tan­pa harus mengganggu keadaan alami kebun raya, namun henda­knya visi pemerintah jangan han­ya terbatas pada ekowisata saja.

Dalam menghadapi tantan­gan kontemporer abad 21, Indo­nesia perlu mencermati berbagai inisiatif di berbagai belahan lain dunia dalam upaya mereposisi­kan kebun raya, dimana peman­faatan nilai ekonomis dari ilmu pengetahuan telah menjadi pusat perhatian. Sebagai contoh, hal ini tercermin di Kebun Raya Kew di London dalam proyek-proyek yang dijalankan oleh bagian or­ganisasinya yang bernama De­partment of Natural Capital and Plant Health. Dimensi ekonomis dari tumbuhan juga merupakan faktor penting dalam strategi mereka lima tahun ke depan.

Contoh lain adalah pelun­curan perpustakaan ekstrak tumbuhan pada bulan Desember yang lalu oleh Pusat Kepakaran Senyawa Tumbuhan (Centre of Expertise for Plant Compounds) di negeri Belanda. Tumbuhan dapat mengandung beragam se­nyawa yang berpotensi untuk obat-obatan, makanan sehat/ menjaga stamina tubuh, atau pun kosmetika. Perpustakaan ekstrak itu adalah hasil kerja sama riset yang melibatkan banyak mitra dari industri pertanian Belanda.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Mereka berkontribusi dengan berbagai jenis tumbuhan, baik yang saat ini dijual sebagai produk utamanya, maupun yang dibuang sebagai sampah produksinya. Na­mun, kontribusi terbesar berasal dari Hortus Botanicus Leiden, sebuah kebun raya mungil yang terletak di kota Leiden. Diyakini bahwa penelusuran senyawa di perpustakaan ekstrak tersebut akan dapat membawa peluang bisnis bernilai milyaran dollar dari produk-produk berbasis alam mulai dari makanan, obat-obatan, wangi-wangian hingga penambah rasa makanan.

Kebun raya memiliki sisi ilmu pengetahuan, sisi bisnis dan sisi budaya. Kalau semua sisi ini dapat disinergikan dengan baik, banyak keuntungan dapat dipetik dalam bentuk pengetahuan yang mem­bawa kesejahteraan masyarakat, yang pada akhirnya dapat din­yatakan dalam angka-angka keun­tungan finansial yang signifikan. Tidak perlu diragukan bahwa Ke­bun Raya Bogor mampu dan pan­tas mengambil inisiatif memimpin kerja sama riset nasional di Indo­nesia yang akan membawa dam­pak positif yang sangat penting.

Untuk mendorong partisipasi luas dari masyarakat, Kebun Raya Bogor dapat melibatkan pekaran­gan (homegarden) tradisional untuk membentuk khazanah tro­pis yang kaya, yang langsung siap tersedia untuk dipindai aktivitas biologinya. Pekarangan tradis­ional merupakan sumber asupan makanan yang penting yang men­jamin ketahanan pangan rakyat [Soemarwoto, 1992].

Pendekatan etnobotanika yang lebih menyeluruh sebaiknya diambil, sehingga konteks kon­servasi tidak lagi terbatas pada koleksi, arsip maupun spesimen di kebun raya saja, tetapi juga berlaku untuk konservasi penge­tahuan, kearifan dan gaya hidup tradisional yang menjujung ker­agaman hayati di tempat (in-situ). Sebagai contoh, studi kasus di dalam masyarakat Kasepuhan di Jawa Barat menunjukkan bahwa walaupun mereka menerima va­rietas (modern) beras unggulan, mereka tetap meningkatkan ker­agamanan hayati varietas tradis­ional sesuai cara-cara tradisional­nya [Soemarwoto, 2011].

Sejalan dengan bertambahn­ya ilmu pengetahuan melalui kerja sama riset, instrumen bu­daya perlu dikembangkan untuk menyebarkan pengetahuan dan membawa pencerahan kepada masyarakat, termasuk melalui ekowisata. Banyaknya materi me­dia sosial yang relevan dengan Kebun Raya Bogor di internet saat ini mencerminkan kepedulian masyarakat tentang kebun raya, pada khususnya, dan lingkungan hidup, pada umumnya. Dengan demikian, instrumen budaya itu akan merupakan pelengkap me­kanisme yang telah ada saat ini.

Dengan momentum menuju perayaan ulang tahun ke 200 Ke­bun Raya Bogor pada tahun 2017, pemerintah Indonesia seyogyan­ya berkenan berinvestasi mena­namkan wawasan dan pemikiran yang luas dalam masyarakat In­donesia. Langkah-langkah nyata harus diambil untuk memajukan ilmu pengetahuan, bisnis dan bu­daya secara keseluruhan. Untuk tidak mengulang kesalahan orang lain sambil mempercepat proses, perlu dijajaki dan dibentuk kerja sama internasional berlandaskan kemitraan yang setara, saling menghargai, untuk kepentingan bersama dengan niat yang baik. Dengan demikian, Kebun Raya Bogor pada abad 21 ini akan men­jadi indah melebihi ikon kecanti­kan Hindia pada abad 19. (*)

 

============================================================
============================================================
============================================================