Alphanya keluarga inti memÂÂpengaruhi sering atau tidaknya ia berperan dalam mendidik anak-anaknya. Jika keluarganya utuh yaitu ayah dan ibunya ada sampai ia dewasa. Anak akan mendapatÂÂkan transfer nilai moral yang lebÂÂih baik. Keluarga yang bercerai akan mempengaruhi banyak atau tidaknya transfer nilai moral. Sang ayah akan kesulitan untuk mentransfer nilai moral kepada anak hasil pernikahannya yang pertama. Tentu intensitas untuk bersama juga tidak mungkin. Jika anak tadi ingin bertemu juga tiÂÂdak semudah keluarga yang utuh. Ketiga, realita yang sering juga diÂÂmana ayah dan ibunya masih ada namun ayahnya beristrikan lagi yang kedua dan yang ketiga. Saat pemutusan untuk menikah suaÂÂsana sebenarnya semakin rumit.
Anak-anak bisa terkatung-kaÂÂtung dan bahkan menimbulkan konflik yang tidak sebentar. Istri pertama atau yang tua bisa ribut dan konflik dengan istri muda. Lingkungan ini secara langsung akan mempengaruhi perilaku anak. Ia akan tumbuh menjadi anak yang terbiasa dengan konÂÂflik sosial. Sesuai pula dengan kenyataan yang ia lihat. Syukur-syukur jika anaknya laki-laki tiÂÂdak membalas dendam sehingga ia mengikuti jejak langkah ayahnÂÂya. Belum lagi konflik sosial anak istri pertama dan yang kedua. Biasanya sang suami menikah lagi karena harta yang berlimÂÂpah padanya. Konlifk harta akan muncul. Ibuk-ibuk yang muda akan menyiapkan secara diam-diama anak laki-lakinya untuk merbut harta ayahnya.
Sama halnya juga dengan istrinya yang kedua. Jika sudah begini maka nampak sulit untuk membuat anak itu berperilaku baik. Masalah transfer moral berÂÂmasalah saat anak tadi hasil perÂÂnikahan siri, hasil dari hubungan gelap dimana keabsahannnya tidak diakui. Nikah siri menjadi alasan agar terbebas dari zina. Memang begitu adanya namun nikah siri ini justru melemahkan tranfer nilai moral. Perempuan yang nikah siri tidak tercatat seÂÂcara jelas. Anak-anaknya akan kesulitan untuk dapat akses fasiliÂÂtas sosial. Pihak laki tidak punya fungsi secara sosial untuk terlibat dalam mendidik anak. Ayah dan ibunya juga tidak maksimal. PiÂÂhak yang peremuan juga bisa saja tidak tau.
Anak akan minder dan sulit untuk menunjukkan identitas dirinya. Berpengaruh terhadap kepercayaan dirinya dalam adapÂÂtasi lingkungan sosial. Bagaimana dengan kasus perzinaan. MengÂÂhasilkan anak dan anak itu sama sekali tidak dapat pengakuan. Bahkan ayah dan ibunya enggan untuk bertanggungjawab. JikaÂÂpun ada tanggungjawab laki naÂÂmun karena keterpaksaan saja. Akhirnya ia mau menikahinya meski sudah hamil. Anak hasil itu akan beda dengan anak hasil menikah biasa. Yang penting sah secara hukum negara namun huÂÂkum agama tidak akan pernah sah. Mengapa demikian rusaknya perilaku manusia kini.
Terakhir, bagaimana dengan anak yang ditinggal oleh ibu nya karena ibunya meninggal dunia. Ia akan dibesarkan oleh ayah saja. Atau ia dibesarkan oleh Ibu saja karena ayahnya sudah meninggal dunia. Namun tetap akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang ditinggal karena poligami dan bercerai. Setidaknya anak tadi bebas ganguan dari pihak lain. Jika kita lihat kini banyaknya perilaku brutal anak, perilaku brutal orang dewasa dan yang tua maka bisa kita pertanyakan keluÂÂarga yang mana kini ia. Pastinya ada masalah pada keluarganya sehingga anak tadi justru melakuÂÂkan pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, begal, judi dan miÂÂnum minuman keras serta makan makanan yang tidak halal.
Didikan ayah dan ibu dan keÂÂluarga sedarah tadilah yang perlu dipertanyakan dan diperbaiki. Kedepannya, pemerintah harus membentuk lembaga konseling keluarga. Lebaga ini dimungkinkÂÂan untuk memberikan bimbingan kepada keluarga yang mempuÂÂnyai kasus seperti diatas. Gratis dan pemerintah yang menjamin. Lembaga bimbingan konseling dan keluarga inilah yang belum terbentuk. Padahal harusnya ada hal ini. (*)