Kalaulah PKS yang memiliki 40 kursi dihitung masih jadi bagian KMP, maka koalisi berlambang Garuda Merah itu hanya memiliki 113 kursi, atau 20% kekuatan DPR. Kalah jauh dari kubu PDIP. Taruhlah Partai De­mokrat (PD) yang memilih posisi se­bagai penyeimbang juga didekatkan dengan KMP, maka tambahan 61 kursi (PD) hanya akan menambah kekuatan KMP jadi 174 kursi (31% kekuatan DPR.)

Dengan kekuatan besar ini, tentu Pemerintahan Jokowi-JK bisa lebih mu­lus meloloskan berbagai kebijakan di DPR. Perdebatan panas soal penyer­taan modal negara, yang sempat ramai saat membahas APBN 2016, diprediksi tak akan terjadi. Tentu dengan catatan, koalisi pendukung Jokowi-JK kompak

Apa respons PDIP soal ini? “Kami apresiasi Partai Golkar yang membuat lompatan jauh ke depan, sehingga membuat peta politik nasional lebih predictable,” ucap Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno kepada detik­com, Rabu (18/5/2016).

Hendrawan mengatakan Golkar tentu punya pertimbangan sendiri memutuskan mengusung Jokowi di Pilpres 2019. Keputusan itu membuat kontestasi Pilpres yang masih 3 tahun lagi menjadi lebih terduga. “Intinya peta politik nasional jadi lebih terduga, kemudian dengan peta politik terduga, maka stabilitas politik lebih baik, dan manuver-manuver politik tidak digu­nakan untuk rebutan kekuasaan jangka pendek. Jangan sampai parpol seperti lumba-lumba yang bergerak kalau ada umpan. Jadi ini bagus,” papar Hen­drawan.

Lalu apakah PDIP juga sudah pasti akan mengusung Jokowi untuk Pilpres 2019? “PDIP belum (ambil keputusan), karena prosesnya belum ke arah sana. Saat ini perhatian kita kepada Pilgub DKI dan Pilkada Februari 2017, nanti ada Pilkada 2018,” jawab Hendrawan.

BACA JUGA :  Takjil untuk Buka Bersama dengan Sop Buah Mangga Leci yang Segar dan Enak

Bagaimana dengan PPP? “Masing-masing ada hitungannya. Khusus PPP bagaimana? PPP akan kawal pemerin­tahan Jokowi-JK sampai awal Pemilu 2019,” ucap Sekjen PPP Arsul Sani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/5/2016).

Mengawal dimaksud adalah menga­wal jalannya pemerintahan Jokowi-JK yang berakhir sampai Pemilu 2019. Hal itu terkait dengan keputusan PPP seb­agai partai pendukung pemerintahan yang juga diikuti oleh Golkar. “Itu hak masing-masing partai. Kalau ada partai yang menyatakan sikap (dukung Jokowi untuk 2019) tidak bisa dikatakan terlalu dini. Begitu juga kalau ada yang men­dukung di akhir, tidak bisa dikatakan terlalu terlambat. Masing-masing pu­nya perhitungan sendiri,” papar Arsul.

Bagi PPP kata Arsul, perlu pertim­bangan yang sangat matang. Hal itu lantaran Pileg dan Pilpres pada tahun 2019 untuk pertama kalinya akan di­gelar berbarengan, sehingga hitung-hi­tungan Pileg tidak serta merta menjadi dasar Pilpres. “Misal capres cawapres A dan B kemudian C dan E ikut, diru­gikan nggak secara politik untuk Pileg­nya? Itu menurut saya kita perlu waktu brainstorming,” terang anggota komisi III itu.

Karena itu PPP menunggu dulu se­lesainya pembahasan Kitab UU Pemilu sebagai kelanjutan putusan MK yang menyatakan Pileg dan Pilpres ber­barengan. Kitab UU Pemilu itu adalah gabungan UU Pileg dan UU Pilpres. “Kalau nggak salah (UU Pemilu) tahun sekarang dibahas,” ucap Arsul.

Faksi Novanto di Jabar

Kemenangan Setya Novanto dalam Munaslub Golkar setidaknya men­gubah peta politik Golkar di tingkat daerah. Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyambut baik terpilihnya Setya Novanto (Setnov) se­bagai nahkoda baru partai berlambang beringin kuning itu.

BACA JUGA :  Wajib Tahu! Ini Dia 6 Manfaat Vitamin K untuk Tubuh

Menurut Dedi, sosok Setnov adalah representasi dari kepemimpinan kolek­tif dari Partai Golkar. Pasalnya selama ini Setnov bukan orang yang ingin me­nonjol namun memenangkan bursa pemilihan Ketua Umum (Ketum). “Pak Setya Novanto itu sosok yang halus. Sehingga dia mampu mempersatukan Partai Golkar,” kata Dedi di Purwakar­ta, Rabu (18/5/2016).

Soal harapan, Dedi ingin agar kepimpinan baru di bawah Setnov bisa menyelesaikan problem internal dari sisi organisasi. Selain itu Setnov pun diharapkan mampu membawa Partai Golkar kembali sebagai benteng Pan­casila.

“Golkar harus mampu melakukan koreksi terhadap sejarah masa lalunya. Karena ketika tumbuh menjadi ben­teng pancasila dalam sejarah masa lalu­nya, pancasila selalu diterjemahkan dalam doktrin partai melalui pendeka­tan formalistik,” katanya.

Ke depan, lanjut Dedi, pancasila bu­kan hanya persoalan melalui pendeka­tan partai dan formalistic namun harus menjadi sebuah substansi dari seluruh produk konstitusi bangsa. “Sehingga Golkar mampu untuk mendorong ter­wujudnya berbagai produk konstitusi yang merupakan manifestasi dari spirit pancasila. Mulai dari konstitusi ketu­hanan, kemanusiaan, persatuan, ker­akyatan, dan keadilan,” tuturnya.

Disinggung soal sosok Setnov yang belakangan kontroversial, Dedi men­gatakan hal tersebut tak akan berpen­garuh banyak dengan kondisi partai. Justru dengan pola kepemimpinan yang mengedepankan para kader ber­sikap egaliter akan mampu mengubah stigma dan citra publik. (*)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================