Screenshot_022615_125752_PMJAKARTA, TODAY—Pemerintah akan mengganti program Beras Miskin (Raskin) ke program vouch­er pangan. Kebijakan ini dilakukan karena banyaknya kasus Raskin yang kurang tepat sasaran. Den­gan adanya voucher pangan di­harapkan bantuan pangan dapat tepat sasaran dan juga dapat me­macu gairah ekonomi mikro.

“Raskin banyak kelemahan. Sudah banyak aneka inisiatif dilaku­kan untuk mereform. Raskin ingin kita ubah dengan memberdayakan usaha eceran rakyat,” ungkap Deputi III KSP Denni Puspa Pur­basari saat diskusi Arah Kebijakan Voucher Pangan di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (18/5/2016).

Saat ini tengah dirancang pa­yung hukum yang membawahi arah kebijakan pangan tersebut.

Sehingga diharapkan di awal 2017 mendatang voucher pangan dapat disebarkan kepada masyarakat kurang mampu. “Mei 2016 Kepres (Keputu­san Presiden) keluar sebagai guid­ance bagi Kementerian dan Lembaga,” jelas Denni.

Pemerintah juga menargetkan 15,5 juta masyarakat Indonesia bisa mendapatkan voucher pangan. Nanti­nya penggunaan voucher pangan dapat digunakan untuk membeli beras dan telur di pasar dan toko yang telah ter­daftar untuk mencairkan voucher pan­gan tersebut. “15,5 juta rumah tangga sasaran nilai tertentu per bulan. Bisa ditebus untuk tidak hanya beli beras, bisa untuk telur pada harga pasar yang teregistrasi. Kita akan memastikan ban­yak pedagang yang mau berpartisipa­si meredeem voucher,” kata Denni.

Sehingga nantinya masyarakat yang kurang mampu mendapatkan asupan gizi yang seimbang dengan tidak hanya fokus kepada karbohidrat. Masyarakat juga diberikan keleluasaan dalam me­nukarkan voucher pangan untuk kebu­tuhan pangan mereka sehari-hari. “Ada banyak pilihan supaya dia bisa memiliki pangan apa yang akan dibeli, berapa banyak, dan di mana,” imbuh Denni.

BACA JUGA :  Soal PPDB 2024, DPRD Kota Bogor Minta Disdik Persiapkan Dengan Baik

Pengadaan voucher pangan ini juga akan mengurangi beban bulog dalam menyediakan komoditas pangan murah kepada maayarakat pra sejahtera. “Kita ingin menggeser peran Bulog, sehingga langsung dari ritel ke rakyat. Kalau swas­ta bisa melakukan ya swasta misalnya warungan,” pungkas Denni.

Menurutnya, pemerintah masih terus mengkaji program voucher pangan. Se­hingga nantinya manfaatnya dapat dira­sakan lebih baik oleh masyarakat diband­ingkan program-progran sebelumnya. “Kita masih punya waktu memastikan implementasi ini,” tutup Denni.

Sementara, DPR RI menilai, program itu masih dianggap kurang pas apabila diterapkan di daerah-daerah terpencil yang masih mengandalkan komoditas pangan khas daerahnya. “Kalau mau kartu voucher ini bagus tapi alokasikan ke daerah-daerah yang konsumsi ma­syarakatnya itu basisnya kepada pangan lokal seperti umbi-umbian dan sagu sep­erti di Papua,” jelas Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron di Cikini, Jakarta Pusat.

Pemerintah dianggap perlu me­nambahkan varian pangan lain seperti umbi-umbian. Hal ini bertujuan agar masyarakat di daerah tetap menikmati makanan khas daerahnya tanpa perlu menggantinya dengan beras. “Misalnya kalau Raskin masuk di situ misalkan pakai voucher berarti ekuivalen dengan harga Raskin sehingga masyarakat bisa beli umbi-umbian sehingga masyarakat tidak perlu membeli beras di sana,” kata Herman.

Apabila kebijakan tersebut diterap­kan, maka angka ketergantungan ma­syarakat terhadap beras juga dapat menu­run. Tidak hanya itu, ragam pangan lokal juga dapat lebih beragan dengan tidak hanya bergantung dengan beras. “Ka­lau situasi ini ada alias harga beras stabil maka konsumsi beras bisa diturunkan. Ini bakal menggairahkan produksi pan­gan lokal,” pungkas Herman.

BACA JUGA :  Wajib Tahu! Ini Dia Manfaat Okra untuk Diet Turunkan BB

Selain meningkatkan produksi pan­gan, pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan pangan pokok selama bu­lan suci Ramadan. Ketersediaan pangan perlu dijaga dari sebelum puasa sampai selesai lebaran, karena pada umumnya terjadi peningkatan permintaan di masa tersebut.

Antisipasi Bulan Puasa

Herman menambahkan, ada beber­apa komoditas pangan yang wajib dipas­tikan ketersediannya, antara lain beras, daging, dan juga ikan. Ketiga komoditas tersebut menjadi bahan pangan yang paling laris di pasaran. “Pertama adalah beras, ini mutlak harus tersedia cukup. Kedua adalah daging dan ikan karena ini akan jadi komoditas tahunan yang permintaannya akan sangat meningkat tinggi dan tentu suplainya harus juga disesuaikan dengan permintaan,” jelas Herman.

Apabila terjadi lonjakan permintaan yang dahsyat, maka pemerintah perlu menarik pasokan masa mendatang un­tuk memenuhi kebutuhan selama puasa dan lebaran. “Bahkan kalau memung­kinkan alokasi kuota untuk daging yang dialokasikan untuk memenuhi Ramadan dan Idul Fitri ini,” terang Herman.

Pihaknya memperkirakan akan ter­jadi lonjakan harga pangan sampai 20% saat puasa dan lebaran tahun ini. “Ka­lau mengukur timw series di masa lalu itu kebaikannya 10% sampai 20%. Kita jaga iangan lebih daripada itu, kalaupun faktor tahunan mempengaruhi harga maksimum 10%,” tandasnya.

(Yuska Apitya Aji)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================