DSC_2047CIBINONG, TODAY– Sulitnya meningkatkan angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Kabupat­en Bogor tak lepas dari minim­nya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya hingga lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau wajib belajar sembi­lan tahun.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, TB Luthfie Syam mengungkapkan, alasan masyarakat yang tidak mengu­tamakan sekolah tak lepas dari tingginya biaya untuk menem­puh pendidikan yang layak.

Selain itu, Luthfie memperki­rakan masih adanya kesenjangan antara lulusan SD dengan keterse­diaan bangku di SMP. Namun, itu bukanlah alasan utama, karena masih ada sekolah-sekolah swasta hingga program kejar paket.

“Kalau masalahnya ada di kurangnya ruang belajar, kan bisa dibikin dua shift pagi dan siang. Nah, pemerintah bisa saja menambah insentif untuk guru-gurunya kalau ada penambahan jam mengajar. Tapi, masalahnya tidak semudah itu, banyak faktor-faktor lain,” kata Luthfie, Rabu (18/5/2016).

BACA JUGA :  Sekda Syarifah Sofiah Hadiri Halalbihalal PCNU Kota Bogor

Saat ini, Disdik masih mengin­vestarisir data-data kekurangan ruang belajr di Kabupaten Bogor. Termasuk berkoordinasi dengan Departemen Agama. Karena, Madrasah Tsanawiyah (MTs) pun masih kekurangan.

“Kami juga mau menyadar­kan sekolah-sekolah swasta agar lebih fleksibel. Karena, pendidi­kan merupakan hak setiap orang. Dan permasalahan di dunia pen­didikan harus diselesaikan bersa­ma-sama,” kata dia.

Luthfie menjelaskan, Disdik memiliki dua indikator dalam mewujudkan visi Kabupaten Bo­gor termaju di Indonesia. Yakni pengentasan angka buta huruf dan menuntaskan RLS sembi­lan tahun. “RLS masih jadi ma­salah memang. Tapi kalau melek huruf, sudah diatas 90 persen,” pungkasnya.

BACA JUGA :  Silaturahmi ke DPRD Kota Bogor, Hery Antasari Ingin Terus Bersinergi

Soal kesadaran memang jadi kendala yang juga cukup kom­pleks. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMPN 4 Leuwiliang, Suparti mengungkapkan sebuah fakta miris. Di kawasan Kampung Pabangbon, Desa Cibeber II, masih banyak orang tua yang lebih me­milih anaknya menikah usai lulus SD ketimbang sekolah.

“Memang ada dan tidak se­dikit yang seperti itu. SMPN 4 Leuwiliang juga program kelas jauh untuk uoaya jemput bola ke pelosok supaya masyarakat bisa mengenyam pendidikan SMP. Tapi, dengan infrastruktur ke sekolah kami dan sekolah kami juga punya gedung yang mema­dai, kebiasan mengawini anak terutama perempuan di usia dini bisa diminimalisir,” tukas Supar­ti.

(Rishad Noviansyah)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================