Rusia Rp 3,52 triliun

Inggris Rp 3,42 triliun

Mengutip data Ditjen Pengelo­laan Pembiayaan dan Risiko Kement­erian Keuangan, Selasa (24/5/2016), total pembayaran cicilan utang pemer­intah pada Januari-April 2016 adalah Rp 182,672 triliun, atau 38,03% dari pagu, atau yang dialokasikan di APBN.Pembayaran pokok utang pada periode itu mencapai Rp 119,15 triliun, terdiri dari pokok pinjaman Rp 15,557 triliun atau 22,47% dari pagu APBN. Kemudian pembayaran pokok Surat Berharga Nega­ra (SBN) Rp 103,593 triliun atau 45,81% dari pagu APBN.

Sementara untuk pembayaran bunga utang, pada periode itu adalah Rp 63,522 triliun atau 34,35% dari pagu APBN. Pem­bayaran bunga pinjaman sepanjang peri­ode itu adalah Rp 4,646 triliun (27,61% dari pagu APBN). Sementara untuk SBN, bunga yang dibayar tercatat Rp 58,876 triliun (35,02% dari pagu APBN).

“Utang itu muncul ketika jumlah be­lanja lebih besar dari penerimaan. Se­lama budget (anggaran) direncanakan se­lalu defisit, maka pasti ada penambahan utang,” jelas Bambang.

BACA JUGA :  Hari Kesiapsiagaan Bencana Momentum Bangkitkan Kesadaran Masyarakat Agar Siaga

Utang menjadi kebutuhan, karena untuk mendorong pertumbuhan eko­nomi yang masih melambat. Bambang menjelaskan, dari sisi konsumsi rumah tangga dan investasi swasta cenderung melambat. Sehingga diperlukan do­rongan belanja pemerintah. “Penerimaan belum dapat menutupi belanja yang be­sar, makanya dibutuhkan pembiayaan dari utang,” paparnya.

Penambahan nominal utang dipen­garuhi oleh dua hal. Pertama memang karena penarikan utang baru, dan kedua adalah depresiasi dari nilai tukar rupiah. Sebab pemerintah juga menerbitkan su­rat utang berdenominasi valuta asing. “Tambahan utang itu karena memang tambah utang dan kedua adalah depr­esiasi mata uang,” tegas Bambang.

Hal ini menjawab pertanyaan dari ang­gota Komisi XI, Jhony F Plate. Jhony mem­pertanyakan nominal utang pemerintah yang sangat besar. “Ini kok utang itu terus bertambah dan katanya sudah mencapai Rp 3.000 triliun, kenapa ini?” tanya Jhony pada kesempatan yang sama.

Bambang menceritakan dalam kondi­si sekarang tidak ada satupun negara dengan anggaran yang surplus. Artinya negara-negara menggunakan utang un­tuk menutupi kebutuhan belanja. “Saya tidak mencari alasan, memang tidak ada budget yang surplus. Semuanya defisit,” kata Bambang.

BACA JUGA :  Ternyata Daun Salam Miliki Banyak Manfaat untuk Kesehatan Tubuh, Simak Ini

Bahkan, menurut Bambang utang negara lain jauh lebih besar dari Indo­nesia, baik secara nominal maupun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). “Negara sepantaran dengan kita itu budget deficit-nya itu lebih tinggi dari kita. Mereka utangnya lebih tinggi secara nominal pastinya,” terangnya.

Tadinya, Arab Saudi merupakan salah satu negara dengan anggaran negara yang selalu surplus. Akan tetapi, setelah harga minyak turun drastis sampai den­gan USD 30 per barel, penerimaan nega­ranya langsung anjlok.

Bambang menyatakan defisit ang­garan Arab Saudi pada 2016 mencapai 20% atas PDB. Sehingga Arab Saudi mulai menerbitkan surat utang untuk menu­tupi belanja. “Arab Saudi yang biasanya surplus, itu defisit 20% karena harga min­yaknya jatuh,” tegas Bambang.

(Yuska Apitya Aji)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================